Siapa yang tak kenal dengan Indonesia? Negri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan banyaknya kaum Muslimin di Indonesia sudah barang tentu pertumbuhan masjid pun sangat pesat. Salah satu pulau kecil di daerah utara Jawa saja sudah amat terkenal dengan pulau seribu mushola. Betapa tidak, hampir setiap tiga rumah sudah pasti memiliki satu mushola. Apalagi jikalau seluruh masjid dan mushola yang ada di Indonesia. Wuih, tentu teramat banyak untuk dihitung.
Dari segi kuantitas memang demikian. Namun siapa sangka negri yang 90% nya terdiri dari kaum Muslimin hanya memperbanyak masjid tanpa memperbanyak “pengunjung”nya. Seakan adanya masjid sudah amat dilupakan. Adanya masjid sama seperti ketiadaannya.
Yach mungkin salah satu yang menyebabkan masjid menjadi terkesan “mubadzir” karena kondisi kaum Muslimin itu sendiri. Ketika merasakan kelapangan dalam mendirikan dan mudahnya perizinan, nampaknya hanya pintas lalu belaka. Selesai pembangunan ya selesai juga tugasnya. Tiada rasa kepemilikan sama sekali. Mungkin ini terlalu pahit untuk didengar. Tapi tidak ada lagi bahaya yang lebih halus yang bisa mewakili keadaan kaum Muslimin di Indonesia ini kecuali kurangnya rasa kepemilikan.
Sebagaimana diungkap oleh Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) KH Kholil Ridwan, beliau menilai hampir semua masjid yang ada di Indonesia mubadzir. Penilaian tersebut disampaikan KH Kholil Ridwan di depan Para Mualaf Bromo, Muslim Lereng Gunung Semeru, Kawi-Bromo. Menurut dia, masjid yang mubadzir itu sepi kegiatan. Terutama, ketika melaksanakan sholat lima waktu. Selama ini, kata dia, masjid yang dipakai untuk melaksanakan ibadah sholat lima waktu itu rata-rata hanya berisi dua shof saja. Sementara pada waktu-waktu selain pelaksanaan ibadah sholat lima waktu sepi. Hanya pada saat hari Jum’at, ketika orang Muslim menunaikan ibadah sholat jum’at saja masjid terisi penuh.
Kondisi masjid yang semacam itu dialami hampir seluruh masjid yang ada di Indonesia. Tidak hanya di desa, tapi kota juga banyak yang sepi kegiatan. Bahkan, saat pelaksanaan ibadah sholat lima waktu, hanya terisi beberapa gelintir saja. Itu pun jikalau kita mau jujur maka yang mengisi “sedikit” itu adalah orang-orang tua dan lanjut usia. Sangat jarang menemukan seorang berumur 30an yang -memakmurkan masjid. Lebih lebih untuk menemukan anak-anak muda.
Jadi ketika jumlah masjid yang amat banyak namun tidak diimbangi dengan memperbanyak jumlah orang yang berangkat ke masjid, sungguh hal itu mengakibatkan kemubadziran. Padahal di belahan bumi Indonesia yang lain ada kaum Muslimin yang kesusahan untuk mendapatkan izin mendirikan masjid. Namun ternyata dengan kesulitan tersebut mereka menjadi terpicu untuk menjadi solid. Membangunn kerjasama di antara mereka untuk saling bahumembahu dalam proses memperlancar perizinan pembangunan. Bahkan sampai mengumpulkan tandatangan dari para warga sebagai ujud kesetujuan pun mereka lakukan. Untuk tercapainya izin pembangunan masjid.
Sehingga ketika perizinan sudah “goal” maka rasa kepemilikan di antara mereka pun sangat besar. Hal ini bukan hanya angan-angan semata namun sebuah kenyataan. Kenyataan pahit yang berbuah manis bagi saudara Muslim yang tinggal di pulau dengan mayoritas penduduk Hindu.
Apakah memang di Indonesia perlu diberlakukan hal yang sama? Susah dalam perizinan mendirikan tempat ibadah terkhusus masjid? Sehingga harapannya dapat memunculkan rasa kepemilikan di dalam diri kaum Muslimin terhadap masjid.
Tentu hal ini tidak perlu. Namun kapankah “kemubadziran” ini akan berakhir? Kapan masjid dipenuhi dengan kegiatan islami? Inilah PR yang harus kita jawab bersama.
1 komentar:
betul ya..sob itu mubazir kalo banyak mushola tetapi kalo gk ada yg mau sholat hehhe
Posting Komentar