Bolehkah Kafir Harbi Masuk Masjid?

Soal:
Bagaimana hukum kaum kafir harbi fi’lân masuk masjid? Bagaimana dengan argumen yang menyatakan, bahwa Nabi mengikat Tsumamah, yang kafir musyrik, di Masjid Nabawi? Di sisi lain, para Khalifah setelah Nabi saw. melarang orang kafir masuk masjid. Bagaimana mendudukkan posisi mereka?

Jawab:
Sebelum membahas tentang hukum kafir harbi fi’lan masuk masjid, akan dijelaskan tentang pandangan para fukaha tentang hukum orang kafir secara umum masuk masjid. Dalam hal ini ada empat mazhab. Pertama: Orang kafir boleh masuk masjid, bahkan Masjid al-Haram sekalipun. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi. Alasannya, karena Nabi saw. pernah menerima delegasi Tsaqif di masjid Baginda, sementara mereka masih kafir. Alasan lain, kenajisan mereka sesungguhnya bukanlah najis fisik, melainkan terletak pada keyakinan mereka sehingga tidak bisa mencemari masjid. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini (QS at-Taubah [9]: 28).

Mereka menyatakan, bahwa maksudnya adalah, “Jika mereka masuk dengan sombong, untuk menguasai atau telanjang (tidak menutup aurat), sebagaimana tradisi mereka pada zaman Jahiliyah.” Jika tidak, maka tidak ada larangan.1
Kedua: mereka boleh masuk masjid dengan izin kaum Muslim, kecuali Masjid al-Haram, dan setiap masjid di Tanah Haram. Ini pendapat mazhab as-Syafii.2 Dalam salah satu riwayat juga dinyatakan, bahwa Imam Ahmad berpendapat sama. Sebagian mazhab Hanbali juga sependapat dengan pandangan ini. Ibn Qudamah, dalam kitabnya, Al-Mughni, berpendapat, “Adapun masjid di Tanah Halal, mereka tidak boleh memasukinya, kecuali dengan izin kaum Muslim..Jika mereka diizinkan untuk memasukinya maka menurut mazhab yang sahih dibolehkan. Sebab, Nabi saw. pernah didatangi delegasi penduduk Thaif (Bani Tsaqif). Baginda pun mempersilahkan mereka singgah di masjid, sebelum mereka masuk Islam.”
Said bin al-Musayyib berkata, “Abu Sufyan pernah masuk Masjid Nabawi saat masih musyrik. ‘Umair bin Wahab juga pernah masuk Masjid Nabawi, saat Nabi ada di sana, dan dia hendak menyerang Baginda, kemudian Allah menganugerahkan Islam kepadanya.” 3
Ketiga: mereka tidak boleh sama sekali masuk masjid. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain. Alasannya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudamah, karena Abu Musa al-Asy’ari pernah menemui Umar, selaku khalifah, dengan membawa surat. Umar berkata kepada Abu Musa, “Panggil orang yang menulisnya, untuk membacakannya.” Abu Musa menjawab, “Dia tidak boleh masuk masjid.” Umar bertanya, “Mengapa?” Abu Musa menjawab, “Karena dia Kristen.” Ini menjadi argumen di kalangan sahabat dan mereka sepakat. Selain itu, juga dengan alasan, bahwa hadats junub, haid dan nifas saja dilarang untuk tinggal di masjid, maka hadats syirik tentu lebih tidak boleh lagi.4
Al-Qurthubi juga menisbatkan pendapat terakhir ini pada pendapat penduduk Madinah:

Berdasarkan hukum itulah, Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ketika menjadi khalifah, menulis surat kepada para pejabatnya di daerah..Pendapat tersebut diperkuat dengan firman-Nya, “Di rumah-rumah (Allah) itu, Allah mengizinkannya untuk diagungkan, dan disebut nama-Nya.” (QS an-Nur [24]: 36) Masuknya kaum kafir di sana bertentangan dengan upaya mengagungkan rumah Allah. Dalam Shahih Muslim dan lain-lain juga dinyatakan, “Bahwa masjid-masjid ini tidak boleh ada sedikitpun kencing dan kotoran..” Padahal orang kafir tidak terhindar dari semuanya itu. Baginda Nabi saw. juga bersabda, “Masjid tidak dihalalkan untuk orang yang haid dan junub.” Orang kafir itu masuk dalam kategori junub. Allah juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS at-Taubah [9]: 28). Allah menyebut mereka najis, apakah zatnya yang najis ataukah dijauhkan dari jalan hukum Allah. Mana saja dari keduanya, hukum menjauhkan mereka dari masjid tetap wajib, karena ‘illat-nya adalah najis, dan faktanya ada pada diri mereka, sementara kesucian itu ada di masjid.. 5

Keempat: mereka dilarang masuk masjid, kecuali untuk aktivitas yang bersifat darurat. Ini adalah pendapat mazhab Maliki. Ash-Shawi, dalam Hâsyiyah as-Shâwi, menyatakan, “Keterangan: Orang kafir juga dilarang masuk masjid sekalipun diizinkan oleh orang Islam, kecuali karena ada aktivitas yang bersifat darurat..”6
Al-Khurasyi menyatakan, “Orang kafir, baik pria maupun wanita, haram masuk masjid jika tidak diizinkan oleh orang Islam. Bahkan jika diizinkan sekalipun tetap tidak boleh, kecuali terpaksa, seperti untuk membangun masjid, saat tidak ada seorang Muslim pun yang bisa, atau orang kafir tersebut lebih terpercaya bangunannya.”7
Berdasarkan pendapat mazhab di atas, bisa disimpulkan, bahwa hukum memasuki Masjid al-Haram jelas berbeda dengan masjid yang lain. Orang kafir, baik Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun musyrik, baik yang menjadi Ahli Dzimmah maupun Ahl Harb, haram masuk Masjid al-Haram. Mengenai argumentasi mazhab Hanafi, baik tentang masuknya orang kafir ke Masjid Nabawi maupun penarikan hukum dari QS at-Taubah: 28 untuk membolehkan masuk ke Masjid al-Haram, jelas tidak relevan.
Adapun masjid lain, bukan Masjid al-Haram dan masjid di Tanah Haram lainnya, hukumnya berbeda. Secara umum, pendapat fukaha menyatakan, bahwa kaum kafir, baik Ahli Kitab maupun musyrik, boleh masuk masjid—baik dengan syarat ada izin dari kaum Muslim atau kepentingan yang mendesak—sesungguhnya bisa dikembalikan pada satu hal, yaitu pendapat kepala negara (Khalifah).
Dengan demikian, tindakan Nabi saw. menerima Abu Sufyan dari Makkah dan delegasi Bani Tsaqif dari Thaif di Masjid Nabawi, mengikat Tsumamah saat menjadi tawanan Perang Badar juga di Masjid Nabawi, dan membiarkan Umair bin Wahab masuk saat Baginda ada di dalam masjid, jelas tidak bertentangan dengan keputusan Umar. Sebab, masing-masing adalah kepala negara pada zamannya, dan masing-masing berhak memutuskan apa yang dia anggap tepat dan tidak. Saat Nabi saw. membuat keputusan seperti itu pada zamannya, cahaya Islam belum sekuat pada zaman Umar. Dengan berada di masjid, orang-orang kafir itu bisa menyaksikan langsung cahaya Islam dari dekat. Selain itu, masjid pada zaman Nabi juga tidak hanya difungsikan untuk ibadah, tetapi juga kegiatan administrasi, politik dan pemerintahan. Pada zaman Umar, saat cahaya Islam telah bersinar terang, pendekatan kepada orang kafir dengan mengizinkan mereka masuk masjid tersebut tidak diperlukan lagi. Di sisi lain, Umar sendiri sangat mengangungkan masjid sehingga dijaga betul agar tidak ternoda oleh kotoran sedikit pun. Dengan begitu, kepentingan Islam dan kaum Muslim yang menjadi pandangan Khalifahlah yang menjadi alasan mengapa orang kafir dibolehkan masuk masjid.
Adapun kaum kâfir harbî Fi’lân, jika masuk ke negeri kaum Muslim dengan jaminan keamanan (al-amân) untuk mempelajari Islam, lalu masuk masjid untuk mendengarkan ajaran Islam, maka dibolehkan. Namun, jika dia datang di negeri kaum Muslim bukan untuk mempelajari Islam, lalu masuk masjid hanya untuk melihat keindahan dan kebesarannya, menjadikannya sebagai kedok di hadapan umat Islam untuk mengelabuhi permusuhannya kepada Islam dan umatnya serta melanggengkan penjajahannya terhadap negeri mereka, meski dia datang dan masuk ke sana dengan jaminan keamanan (al-amân), maka hukumnya tetap haram. Allah menyatakan:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya, kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat (QS al-Baqarah [2]: 114).

Wallahu a’lam.

Catatan kaki:
1 Ibn ‘Abidin, Raddu al-Mukhtâr ‘alâ ad-Durr al-Mukhtâr, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995, VI/ 691.
2 Abu Zakariyya an-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/281.
3 Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, XIII/202.
4 Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Ibid, XIII/202.
5 Al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, VIII/103.
6 Ash-Shâwi, Hâsyiyah as-Shâwi ‘ala as-Syarh as-Shaghîr, I/160.
7 Al-Khurasyi, Manhu al-Jalîl Syarah Mukhtashar Khalîl, Dâr Shadir, I/71.
Sumber : Majalah Al Waie edisi Desember 2010

Tidak ada komentar: