Oleh : Arwani Syaerozi, Lc *
Dalam Islam kita mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu kita akan bertemu dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf mingguan. Untuk level tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul adha, merupakan dua hari kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim se-dunia. Mengenai Ied yang pertama (Idul fitri) lumrahnya kita lebih perhatian dalam menyambut kedatangannya dan merasakan lebih semarak dalam setiap kali memperingatinya.
Idul fitri yang dirayakan pada setiap tanggal 1 Syawal, eksistensinya terasa lebih sakral jika dibandingkan dengan Idul adha yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah, sebab jatuhnya Idul fitri tepat setelah satu bulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa. Sehingga dengan tibanya tanggal 1 Syawal kita seakan-akan merasakan sebuah kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu.
Ibadah lain yang turut mewarnai setiap datangnya hari raya Idul fitri adalah zakat fitrah, kewajiban yang bersifat individual ini ikut menghiasi hari raya sebagai bentuk riil dari asas kebahagiaan bersama dalam ideologi Islam. Zakat yang secara umum bisa kita artikan sebagai proses pemerataan kepemilikan ini, pelaksanaannya tidak lain merupakan perpindahan harta yang dimiliki oleh kalangan orang-orang kaya ke tangan orang-orang yang tidak berdaya, tentunya dengan beberapa syarat dan catatan yang dikupas secara detail dalam kajian fiqh. Diantara hikmah disyari`atkannya zakat fitrah menjelang datangnya hari Idul fitri adalah agar dapat berbagi kebahagiaan antara sesama muslim dari kalangan mampu dan non mampu. Bagaimana tidak, sebab seorang muslim yang memiliki kecukupan makanan pada hari itu diharuskan atasnya mengeluarkan zakat fitrah baik berupa bahan makanan pokok maupun berupa uang.
Dari sini penulis merasa perlu untuk me-reaktualisasi makna penyambutan datangnya hari raya Idul fitri itu sendiri, yang terkadang tanpa disadari maknanya telah dicupetkan oleh sebagian kalangan dan atau bahkan disalah artikan. Saya yakin bahwa essensi Idul fitri itu sendiri bukan hanya sekedar media penumpahan rasa bahagia bersama anak cucu, kerabat, atau teman-teman dekat dengan melaksanakan shalat Ied berjamaah di sebuah masjid atau lapangan, berjabat tangan (ramah tamah), menyantap ketupat serta aneka macam makanan dan minuman lainnya. Akan tetapi lebih dari itu, rasa kepekaan sosial semestinya harus lebih dititik beratkan, atau dengan kata lain perhatian kita pada realisasi zakat fitrah dan proses penyalurannya harus lebih ditonjolkan Sebab pengurangan penderitaan komunitas miskin akan dapat menghapus penyakit-penyakit antisosial di antara mereka dan meningkatkan motivasi kerja, efisiensi, dan juga mereduksi waktu terbuang (kekosongan) akibat dari konflik.
Di belahan bumi ini masih banyak kita temukan saudara-saudara se-iman yang hidup di bawah garis kemiskinan. Baik itu disebabkan oleh ketidak stabilan politik dan perekonomian, maupun dikarenakan faktor minimnya sumberdaya manusia. Tengoklah misalnya di negara Afganisthan, Irak, dan Bosnia yang sampai saat ini rakyatnya terus dirundung ketidak jelasan nasib dan keburaman sosial yang diakibatkan tidak stabilnya kondisi politik dan ekonomi negara.
Di berbagai media massa akan banyak kita temukan gambaran kesengsaraan mereka, kondisi jauh dari kesejahteraan menjadi topik utama dalam mengisi harian surat kabar dan layar televisi rumah kita. Realitas buruk ini tidak cukup dengan membiarkan mereka untuk membangun kembali keterpurukan politik dan ekonomi negaranya yang selama ini menjadi sumber utama kesengsaraan, sementara kita yang menjadi saudara se-imannya hanya sibuk dengan urusan pribadi bahkan dengan kebahagiaan nisbi dalam perayaan-perayaan. Justru adanya langkah nyata dari kita lah yang akan membantu mengeluarkan mereka dari belenggu kesengsaraan, tentunya dengan bantuan baik berupa moril maupun materil. Dan zakat fitrah adalah salah satu dari bentuk bantuan materil yang bisa kita salurkan kepada mereka. Apalah artinya kalau kita berbahagia bersama anak cucu, karabat, dan teman-teman dekat kalau mereka yang notebene saudara se-iman justru merasakan suasana kebalikannnya. Akankah fenomena kesengsaraan dan kematian akibat kelaparan yang setiap saat menghantui mereka menjadi sesuatu yang lumrah mengisi hari-hari kita, hingga sama sekali tidak membangkitan rasa peduli kita ? atau bahkan kita akan menganggapnya sebagai sebuah konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka dalam menjalani kehidupan berbangsa ? Sungguh sangat naif kalau dalam diri kita tersimpan sikap-sikap di atas. Bukankah Rasul saw pernah mengingatkan umatnya akan efek dari sebuah kemiskinan, “ bahwa kemiskinan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran “. Apakah kita rela kekufuran akan mengganti intisari keimanan mereka ? Bukankah Rasul Saw juga pernah bersabda bahwa “ orang yang tidak peduli dengan kondisi umat Islam maka dia tidak termasuk darinya “. Dari hadist ini saja sebenarnya dianggap cukup untuk mencambuk kepasifan kita dalam melihat realitas ketimpangan sosial dan kondisi tidak meratanya kesejahteraan dalam komunitas kaum muslim.
Di sisi lain komitmen Islam yang mendalam terhadap pesaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam.
Para fuqaha (pakar hukum Islam) secara aklamasi telah menyepakati bahwa adalah fardlu kifayah (kewajiban kolektif) hukumnya bagi masyarakat muslim untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok orang miskin Kalau demikian adanya, mengapa pada kesempatan Idul fitri kali ini nurani kita tidak tergugah untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi saudara-saudara se-iman yang hidup dalam belenggu kesengsaraan.
Sekali lagi, makna Idul fitri bukan hanya “perayaan†sepihak, hari raya ini bukan milik segelintir orang saja akan tetapi kebahagiaan tersebut harus dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia lintas profesi dan tingkat strata sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar