Keutamaan Berdoa Pada Hari Jum'at

Hari Jum’at adalah hari yang paling utama dalam sepekan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan untuk kaum muslimin yang belum pernah diberikan kepada ummat-ummat sebelumnya sebagai karunia dan pemuliaan terhadap ummat ini. Pada hari tersebut terdapat ibadah-ibadah yang khusus (yang paling agung adalah Shalat Jum’at). Di bawah ini akan disampaikan dalil-dalil yang menyebutkan keutamaannya dan sunnah-sunnah serta kewajiban yang diperintahkan dalam rangka memuliakan hari Jum’at.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam mengatakan, yang artinya: “Sebaik-baik hari yang terbit padanya matahari adalah hari Jum’at. Pada hari itu diciptakan Adam ‘alaihissalam, dimasukkan dan dikeluarkan dari surga pada hari itu dan kiamat akan terjadi pada hari Jum’at pula.” (HR: Muslim, Abu Dawud, Annasa’i, Tirmidzi dan dishahihkannya. Lihat Fiqhussunnah oleh Sayyid Sabiq bab Jum’ah).

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa ibadah khusus yang mulia pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at. Barangsiapa yang meninggalkannya tanpa ada alasan syar’i akan mendapatkan dosa besar adan akan diadzab dengan adzab yang pedih. Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang suatu kaum yang meninggalkan shalat Jum’at, yang artinya: “Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahakan seorang laki-laki shalat bersama dengan manusia kemudian aku membakar rumah-rumah mereka yang tidak melakukan shalat Jum’at.” (HR: Muslim, Ad Darimi dan Al Baihaqi).

Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Muhammad bin Abdurrahman bin Zahrah, aku mendengar pamanku berkata, Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa mendengan panggilan adzan pada hari Jum’at dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, maka Alloh akan menutup hatinya dan menjadikan hatinya seperti hati orang munafik.” (HR: Al Baihaqi, Abu Ya’la, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Mundzir, hadits ini dihasankan oleh Masyhur Hasan Salman dalam Al Qulul Mubin fii Akhtha’il Mushollin).

Berikut ini beberapa hal yang disunnahkan berkenaan dengan keutamaan hari Jum’at:

  1. Disunnnahkan berdo’a karena berdo’a pada hari itu akan dikabulkan terutama pada waktu / saat mustajab (mudahj terkabul do’a). Hal ini terdapat hadits bersumber dari Jabir bin Abdillah. Dari Jabir bin Abdillah dari Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata, yang artinya: “Pada hari Jum’at ada dua belas waktu. Tidak ditemukan seorang muslim yang sedang memohon sesuatu kepada Alloh ‘Azza wa jalla kecuali pasti Dia memberinya. Maka carilah waktu itu, yaitu akhir waktu setelah ‘Ashr.” (HR: Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, hadits 926 hal. 196)

    Do’a yang paling disukai oleh Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam adalah meminta kebaikan di dunia dan akhirat dan meminta perlindungan dari neraka. Dalam suatu hadits disebutkan, yang artinya: “Barangsiapa yang meminta dimasukkan ke dalam surga, maka surga mengatakan: “Ya, Alloh, masukkan dia ke dalam surga”. Dan barangsiapa yang meminta perlindungan dari api neraka kepada Alloh subhanahu wata’ala, maka neraka akan berkata: “Ya Alloh, lindungilah dia dari neraka.” (HR: Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 6151/, lihat Shifatun Naar fil Kitab was Sunnah oleh Mahmud bin Khalifah Al Jasim).

  2. Disunnahkan memperbanyak bacaan shalawat Nabi. Aus bin Aus radliyAllohu ‘anhu berkata bahwa Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam pernah bersabda, yang artinya: “Seutama-utama hari adalah hari Jum’at. Padanya diciptakan dan dimatikannya Adam ‘alaihissalam, ditiup sangkakala dan dibinasakannya manusia. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat atasku pada hari itu karena shalawatmu akan sampai kepadaku.” Para sahabat bertanya: ”Bagaimana bisa sampai kepadamu sedangkan jasadmu telah dimakan tanah?” Rasululloh berkata: ”Alloh subhanahu wa ta’ala mengharamkan tanah untuk memakan jasad para Nabi.” (HR: Abu Dawud, Shahih, Lihat Shahih Sunan Abu Dawud hal. 196 hadits no. 925 oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani)

  3. Disunnahkan membaca Surat Al Kahfi pada siang atau malam harinya (Lihat Al Adzkar oleh Imam AnNawawi). Seorang muslim yang menghafal sepuluh atau tiga ayat pertama dari surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Juga barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dan sepuluh ayat dari Surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dalilnya adalah hadits dari Abu Darda’ radliyAllohu ‘anhu dari Nabi shallAllohu alaihi wasallam berkata, yang artinya: “Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surat Al Kahfi terjaga dari fitnah Dajjal.” (HR: Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi). Pada lafadz Tirmidzi, yang artinya: “Barangsiapa menghafal tiga surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal .” Dia berkata: “Hadits Hasan”.

    Pada hadits yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Abu Darda’ radliyAllohu ‘anhu bahwa Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal”. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Nasa’i dari Qatadah radliyAllohu ‘anhu. Dan pada lafadz Nasa’i menyatakan, yang artinya: “Barangsiapa membaca sepuluh ayat (mana saja) dari surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal.”

    Pada hadits yang marfu’ (sanadnya bersambung sampai Rasululloh, ed.) dari Ali bin Abi Thalib, yang artinya: “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at maka ia akan dijaga dari setiap fitnah sampai delapan hari walaupun Dajjal keluar ia akan tetap terjaga dari fitnahnya”. (Lihat tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kahfi).

    Disunnahkan pula membaca surat Alif Laam Miim tanziil – assajdah dan Hal ata ‘alal insan pada shalat fajar (shubuh). Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu mengatakan, yang artinya: Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam membaca surat Alif Laam Miim tanziil assajdah dan Hal ata ‘alal insan pada shalat subuh hari Jum’at. (Muttafaq ‘alaih)

    Menurut Thabrani dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi terus-menerus membaca kedua surat tersebut. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas dan Abi Hurairah radliyAllohu’anhum berkata bahwa Rasululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam membaca Surat Al Jum’ah dan Munafiqun pada hari Jum’at. (HR: Muslim).

    Demikian pula Nabi membaca surat Sabbihisma dan Al Ghasyiah pada shalat Jum’at. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Al-A’la dan Al Ghasyiah). Allohu Ta’ala A’lam.

(Sumber Rujukan: Al Adzkar, Imam Nawawi tahqiq Abdul Qadir Al Arnauth; Fiqhussunnah, Sayyid Sabiq; Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani; Tamaamul Minnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani; Ikhtishar Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi; Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Katsir; Taisiirul ‘Alllaam Syarhu ‘Umdatul Ahkam, Abdullah bin Abdirrahman bin Shalih Al Bassam; Subulussalam, Imam Ash-Shan’ani; Bulughul Maraam min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqalani; Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah; Al Qaulul Mubin fii Akhtha’il Mushallin, Masyhur Hasan Salman; Shifatun Naar fil Kitab was Sunnah, Mahmud bin Khalifah Al Jasim; Shahih Sunan Abi Dawud, Muhammad Nashiruddin Al Albani)

Sholat Jama' Dan Qosor

Shalat Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim).
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR: Bukhari Muslim).
Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah (langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis Shawaab.
(Sumber Rujukan: Fatawa As-Sholat, Asy-Syaikh Al Imam Abdul Aziz bin Baz dan Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi )

Anjuran dan Larangan dalam Urusan Jenazah

Prosesi jenazah dalam Islam memiliki makna yang sangat besar. Selain bisa mengingatkan orang akan kematian juga mempunyai keutamaan dan bisa mendatangkan pahala, sebagaimana sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, yang artinya: “Barangsiapa yang mengantarkan jenazah seorang muslim karena iman dan mengharap pahala sedang ia selalu menyertai jenazah tadi, sampai di shalati dan selesai dikubur, maka ia akan membawa pulang pahala dua qirath, sedang satu qirath adalah sebesar gunung Uhud” (Shahihul Jami’ No. 6136)

Demikian besar keutamaan mengikuti prosesi jenazah ini, namun perlu diketahui, bahwa untuk memperoleh keutamaan tersebut tentu kita tidak boleh sembarangan dalam melaksanakan proses mengurus jenazah tadi. Karena pahala tadi dijanjikan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, maka tentunya prosesi jenazah yang dilakukan harus mengikuti petunjuknya sebab merupakan suatu yang aneh jika kita mengharapkan pahala atau keutamaan, namun cara yang dianjurkan untuk memperolehnya tidak dilakukan dan bahkan cenderung menyelisihi.

Tulisan singkat ini akan memberikan beberapa penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jenazah, perkara-perkara yang dibolehkan dan juga beberapa hal yang dilarang berkaitan dengannya, semoga bermanfaat.

  • Dibolehkan seseorang yang akan meninggal untuk berwasiat memberi-kan hartanya (kepada selain ahli waris) dengan batas maksimal sepertiganya, dan bagi orang yang menunggui di saat menjelang kematiannya di sunnahkan untuk menuntunnya membaca (mentalqin) kalimat syahadat, la ilaha illallah supaya ucapan di akhir hayatnya adalah kalimat tauhid. Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Barang siapa yang akhir ucapannya adalah la ilaha illallah (tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh) maka dia masuk surga.” (HR: Abu Dawud dan al-Hakim dari Muadz bin Jabal Radhiallaahu anhu ) Yang demikian adalah bagi orang yang mengucapkan, meyakini serta mengamalkan konsekuensi kalimat tersebut semasa hidupnya, dan dia tidak pernah melakukan sesuatu perbuatan yang d apat membatalkannya. Ini merupakan salah satu dari tanda-tanda husnul khatimah, dan selain itu, ada beberapa tanda lain dari husnul khatimah seperti meninggal ketika sedang melakukan amal shalih, syahid atau meninggal fi sabilillah, meninggal karena tha’un (kolera/pes), sakit perut, tenggelam, terbakar, TBC, tertimpa reruntuhan atau longsoran. Juga meninggal di masa nifas bagi wanita setelah melahirkan.
  • Jika ia telah meninggal dunia, maka dianjurkan memejamkan mata-nya, menutupinya, dan memohonkan rahmat kepada Allah untuknya, kemudian keluarganya (ahlinya) supaya bersegera dalam melaksanakan prosesi jenazah, tidak perlu disemayamkan sampai berhari-hari. Bagi keluarganya juga di haruskan untuk cepat-cepat menyelesaikan hutang yang ditanggung oleh si mayit (jika ia berhutang).
  • Dibolehkan membuka wajah orang yang meninggal, lalu mencium dahinya (antara dua matanya), dan bagi keluarga yang ditinggal supaya bersabar atas takdir Allah yang menimpanya, janganlah mereka marah (meratapi) atas musibah tersebut.
  • Disunnahkan berwudhu bagi orang yang mengangkat jenazah atau membawanya dan tidak wajib baginya mandi. Jenazah hendaknya di bawa dengan tenang , khusyu’ sambil mengingat akhirat dan kematian.
  • Disunnahkan memasukkan mayit ke dalam kubur, dengan meletakkan di atas lambung kanannya, serta posisi wajah menghadap ke kiblat, seraya mengucapkan,
    Artinya, “Dengan menyebut nama Alloh, dan atas jalan Rasululloh.” Setelah itu ditimbun dengan tanah, kubur hendaknya dibiarkan apa adanya, yakni tidak boleh dimarmer atau di semen, kuburan juga tidak boleh ditinggikan atau di bangun, lalu dicat atau dikapur.
  • Bagi orang yang hadir di kuburan hendaknya jangan terburu-buru untuk bubar, namun supaya diam sejenak untuk mendo’akan mayit dengan cara masing-masing berdo’a sendiri-sendiri, bukan salah seorang berdo’a lalu diamini oleh yang lainnya. Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya:“Mohonlah ampunan untuk saudaramu (mayit yang baru selesai di makamkan) dan mohonkanlah untuknya agar Allah menetapkannya (dengan kalimat tauhid) karena dia sekarang sedang ditanya.” (HR: Abu Dawud dan Al-Hakim)
  • Disyariatkan untuk ta’ziah (mengibur) keluarga mayit dengan kalimat-kalimat yang baik dan sesuai, dan ta’ziah ini boleh sampai tiga harinya. Contoh kalimat untuk menghibur/ membesarkan hatinya misalnya: “Sungguh hanya milik Alloh apa-apa yang Dia ambil, sama juga apa yang Dia berikan adalah milikNya, segala sesuatu adalah hanya milikNya, dan pasti ada batasnya sampai ajal yang telah ditentukan, maka sabarlah dan mohonlah pahala atas musibah ini.” Dan kalimat-kalimat lain semisal yang tidak menyelisihi syari’at, namun pada intinya adalah untuk menguatkan hati keluarga yang ditinggal supaya bersabar, menerima dan ridha dengan takdir Alloh, sehingga tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN

  • Membacakan surat Yaasin untuk si mayit bukan termasuk ajaran Islam, karena tidak ada hadits shahih yang menjelaskan masalah ini. Bahkan dalam surat Yaasin tersebut ada satu ayat yang menjelaskan bahwa Al Qur’an ini adalah pering atan bagi orang yag hidup: “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (QS: 36: 70)
  • Dilarang niyahah (meratap) atas kematian seseorang apalagi sampai berteriak-teriak dan meraung-raung menangis, menampar pipi dan merobek baju, ini semua termasuk perkara-perkara jahiliyah.
  • Jika seseorang meninggal dunia, maka diutamakan agar dikuburkan di negri tempat meninggalnya tersebut. Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam pernah memerintahkan untuk membawa pulang jenazah yang rencananya akan di bawa ke Madinah, beliau memerintahkan agar jenazah tersebut di makamkan di negri tempat dia meninggal.
  • Tidak dibolehkan menshalatkan orang yang murtad (keluar dari Islam) atau orang yang tidak pernah shalat (karena para ulama menghukumi, bahwa orang yang tidak pernah shalat, maka dia adalah kafir, pen), tidak pula memintakan ampun buat mereka. Mereka juga tidak ada hak saling mewarisi dan tidak boleh di kuburkan di pekuburan orang muslim.
  • Termasuk kesalahan yang sering dilakukan oleh sebagian orang adalah mengangkat/mengeraskan suara di depan jenazah misalnya menyerukan kalimat tauhid, memanggil-manggilnya, menyebutkan syahadat dengan sangkaan, bahwa yang demikian memberi manfaat kepadanya, padahal Alloh telah berfiman, yang artinya: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS: 27: 80)
  • Mengumandangkan adzan di kubur adalah tidak ada tuntunannya di dalam Islam, baik itu ketika jenazah dimakamkan ke liang kubur atau setelah selesainya penguburan. Mereka mengira ini bisa mengingatkan si mayit. Bisa jadi mayit yang diadzankan itu masa hidupnya termasuk orang yang sering mendengar adzan, namun tidak memenuhi panggilan adzan tersebut. Dan bukankah adzan adalah panggilan untuk shalat sedangkan shalat merup akan kewajiban orang Islam yang masih hidup?!
  • Termasuk hal yang tidak benar adalah mengumpulkan orang, menyembelih binatang (kambing atau sapi) dan makan-makan di tempat keluarga mayit, bahkan tidak jarang ada yang berlebih-lebihan atau terkadang memaksakan diri dalam hal ini. Yang dianjurkan adalah membuatkan makan untuk keluarga mayit, karena mereka sedang dalam keadaan duka, sehingga mungkin tidak sempat untuk mema-sak, bukan sebaliknya makan-makan di rumah mereka.
  • Ada sebagian orang yang memberi persaksian, bahwa si mayit termasuk ahli iman, orang baik dan orang shaleh padahal kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Persaksian seperti ini tidak ada gunanya di hadapan Alloh, karena Dia Maha Tahu atas segala sesuatu.
  • Banyak orang yang menaburkan bunga, biji-bijian (misal, beras kuning) atau jenis-jenis tanaman lain di atas kuburan. Hal ini juga tidak memberi manfa’at bagi orang yang meninggal. Yang memberi manfaaat baginya adalah amal shalehnya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS: 53: 39)
  • Termasuk hal baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan juga para shahabatnya adalah mengadakan acara-acara tertentu di mana orang-orang berkumpul, duduk-duduk dan tidak jarang sampai menutup jalan umum, biasanya selama tiga hari berturut-turut. Hal ini bisa mengganggu jalan sesama muslim dan memperlambat urusan mereka, disamping acara tersebut memang tidak pernah dicontohkan di dalam agama Islam.
  • Termasuk hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, banyak para pelayat (orang yang berta’ziyah) ketika jenazah selesai dikuburkan tidak mendo’akan untuknya. Namun segera bubar lalu berbaris di pintu gerbang makam untuk menghibur (ta’ziyah) kepada keluarga mayit, satu per satu memegangi pudak keluarga mayit tersebut.
  • Merupakan hal yang baru juga: menulis ayat-ayat Al Qur’an di kiswah (kain penutup) jenazah, menyembelih binatang di sekitar pintu rumah setelah jenazah dibawa keluar, menyediakan tempat/ruangan khusus untuk orang yang berta’ziyah, serta berdiri meng-hadap ke kuburan sambil bersedekap seperti shalat ketika mendo’akan mayit.

Sekilas tentang Siwak

Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan email gigi; bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak; seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut. (syarhul mumti’ 1/118)

Sebagian ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahwasanya jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: ”Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya-pent) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya” (Hr: Ahmad dalam musnadnya 1/158. Berkata Al-Hafizh dalam talkhis 1/70 setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas dan Aisyah dan selain keduanya: ”Dan hadits yang paling shohih tentang siwak dengan jari adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi Tolib”.) (Syarhul mumti’ 1/118-119)

Dan bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih mengikuti sunnah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam karena memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak diragukan lagi akan kesunnahannya. Mereka memandang orang yang bersiwak dengan akar kayu dengan pandangan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bahkan ketika akhir hayat beliau? Tidak cukup hanya dengan membenci, merekapun memberikan olok-olokan yang tidak layak sampai-sampai mereka mengatakan orang yang bersiwak adalah orang yang jorok.

(Sumber Rujukan: Syarhul Mumti’ ‘ala zadil mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin)

Keutamaan bersiwak

Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan mendapatkan keridhoan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagaimana sabda Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (HR: Ahmad, irwaul golil no 66 [shohih]). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62)

Oleh karena itu Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda, yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)

Dan yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)

Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Alloh, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir, yang artinya: “Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)

Dan ternyata Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah… Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata, yang artinya: ”Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rosululloh jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. (HR: Muslim, irwaul golil no 72)

Atau ketika bangun malam…
Dari Hudzaifah ibnul Yaman, dia berkata, yang artinya: “Adalah Rosululloh jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak”. (HR: Bukhori)

Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas. Dalam hadits ini Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktu (Syarhul mumti’ 1/120, fiqhul islami wa adillatuhu 1/300), sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor (Syarhul mumti’ 1/125).

Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, yang artinya: Aku mendatangi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh- uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah. (HR: Bukhori dan Muslim)

Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah, yang artinya: Dari ‘Aisyah berkata: Abdurrohman bin Abu Bakar As-Sidik y menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersandar di dadaku. Abdurrohman y membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rosululloh, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rosululloh bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rosululloh selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :

فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى

Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata, yang artinya: “Aku melihat Rosululloh memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata: ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rosululloh mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju. (HR: Bukhori dan Muslim)

Oleh karena itu berkata sebagian ulama: “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.” (fiqhul islami wa adillatuhu 1/300)

(Sumber Rujukan: Syarhul Mumti’ ‘ala zadil mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin; Irwaul Golil jilid 1, karya Syaikh Al-Albani; Taisirul ‘Alam jilid 1, Karya Syaikh Ali Bassam; Fiqhul Islami wa adillatuhu jilid 1, karya Doktor Wahbah Az-Zuhaili)

Jual beli Saham dan Obligasi

Bukan perkara yang diragukan lagi bahwa jual beli saham dan obligasi banyak sekali terjadi dalam praktek muamalah manusia hari ini, bahkan merupakan amalan yang banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan bisnis. Karena itu maka kita akan bawakan dalam bahasan kita mulai dari definisi keduanya, perbedaan saham dan obligasi serta hukum jual beli keduanya.

Saham yaitu bagian dari modal pokok perusahaan, baik perusahaan perdagangan, property, ataupun perusahaan-perusahaan industri, Saham tersebut bisa berasal dari pemilik perusahaan ataupun pihak lain yang mengadakan perjanjian kerjasama. Setiap saham adalah komponen modal yang mempunyai nilai sama (sesuai dengan nilainya, pent).

Obligasi adalah Surat perjanjian (pengakuan hutang) dari bank, perusahaan dan sejenisnya kepada pemegangnya dengan waktu pelunasan tertentu pula, pada umumnya sesuai dengan bunga yang ditetapkan dalam akad peminjaman antara perusahaan ,lembaga pemerintahan, atau perorangan. Terkadang sebuah perusahaan membutuhkan sejumlah harta (pinjaman) untuk perluasan usahanya, yang dapat dilunasi dalam waktu yang panjang, sedangkan tidak ada yang dapat memberikan pinjamaan, maka akhirnya perusahaan itu menawarkan obligasi sejumlah yang dibutuhkan kepada publik untuk membelinya, dengan memberikan bunga tertentu dalam satu tahun. Pemilik obligasi mengambil bunga tersebut sampai waktu tertentu (jatuh tempo), kemudian dikembalikan hartanya kepadanya, dan terus belaku kebiasaan muamalah dengan obligasi ini, dan dijadikan sebagai ajang jual beli antar individu, layaknya barang-barang dagangan, maka pembawa obligasi menjualnya kepada yang lain, kemudian dijualnya lagi kepada yang lain, begitu seterusnya.

Perbedaan Saham dan Obligasi
Saham menggambarkan sebagian dari modal pokok sebuah perusahaan. Pemilik saham dipandang sebagai pemilik sebagian asset dari perusahaan sesuai dengan kadar saham yang dia miliki. Adapun obligasi dipandang sebagai hutang perusahaan, maka perusahaan berhutang kepada pemilik obligasi tersebut.

Obligasi memiliki masa jatuh tempo untuk pelunsan hutang, adapun saham tidak memiliki kecuali ketika perusahaan tersebut dinyatakan dilikuidasi.

Keuntungan ataupun kerugian pemilik saham tergantung dari prestasi perusahaan tersebut, tidak ada batasan khusus bagi keuntungan perusahaan, terkadang untung dengan keuntungan yang besar, dan terkadang rugi dengan kerugian yang besar. Pemilik saham sama-sama mengambil bagian dalam untung atau ruginya perusahaan. Terkadang mereka mendapatkan keuntungan yang besar ketika perusahaan mendapatkan laba yang besar. Dan terkadang pula mereka rugi ketika perusahaan itu jatuh. Maing-masing mereka menanggung bagian untung atau rugi.

Adapun pemilik obligasi dia memiliki bunga tetap yang dijamin ketika peminjaman, yang dapat dilihat dari surat obligasinya, bunga tersebut tidak bertambah dan tidak berkurang. serta tudak menggambarkan adanya kerugian. Apabila mereka misalnya meminjamkan (membeli obligasi) seharga 3 Junaih (ukuran mata uang mesir) bagi setiap 100 junaih. Kemudian perusahaan itu untung 10 junaih bagi setiap 100 junaih, maka mereka tidak akan mendapatkan lebih dari bunga yang telah ditetapkan baginya. Sedangkan bagi pemilik saham mereka akan mendapatkan 10 junaih dari setiap 100 junaih. Dan begitupun sebaliknya jika perusahaan itu jatuh dan rugi maka para pemilik obligasi akan tetap mendapatkan bunga yang telah ditetapkan baginya, disaat para pemikik saham tidak mendapatkan sedikitpun kuntungan bahkan mereka menanggung beban kerugian.

Ketika perusahaan dilikuidasi, maka kedudukan tertinggi ada pada pemegang obligasi karena dia merepresentasikan hutang perusahaan. Pemegang saham tidak memiliki hak atas harta perusahaan kecuali setelah ditunaikan semua hutang perusahaan. Bagi pemegang obligasi berhak untuk menuntut pengumuman kerugian perusahaan ketika perusahaan tersebut tidak bisa menunaikan kewajibannya (pailit).

Hukum Jual Beli Saham ada dua macam:

  • Saham pada perusahaan yang haram atau dari penghasilannya haram seperti dari bank-bank yang bermuamalah dengan riba atau perusahaan-perusahaan judi atau tempat-tempat keji, maka jual beli saham ini adalah haram, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala jika mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula harganya, disamping itu dengan membeli sahamnya berarti dia telah melakukan kerjasama dalam perbuatan dosa, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS: Al Maidah: 2)

  • Saham pada perusahaan yang mubah seperti perusahaan-perusahaan dagang yang mubah atau perusahaan industri yang mubah, maka yang seperti ini dibolehkan menanam saham padanya, bekerja sama dengannya serta jual beli sahamnya, jika memang perusahaan tersebut telah diketahui dan dikenal serta tidak ada penipuan dan ketidaktentuan yang berlebihan padanya, karena saham itu adalah sebagian dari modal yang akan kembali kepada pemodalnya dengan keuntungan dari hasil perniagaan atau perindustrian, maka saham seperti ini adalah halal tanpa ada keraguan padanya.

Hukum Jual Beli Obligasi

Telah jelas dari keterangan yang lalu bahwasanya obligasi hakekatnya adalah peminjaman dengan membuahkan penghasilan atau bunga, karena obligasi adalah hutang perusahaan kepada pemilik obligasi yang berhak sebagaimana perjanjian untuk mendapatkan hasil tertentu dari pinjaman itu secara tahunan baik perusahaan itu untung atau rugi, maka dengan demikian ia masuk dalam lingkup transaksi riba, oleh sebab itu terbitnya obligasi sejak awalnya adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at, maka jual belinya tidak boleh secara syari’at dan bagi pemilik obligasi ini tidak boleh menjualnya.

Tapi bagaimana kalau seandainya obligasi itu berbentuk hutang yang sesuai dengan syari’at (tidak berbunga-pent) apakah boleh menjualnya?

Ini masuk dalam pembahasan menjual hutang dan itu dibolehkan jika menjualya kepada orang yang berhutang dengan syarat harus menerima gantinya di majlis (jual-beli) itu, dengan dasar hadits Ibnu Umar: Dulu saya menjual Unta di Baqi’ dengan uang dinar (uang dari emas), kemudian kami mengambil gantinya berupa dirham (uang dari perak), kemudian aku bertanya kepada Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam maka beliau menjawab, yang artinya: “Tidak mengapa jika kalian berpisah dalam keadaan tidak ada sesuatu diantara keduanya” (HR: Abu Dawud, Nailul Authar 5/157)

Adapun jika dijual kepada selain yang berhutang, maka pendapat yang kuat juga dibolehkan jika dijual dengan selain uang seperti beras, gandum atau mobil. Adapun jika dijual dengan uang maka tidak sah karena hakekatnya adalah menjual uang secara kontan dengan uang yang kredit padahal syarat sahnya penjualan seperti itu adalah harus saling menerima (taqabuth) uang pada satu majlis jika jenis uangnya atau mata uangnya berbeda dan jika satu mata uang maka ditambah syarat yang lain yaitu harus sama nilainya, maka obligasi itu tidak boleh dijual dengan harga yang lebih rendah, jika dengan harga yang berbeda maka terjatuh dalam riba fadl dan nasi’ah.

(Sumber Rujukan: Ar Riba Wal Mu’amalat Al Mashrafiyah, Karya Syaikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al Mutrak, hal 369-375)

Jual beli yang terlarang

Perdagangan ataupun kegiatan yang berkaitan dengan jual beli lainnya seperti memproduksi suatu barang kebutuhan umat manusia, menerima jasa dan sebagainya bukanlah sebuah perbuatan yang dilarang oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya. Dan juga selama segala sesuatu yang di perjual-belikan itu bukanlah sesuatu yang bertentangan atau dilarang oleh Syariat Islam.

Jual Beli Ketika Panggilan Adzan

Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: Al Jumu’ah: 9).

Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “yang demikian itu”, yakni “perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya”. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jum’at adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Bertasbih kepada Alloh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Alloh, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Alloh memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Alloh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Alloh memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS: An-Nur: 36-38).

Jual Beli Untuk Kejahatan

Demikian juga Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan” (AL Maidah: 2)

Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata “Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah ketaТatan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan.”

Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim

Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisa’: 141).

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya” (shahih dalam Al Irwa’: 1268, Shahih Al Jami’: 2778)

Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya

Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembila.. Atau perkataan Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.” (Mutafaq alaihi).

Juga sabdanya, yang artinya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya” (Mutfaq Сalaih)Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan: Saya beli dengan harga sepuluh. Pada zaman ini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

Samsaran

Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota)”.

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: Tidak boleh menjadi Samsar baginya (yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi). Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Alloh” (HR: Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603)

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan. Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang.

Jual Beli dengan Сinah

Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara Сinah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara Сinah dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Alloh akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembali kepada agama kalian” (HR: Silsilah As Shahihah: 11, Shahih Abu Dawud: 2956) dan juga sabdanya, yang artinya: “Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli” (Hadits Dha’if, dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram: 13).

(Sumber Rujukan: Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13, dengan beberapa tambahan)

KEUTAMAAN DZIKIR DAN KALIMAH TAUHID

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Ra;uluilah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang mondar mandir di jalan mencari ahli dzikir. Apabila mereka mendapat kaum yang sedang berdzikir kepada Allah mereka memanggil-manggil : “Marilah kepada keperluanmu”.

Beliau bersabda….. : “Malaikat itu mengitari dengan sayap mereka ke langit dunia. Beliau bersabda : Tuhan mereka berfirman pada hal Dia lebih mengetahui tentang mereka : “Apakah yang diucapkan oleh para hambaKu?”. Beliau bersabda : Malaikat menjawab : “Mereka sedang me Maha Sucikan Mu, me Maha Besarkan Mu, memujiMu dan me Maha Muliakan Mu”. Tuhan berfirman : “Apakah mereka melihat Ku?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Tidak, demi Allah mereka tidak melihatMu”. Beliau bersabda : “Tuhan berfirman : “Bagaimana seandainya mereka melihatKu?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab: “Seandainya mereka melihatMu, niscaya mereka lebih beribadah kepadaMu, lebih memuliakan, lebih memuji dan lebih mensucikanMu”. Beliau bersabda : Tuhan berfirman : “Apakah yang mereka pinta kepadaKu?”. Beliau bersabda : “Mereka meminta surga kepada Mu”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Apakah mereka melihatnya?” Beliau bersabda : Malaikat menjawab : “Tidak, demi Allah mereka tidak melihatnya”. Tuhan berfirman : “Bagaimanakah seandainya mereka melihatnya ?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka lebih loba terhadapnya, lebih meminta dan lebih gemar terhadapnya”. Tuhan berfirman : “Terhadap apa mereka berlindung ?”. Beliau bersabda : Malaikat menjawab : “Dari neraka”. Beliau bersabda : Tuhan berfirman: “Apakah mereka melihatnya ?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Tidak, demi Allah wahai Tuhan, mereka tidak melihatnya”. Beliau bersabda : Tuhan berfirman : “Bagaimanakah seandainya mereka melihatnya ?”. Beliau bersabda” : Mereka menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka lebih sangat lari dan sangat takut”. Beliau bersabda : “Tuhan berfirman : “Aku persaksikan kepadamu bahwa Aku telah mengampuni mereka”. Beliau bersabda : “Salah satu malaikat berkata: “Diantara mereka ada Fulan yang bukan dari golongan mereka. Kedatanganya hanya karena ada keperluan”. Tuhan berfirman : “Mereka teman-teman duduk, dimana orang yang duduk bersama mereka tidak celaka”. (HR. Bukhari)

ISTIHADHOH

I. TA’RIF
Adalah darah yang keluar dari wanita diluar waktu yang biasanya ( selain haid dan nifas) kerana sakit atau kerusakan jaringan rahim.

II. MEMPERKIRAKAN ISTIHADLOH DENGAN HAID

Untuk membedakannya dapat dilakukan dengan beberapa cara;
1. Membedakan sifat darah

Jika darah yang keluar memiliki sifat – sifat darah haid, misalnya ; kehitam –hitaman, berbau tidak sedap, terasa sakit (panas) saat keluar, maka itu dikategorikan sebagai darah haid. Dan jika tidak demikian maka itu adalah darah istihadloh. Hadits Urwah dari Fatimah binti Ali Hubaisy, yang pernah mengalami Istihadloh, kemudian Rosulullah mengatakan;

“Jika memang darah haid, maka itu kehitam- hitaman dan dikenal (oleh banyak wanita) , kalau demikian berhentilah sholat. Jika darah selain itu maka wudhu dan sholatlah, kerana demikian adalah darah penyakit”.

2. Kebiasaan haid seseorang / lama waktunya, jika melebihi waktu seperti biasanya maka itu adalah istihadloh.

3. Kembali pada kebiasaan umum antara 6 s/d 7 hari, maka setelah hari itu jika masih keluar adalah istihadloh.

Ketiga metode ini hendaklah digunakan secara berurutan yakni dengan membedakan warna dan sifat darah, namun jika tidak bisa maka gunakan metode yang kedua yaitu lama haid pada biasanya, jika ternyata orang itu lupa atau tidak tahu berapa hari biasanya ia haid, maka harus kembali pada kebiasaan umum yaitu enam sampai tujuh hari masa haid.


III. HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN ISTIHADLOH

1. Tidak wajib mandi jika akan sholat kecuali setelah haid

2. Berwudhu untuk setiap kali akan sholat

3. Membersihkan kemaluan sebelum wudhu menutupinya / memakai pembalut untuk menghindari najis

4. Melakukan wudhu setelah masuk waktu sholat / berwudhu untuk setiap akan sholat

5. Boleh melakukan hubungan suami istri ( berjima’)

6. Orang yang istihadloh hukumnya sama dengan orang yang suci, harus sholat,puasa dan boleh tadarus, I’tikaf dan lain- lain

MACAM HAID DAN HUKUMNYA

1. Haid Permulaan

Yaitu wanita yang melihat darahnya untuk pertama kalinya dalam setiap masa haidnya.
Hukumnya, hendaklah ia meninggalkan Sholat, Puasa dan bersetubuh (bagi yang telah bersuami), kemudian menunggu hingga suci. Yaitu bila ia melihat darah itu berhenti setelah sehari semalam atau lima belas hari ( bagi yang keluar darahnya tidak teratur atau secara terus menerus), maka setelah itu hendaknya ia
mandi dan sholat.

2. Haid yang Biasa
Yaitu waktu haid yang telah diketahui masanya oleh wanita, maka ia harus meninggalkan sholat, puasa, dan bersetubuh. Bila ia melihat cairan kuning atau keruh yang masih keluar diluar waktu masa haid biasanya maka jangan hiraukan hal itu, hal ini berdasarkan kata Umm Atiyah

“ Kami tidak menganggap apa – apa jika masih keluar cairan kuning atau keruh setelah suci” ( Bukhori)

Sehingga bila melihat cairan kuning atau keruh, yang biasa terjadi sesudah haid maka itu masih dalam keadaan haid dan tidak wajib mandi, sholat, puasa dan dilarang bersetubuh.
Sebagian ulama berpendapat bahwa bagi siapa yang melihat darah haid melebihi hari – hari kebiasaannya, tunggu saja tiga hari kemudian mandi dan sholat selagi tidak melebihi 15 hari, jika lebih dari 15 hari dianggap perempuan istihadah.
Sebagian lagi berpendapat bahwa jika melihat darah lebih dari kebiasaannya,jangan meninggalkan sholat kecuali jika terjadi berulang dua atau tiga kali, ini berarti kebiasaan telah berubah.Dan pendapat ini dianggap pendapat yang kuat.
Sehingga jika darah telah berhenti seperti biasanya, kemudian ia mandi dan sholat, tapi kemudian keluar lagi melebihi kebiasaannya itu, hendaknya ia tetap sholat jika keluarnya hanya sekali saja. Namun jika darah keluar dua atau tiga kali atau lebih dari itu yang tidak melebihi 15 hari setelah masa haid yang biasanya, maka hendaknya ia menghentikan sholat, karena darah yang keluar itu adalah darah haid bukan istihadah. Yang berarti kebiasaan haidnya telah berubah.

3. Haid darah penyakit / istihadah
Jika darah istihadah itu biasa dan diketahui kebiasaannya maka hendaklah mandi dan kemudian sholat, puasa dan boleh bersetubuh (Jima’) pada masa itu.
Namun jika tidak biasanya atau biasa tapi lupa maka hendaknya ia memperhatikan warna darahnya, maka ia tidak sholat saat warnanya hitam lalu mandi sesudah darahnya tidak berwarna hitam dan sholat ,selagi tidak melebihi 15 hari. Adapun jika melebihi 15 hari maka tanpa memperhatikan warna darahnya ia harus tetap sholat.
Bila darah itu tidak bisa dibedakan, tidak hitam dan tidak yang lainnya, maka ia tidak melakukan sholat pada setiap bulan pada kebiasaan haid, enam atau tujuh hari, sesudah itu barulah ia mandi dan sholat.
Bagi wanita yang istihadah hendaknya ia wudhu setiap hendak sholat,lalu memakai pembalut dan kemudian sholat.

4. Haid orang yang hamil
Pendapat ini menurut sebagian para fuqoha dari madzab Maliki dan Syafi’i
Hukum wanita yang hamil adalah sebagaimana wanita yang tidak hamil bila keadaannya (haidnya) tidak berubah. Bila kebiasaannya berubah Ibn Al Qasim berkata :

“Perempuan itu berada dalam hukum haid lima belas hari sesudah tiga bulan dan dua puluh hari sesudah enam bulan , tiga puluh hari pada akhir hamil dengan alasan bahwa darah haid banyak selama hamil besar”.

ILMU FIQIH

I. Pengertian Ilmu Fiqih

Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;

“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”

Hadits Nabi :

“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).

Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.

II. Perkembangan Ilmu Fiqih

A. Masa Nabi

Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya.

Dalam masa Nabi wahyu Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.

Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.

Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.

Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”.

Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian berkata : “Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang sahabat berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.

Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan.

Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :

  1. Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) ‘Amr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka ‘Amr bin Ash menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.” (QS An-Nisa : 29)

Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.

  1. Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.

Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.

  1. Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.

Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.

B. Masa Khulafaur Rasyidin

Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.

Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.

Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.

Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :

“Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)

“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).

Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.

Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.

Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :

“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”

Hadits Nabi :

“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”

Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.

Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :

  1. Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
  2. Abdullah Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
  3. Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
  4. Abdullah bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
  5. Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
  6. Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
  7. Aisyah, Ummul Mukminin
  8. Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
  9. Abu Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.

10. Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan perguruannya di Basrah.

11. Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.

Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :

1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.

2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.

3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.

Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab :

“Apakah hal itu telah terjadi ?” Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”.

4. Toleran

Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : “Apa yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid”.

5. Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.

C. Masa Tabi’in

Para tabi’in adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabi’in mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :

1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.

2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.

Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.

Mufti dan Fuqaha di Madinah

  1. Said bin Al Musayyab
  2. Urwah bin Zubair
  3. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
  4. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
  5. Abu Bakar bin Abdurrahman
  6. Sulaiman bin Yasar
  7. Ubaidillah bin Abdullah

Mufti dan Fuqaha di Mekkah :

  1. Atha’ bin Abi Rabah
  2. Thawus bin Kisan
  3. Mujahid bin Jabar
  4. Ubaid bin Umar
  5. Amru bin Dinar
  6. Ikrimah maula Ibnu Abbas

Mufti dan Fuqaha di Basrah :

  1. Amru bin Salamah
  2. Abu Maryam al-Hanafy
  3. Ka’ab bin Sud
  4. Hasan Al Basri
  5. Muhammad bin Sirin
  6. Muslim bin Yasar

Mufti dan Fuqaha di Kufah :

  1. Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
  2. Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
  3. Syuraih al Qadhy
  4. Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
  5. Rabi’ bin Khutsam.

Mufti dan Fuqaha di Mesir :

  1. Yazid bin Abi Habib
  2. Bakir bin Abdillah
  3. Amru bin Al-Harits

Mufti dan Fuqaha di Yaman :

  1. Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
  2. Abdul Raziq bin Hamman
  3. Hisyam bin Yusuf
  4. Muhammad bin Tsur
  5. Samak bin Al-Fadhl

Mufti dan Fuqaha di Baghdad :

  1. Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
  2. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby

Mufti dan Fuqaha di Andalusia :

  1. Yahya bin Yahya
  2. Abdul Malik bin Habib
  3. Baqi bin Makhlad
  4. Qasim bin Muhammad
  5. Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly

Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah)

Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :

  1. Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
  2. ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
  3. Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
  4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
  5. ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
  6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
  7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).

D. Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam Mazhab.

Mufti dan Fuqaha di Mekkah :

Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.

Mufti dan Fuqaha di Madinah :

Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.

Mufti dan Fuqaha di Basrah :

Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah, Hammad bin Salamah, Ma’mar bin Rasyid.

Mufti dan Fuqaha di Kufah :

Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah

Mufti dan Fuqaha di Baghdad :

Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.

Mufti dan Fuqaha di Syam

Yahya bin Hamzah Al Qadly, ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.

Mufti dan Fuqaha di Mesir :

Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.

Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak menulis dan memberi fatwa.

Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama mempelajari agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.

Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As Syuba’I, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat dari Imam ‘Ashim (salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al-Qur’an), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali.

Imam Syafi’i berkata : “Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.”

Imam Malik berkata : “Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia, andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.”

Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : “Saya mengambil Kitabullah (Al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dalam Al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW, dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya akan mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim, Sya’bi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.

Fudail bin Iyadh mengatakan : “Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari sahabat dan tabi’in. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang sangat baik”.

Al-Dabussi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyebutkan : “Abu Hanifah suka pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq), memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan hukum-hukum.”

Imam Abu Hanifah berkata : “Perumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”.

Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.

Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam penjara.

Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i.

Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah :

  1. Al-Qur’an
  2. Hadits dari riwayat kepercayaan.
  3. Ijma’
  4. Fatwa Shabat
  5. Qiyas
  6. Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
  7. Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)

Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.

Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi ra’yu (Qiyas) lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar.

Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :

Tentang Masailul Ushul :

1. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.

2. Al-Jami’us Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.

3. Al-Jami’ul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.

4. As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.

5. AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.

6. Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.

7. Al-Kafi, karya : Abdul Fadha’ Hammad bin Ahmad.

8. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.

Tentang Masailul Nawadhir :

1. Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.

2. Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.

3. Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.

4. Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.

5. Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.

Tentang Fatwa wal Waqi’at :

1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.

Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :

1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi’ Al Hakam.

Imam Malik bin Anas (93-179 H)

Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.

Imam Malik belajar hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi’ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’ bin Abu Nu’man.

Ibnu Al-Kasim berkata : “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual kepasar”.

Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.

Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan : “ Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya Yahya bin Sa’ad, Rabiah dan Nafi’, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya.

Abu Dawud mengatakan : “Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau Hasan Al Basri.”

Sufyan mengatakan : “Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’ telah sampai kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuat”.

Imam Syafi’i mengatakan : “Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalah”.

Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya.

Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : “Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits”. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta’, merupakan kitab hadits tertua yang sampai kepada kita.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa “akad orang yang dipaksa itu tidak syah”. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.

Gubernur Madinah, Ja’far bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar, justru makin melambung dan harum dimata umat.

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga istana, maka Imam Malik berkata , “ Ilmu itu didatangi bukan sebaliknya”. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Ma’mun dan Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta’.

Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).

Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :

  1. Al-Qur’an
  2. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
  3. Ijma’
  4. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
  5. Qiyas
  6. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
  7. Perkataan Sahabat.

Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).

Kitab Kitab Mazhab Maliki :

1. Kitab Hadits, Al Muwatta’.

2. Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)

3. Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)

4. Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).

Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H)

Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).

Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-Qur’an. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.

Imam Syafi’i kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam Syafi’I sudah hafal kitab Al-Muwatta’ karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qur’an imam Syafi’i yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.

Ketika berumur 20 tahun Imam Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.

Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal kitab Al Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya.

Imam Syafi’i kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafi’i juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi’i tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafi’i ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.

Sesampai di Irak, imam Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafi’i mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.

Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi’i. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang putri.

Di Yaman Imam Syafi’i juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.

Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.

Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan, Imam Syafi’i sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.

Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi’i ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam Syafi’I tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.

Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafi’i terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya.

Metode Ijtihad Imam Syafi’i :

1. Al-Qur’an

2. Hadis

3. Ijma’

4. Qiyas

5. Istidlal

Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qur’an dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi’i Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.

Kitab-kitab mazhab Syafi’i :

1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.

2. Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.

3. Jami’ul Ilmi.

4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.

5. Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.

6. Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auza’y.

7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.

8. Musnad Imam Syafi’i, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)

Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.

Ketika berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.

Mengenai gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.

Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, wara’ dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan : “Imam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) hadits”. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Ayahku telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar kepala”.

Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum Mu’tazilah berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat.

Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.

Sepeninggal Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.

Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan Al-Qur’an.

Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.

Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :

1. Al-Qur’an

2. Hadits

3. Ijma’ Sahabat

4. Fatwa Sahabat

5. Atsar Tabi’in

6. Hadits Mursal / Dhaif

7. Qiyas

Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada menggunakan Qiyas.

Kitab-kitab mazhab Hanbali :

  1. Tafsir Al-Qur’an.
  2. Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
  3. Kitab Nasikh wal Mansukh.
  4. AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
  5. Jawabatul Qur’an.
  6. Kitab At Tarikh.
  7. Al Manasikul Kabir.
  8. Al Manasikus Saghir.
  9. Tha’atur Rasul.

10. Al-‘Illah.

11. Kitab Zuhud.

12. Kitab Ash Shalah.

III. Ijtihad

Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syara’ dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits).

A. Aliran Hadits / Atsar

Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan ra’yu (qiyas) dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :

1. Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.

2. Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan sosial.

3. Banyaknya Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis nash.

4. Mengikuti guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan sangat hati-hati dalam menggunakan ra’yu (qiyas).

B. Aliran Ra’yu

Setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.

Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.

Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan ra’yu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :

  1. Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Mughirah bin Sub’ah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
  2. Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
  3. Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
  4. Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid syari’ah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat. Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syari’atannya.
  5. Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid syari’ah dan pertimbangan kemaslahatan.

Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :

Pada suatu hari Rabi’ah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli hadits) tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :

Rabi’ah :”Berapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?”

Said Al Musayyab: “10 ekor onta”.

Rabi’ah : Jika dua anak jari ?”

Said Al Musayyab : “20 ekor onta”

Rabi’ah : “Jika tiga anak jari ?”

Said Al Musayyab :”30 ekor onta”.

Rabi’ah : “Jika empat anak jari ?”

Said Al Musayyab : “20 ekor onta”

Rabi’ah : ”Apakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?”

Said Al Musayyab : “Apakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkan”.

Demikianlah ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli ra’yu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak jari sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.

Pada suatu hari Al Auza’i bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auza’i bertanya kepada Abu Hanifah :

Al Auza’i : “Mengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan I’tidal ?”

Abu Hanifah : “Karena tidak ada hadits yang shahih dari Rasul”.

Al Auza’i : “Az Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada mengangkat tangan saat memulai shalat, saat ruku’ dan ketika I’tidal”.

Abu Hanifah : “Telah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat saja”.

Al Auza’i : “Saya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian tentang Hammad”.

Abu Hanifah : “Hammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri. Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabi”.

Mendengar jawaban itu, Al Auza’i pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.

Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli ra’yu.

C. Aliran zahiri

Dipelopori oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qur’an dan Hadits tanpa mau memegangi makna lainnya.

Kalau digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang lebih seperti dibawah ini :

Hadits Qiyas

Tekstualis Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali – Maliki – Syafi’i - Hanafi Rasionalis

D. Sumber Perbedaan Pendapat

Bagi yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa ulasan tentang Al-Qur’an dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan pendapat didalam Fiqih :

1. Perbedaan memahami Al-Qur’an

A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).

B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).

C. Adanya ayat-ayat yang ‘Am (umum)

D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.

E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.

F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.

G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.

2. Perbedaan Memahami Hadits

A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.

B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.

C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.

D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.

E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.

F. Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syari’ah

3. Perbedaan Metode Ijtihad.

A. Imam Abu Hanifah :

a. Berpegang pada dalalatul Qur’an

i. Menolak mafhum mukhalafah

ii. Lafz umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan

iii. Qiraat Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil

b. Berpegang pada hadis Nabi

i. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)

ii. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya

c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)

d. Berpegang pada Qiyas

i. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad

e. Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).

B. Imam Malik

a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)

i. zhahir Nash

ii. menerima mafhum mukhalafah

b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah

c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)

d. Qaul shahabi

e. Qiyas

f. Istihsan

g. Mashlahah al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).

C. Imam Syafi’i

a. Qur’an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu)

b. Ijma’

c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)

d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)

e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya

D. Imam Ahmad bin Hanbal

a. An-Nushush (yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur’an)

menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i)

menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)

b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)

c. Ijma’

d. Hadis dhaif

e. Qiyas

IV. Pembagian Pembahasan Fiqih

Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :

1. Bagian Ibadah.

1.1. Kitab Taharah

1.1.1. Taharah dari hadas

1.1.2. Taharah dari najis

1.2. Kitab Kitab Shalat

1.3. Kitab Janazah

1.4. Kitab Zakat

1.5. Kitab Zakat Fitrah

1.6. Kitab Shiyam (puasa)

1.7. Kitab I’tikaf

1.8. Kitab Haji

1.9. Kitab Jihad

1.10. Kitab Aiman (sumpah)

1.11. Kitab Nadar

1.12. Kitab Qurban

1.13. Kitab Sembelihan

1.14. Kitab Berburu

1.15. Kitab Aqiqah

1.16. Kitab makanan dan minuman yang haram

2. Bagian Munakahat

2.1. Kitab Nikah

2.2. Kitab Talak

2.3. Kitab Ila’ (sumpah talak)

2.4. Kitab Dhihar

2.5. Kitab Li’an (mengatakan punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)

2.6. Kitab Hadlanah (yang berhak memelihara anak)

2.7. Kitab Radla’i (penyusuan anak)

2.8. Kitab Nafkah

2.9. Kitab Nasab

2.10. Kitab Ihdad (berkabung)

3. Bagian Muamalat Madaniyah

3.1. Kitab Buyu’ (jual beli)

3.2. Kitab Sharfi (jual beli perhiasan)

3.3. Kitab Salam (jual beli pesanan)

3.4. Kitab Khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi)

3.5. Bai’il Murabahah (penjualan yang ditentukan jumlah keuntungannya oleh penjual)

3.6. Kitab Bai’il Ariyah (memberikan pohon untuk dimakan buahnya)

3.7. Kitab Irat (sewa-menyewa)

3.8. Kitab Ju’li (upah bagi yang menemukan barang yang hilang)

3.9. Kitab Qiradli (berdua laba)

3.10. Kitab Musaqah (paroh hasil merawat kebun)

3.11. Kitab Syarikah (berdua saham)

3.12. Kitab Syuf’ah

3.13. Kitab Qismah (pembagian)

3.14. Kitab Ruhun (gadai)

3.15. Kitab Al Hajr (orang yang dilarang bertindak sendiri)

3.16. Kitab Taflis (orang pailit)

3.17. Kitab Shulhi (kesepakatan damai dari persengketaan)

3.18. Kitab Jaminan dan Tanggungan

3.19. Kitab Hawalah (pemindahan hutang)

3.20. Kitab Wakalah (memberi kuasa)

3.21. Kitab Luqathah (barang temuan)

3.22. Kitab Wadi’ah (menitipkan barang)

3.23. Kitab ‘Ariyah (peminjaman barang)

3.24. Kitab Ghasbi (penyerobotan hak milik orang lain)

3.25. Kitab Ishtihqaq (memperoleh kembali haknya)

3.26. Kitab hibah

3.27. Kitab Washaya

3.28. Kitab Faraidl (warisan)

3.29. Kitab ‘Itqi (memerdekakan budak)

3.30. Kitab Kitabah (menebus diri dari perbudakan)

3.31. Kitab Tadbir (kemerdekaan budak setelah tuannya meninggal)

3.32. Kitab Umahatil Aulad (budak yang dijadikan ibu anaknya)

4. Bagian Inayat wa Uqubat (pidana)

4.1. Kitab Qisas (pembunuhan dan melukai)

4.2. Kitab Jarahi (qisas, diat, pembebasan tuntutan)

4.3. Kitab Diyat (denda pembunuhan)

4.4. Kitab Qasamah (sumpah penduduk yang ditemukan mayat di kampungnya)

4.5. Kitab Zina

4.6. Kitab Qadzaf (tukas)

4.7. Kitab Khamr

4.8. Kitab Sariqah (pencurian)

4.9. Kitab Hirabah (perampokan, penjarahan, perusuh)

5. Bagian Peradilan

5.1. Kitab Aqdliyah (kehakiman)

5.2. Kitab Syahadah (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)

V. Mujtahid, Mufti dan Hakim

A. Jenis Mujtahid

1. Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari Rasul untuk diikuti oleh umat.

2. Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.

3. Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa masalah pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafi’i.

4. Mujtahid fil Masa’il : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah cabang, bukan pada masalah pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi, Al Ghazali dalam mazhab Syafi’I, Al Khiraqi dalam mazhab Hanbali.

5. Mujtahid Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya. Mujtahid ini mengetahui seluk-beluk dan argumen para imam mazhab, mampu men tarjih mana yang lebih kuat dan lebih utama dari pendapat imam mazhab yang berbeda-beda. Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri dalam mazhab Hanafi, Ar Rafi’ dan An Nawawi dalam mazhab Syafi’i.

B. Syarat-syarat Mujtahid

1. Akidahnya benar.

2. Bersih dari hawa nafsu.

3. Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf (konyugasi), balagah (retorika), ma’ani, bayan (kejelasan) dan badi’ (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.

Mujahid berkata : “Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab”.

4. Memahami ilmu Al-Qur’an dan ilmu tafsir.

5. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabi’in.

6. Mengetahui Ijma’ masa Khulafaur Rasyidin.

7. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.

8. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, illat hukum, serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.

C. Mufti dan Hakim

Mufti adalah orang yang memberikan fatwa biasanya tentang hukum fiqih sesuatu masalah, sedangkan hakim adalah orang yang menjatuhkan vonis keputusan hukum terhadap suatu sengketa masalah antara dua pihak yang bersengketa. Keduanya sama sama memutuskan hukum berdasarkan hukum syara’.

Sedangkan perbedaan antara mufti dan hakim adalah :

1. Memberi fatwa lebih luas lapangannya daripada menjatuhkan vonis putusan hukum. Fatwa boleh dilakukan oleh orang merdeka, budak, pria, wanita, famili, kerabat, orang asing. Sedangkan vonis putusan hanya diberikan oleh orang merdeka, laki-laki, tidak ada hubungan kerabat dengan yang bersengketa.

2. Putusan hakim mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh diterima boleh tidak.

3. Fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti.

4. Mufti tidak dapat memberi putusan kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim sedangkan hakim harus memberikan fatwa apabila telah menjadi suatu keharusan.

5. Hakim sebaiknya tidak memberikan fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dalam peradilan, karena dikhawatirkan bila hakim memutuskan putusan yang berbeda dengan fatwanya, tentunya itu akan menyulitkan.

Syuraih Al Qadhy pernah berkata :

“Saya memutuskan perkara diantara kamu bukan memberikan fatwa”.

VI. Ittiba’ dan Taqlid

Ittiba’ adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya.

Imam Ghazali dalam Al Mustafa mengatakan :

“Ittiba’ dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarang”.

Hukum Taqlid :

a. Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittiba’.

b. Taqlid yang haram :

1. Tidak menghiraukan nash syara’ semata-mata lantaran mengikuti orang tua, moyang-leluhur.

2. Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.

3. Taqlid buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut.

c. Taqlid yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar mempunyai kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan mengetahui hukum hukum syara’ secara mendalam.

Periode Taqlid :

1. Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),

2. Periode kedua dari abad ke-IV H – abad ke-X H.

3. Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.

4. Periode keempat dari masa Muhammad Abduh – sekarang.

Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad diantaranya :

1. Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).

2. Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).

3. Ibnu Rif’ah (645 – 710 H).

4. Ibnu Taimiyah (661-728 H).

5. Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).

6. An Nawawi

7. Al Bulqini (724 – 805 H).

8. Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).

9. Al Asnawi (714-784 H)

10. Al Jalalul Mahalli (791-864 H).

11. Al Jalalus Suyuthi (846 –911 H).

12. Ash Shan’ani (abad XII H) pengarang Subulussalam.

13. Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.

14. Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.

15. Rasyid Ridha.

VII. Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)

A. Wajib

Yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.

Hukum wajib terbagi menjadi :

1. Wajib Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’.

2. Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.

3. Wajib Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.

4. Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.

5. Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.

6. Wajib ‘ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.

7. Wjib Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh : mengurus jenazah.

8. Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.

9. Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.

10. Wajib Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.

11. Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.

12. Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya ada’an.

13. Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qada’an.

14. Wajib Mu’aad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan pertama.

B. Sunnat

Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.

Pembagian Sunnat :

1. Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jama’ah.

2. Sunnat Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.

3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.

4. Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.

C. Mubah

Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.

Catatan untuk perkara yang mubah :

1. Jangan berlebihan.

2. Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.

3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.

D. Makruh

Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.

Pembagian Makruh :

1. Makruh Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.

2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.

E. Haram

Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.

VIII. Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum ‘Alaih)

Obyek hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :

a. Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.

b. Sanggup dikerjakan.

c. Dapat dibedakan.

d. Diketahui berdasarkan dalil.

e. Untuk melaksanakan taat (ibadah).

Subyek hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :

a. Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.

b. Baligh (dewasa).

c. Berakal (sadar dan waras).

Halangan – halangan :

1. Gila

2. Setengah gila

3. Lupa

4. Tidur

5. Pingsan

6. Mabuk

7. Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.

8. Haid

9. Nifas

10. Mati

11. Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at

12. Silap (tidak sengaja)

13. Paksaan

14. Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.

15. Tua renta pikun.

IX. Ushul Fiqih

A. Pengertian

Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).

Macam-macam dalil :

A. Dalil naqli (teks) :

1. Al-Qur’an

2. Sunnah (Hadits)

B. Ijma’ (konsensus)

C. Dalil aqli (akal)

1. Qiyas

2. Istihsan

3. Maslahah Mursalah

4. Dan lain-lain.

Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”

“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.

“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)

“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) ulil-amri.

“Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Qur’an dan atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.

Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.”

Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qur’an, yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang tersirat (implisit-kontekstual).

Hadits Nabi :

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Mu’adz sebagai qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? ‘Mu’adz menjawab : ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.’ Rasulullah bertanya lagi : ‘jika tidak didapat di Kitab Allah ?’ Mu’adz menjawab : ‘Maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. ‘Rasulullah kembali bertanya : ‘Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’ Mu’adz akhirnya menjawab : ‘ Ajtahidur ra’yi Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa. ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu Dawud).

Hadits Mu’adz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan Hadits.

B. Sumber Hukum Pimer

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum, ‘am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).

2. Sunnah (Hadits)

Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :

1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.

2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.

3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.

4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.

5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.

6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.

Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful hadits).

Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.

C. Istinbath hukum dari dalil Al-Qur’an dan Hadits

1. Kejelasan makna lafazh

Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :

a. Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).

Contoh zhahir seperti pada ayat :

Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa’ : 3).

Dari segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.

b. Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).

Contoh nash seperti pada ayat :

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2).

Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.

c. Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).

Perhatikan firman Allah :

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah [3] : 38).

Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :

“tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.”

“Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.”

Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.

Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.

d. Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah :

“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4).

Demikian juga hadits nabi :

“Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.”

Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :

a. Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).

Hadits nabi : “Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”

Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.

Contoh lain yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.

Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.

Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.

b. Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.

c. Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).

Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .

d. Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :

1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.

2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.

Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan” (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”.

Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.

3. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.

4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb

5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb

6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).

7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).

Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.

(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam – Mutasyabih)

2. Petunjuk Lafazh (dhalalah)

A. Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual)

B. Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat (kontekstual).

A. Mantuq

Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.

Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :

1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :

“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,

itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”

Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.

2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”

Berhenti haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).

3. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP

4. Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :

“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”

Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :

“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”

Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”

5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “

Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.

B. Mafhum

Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.

Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :

a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari :

1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 :

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”

Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.

2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.

b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari :

1. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “

Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh “orang fasik”. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.

2. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.”

Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.

3. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :

“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “

Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.

4. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “

Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.

Berhujjah dengan Mafhum :

a. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).

b. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.

3. Cakupan Lafazh

A. ‘Am (umum) – Khas (khusus)

Lafazh ‘Am (umum)

Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.

Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :

“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.”

Berdasarkan keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :

“Dan nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.”

Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :

“Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”

Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata “keluargamu” yang dijanjikan akan diselamatkan.

Aneka Ragam bentuk ‘Am :

1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :

2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :

a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.”

b. QS An-Nisa’ [4] : 123

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.”

3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)

a. QS Ali Imran [3] : 185 :

“Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.”

b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :

“Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”

4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.

Contohnya pada QS Al-Isra’ [17] : 110 :

“Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”

5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :

a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :

“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.”

b. QS Al-Isra’ [17] : 23 :

“Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”

6. Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :

a. QS Al-An’am [6] : 130 :

“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini … ?”

b. QS At-Taubah [9] : 36 :

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.”

7. Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.

Contohnya pada QS Al-Ma’idah [5] : 42 :

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)

Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”

9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”

10. ‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)

Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “.

Macam-macam penggunaan lafazh ‘am (umum) :

a. ‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :

“Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”

Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.

QS An-Nisa’ [4] : 23 :

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”

Kata “ummhat” ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.

b. ‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)

Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :

“Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”

Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.

c. ‘Am yang mendapat peng-khususan

Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”

Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.

Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)

Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.

Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.

Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).

1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)

a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “

b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :

“(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”

Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.

c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”

Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.

d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :

“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”

Kalimat “sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.

e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :

“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”

2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;

a. Ayat Al-Qur’an yang lain.

QS Al-Baqarah [2] : 228 :

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”

Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain, yaitu :

QS Ath-Thalaq [65] : 4 :

“Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :

“Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”

b. Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :

“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”

Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :

“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari).

Dalam riwayat lain disebutkan :

“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).

c. Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’).

Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :

“Allah mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”

Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak.

d. Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas)

Contohnya QS An-nur [24] : 2 :

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”

Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :

“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”

e. Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal)

Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 :

“Allah adalah pencipta segala sesuatu.”

Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.

f. Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera)

Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :

“Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.”

Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.

g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)

Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.

Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :

“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”

Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.

Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :

1. Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.

2. Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.

3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.

4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.

5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.

B. Mujmal (global) – Mubayyan (terjelaskan) – Mufassar (ter-tafsirkan)

Salah satu fungsi hadits adalah sebagai “bayan” (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.

Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).

Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.

Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.

Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :

1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :

“Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.”

2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :

a. Dari ayat Al-Qur’an yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :

“…Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.

Kalimat “Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena ambigutias huruf wawu, yaitu kata “dan”. Bisa berkonotasi kata penghubung (‘athaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf). Jika kata “dan” dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah “hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya”. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah “hanya Allah yang mengetahui takwilnya” sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya –yang notabene tidak tahu takwilnya- berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”. Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :

“Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”

Ayat ini menunjukkan Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf “dan” pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah “yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat demikian.

b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … “

Kata “kekuatan” pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :

“Saya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- ‘Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.’ ”

Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :

1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :

“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”

Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.

2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)

Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.

3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus

Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :

“…dan dirikanlah shalat…”

Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).

4. Penjelasan dengan tulisan

Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.

5. Penjelasan dengan isyarat

Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.

6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan

Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.

7. Penjelasan dengan diam (taqrir).

Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.

8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).

Mufassar (sudah ditafsirkan)

Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.

Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.

Macam-macam mufassar :

1. Mufassar oleh zatnya sendiri

Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :

“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”

Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.

Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :

“Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.”

Kata “semuanya” itu adalah mufassar.

2. Mufassar oleh lafazh lainnya

Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.

C. Mutlaq (tanpa batasan) – Muayyad (dengan batasan)

Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :

“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”

Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.

Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman”

Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”

Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :

1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.

Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :

“(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.”

Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”

2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.

Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”

Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.

Pada QS Al-An’am [6] : 145 :

“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.”

Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”

Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”

3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.

a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa’ [4] : 43 :

“….Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”

Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.

Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”

lafazh “(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku” adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.

Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu “bersuci” tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.

b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :

Apabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”

Lafazh “saksi” pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.

Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :

“Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).”

Lafazh “saksi” pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan “laki-laki”.

Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang saksi”. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah “rujuk pada istri” sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : “hutang-piutang”.

c. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”

Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.

Jadi Hukum lafazh mutlaq - muayyad :

    1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
    2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
    3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.

4. Kaidah Makna Kata

a. Makna Hakikat yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernyta” maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas.

b. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani.

c. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu).

Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.

(Baca kembali Ushul Tafsir point VIII)

5. Amr (perintah) dan Nahi (larangan)

Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum :

a. Menunjukkan wajib.

b. Menunjukkan sunah.

c. Menunjukkan suruhan saja.

d. Menunjukkan kebolehan

Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :

a. Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat.

b. Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya.

c. Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan.

d. Laranga karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jum’at dikumandangkan.

(Baca kembali Ushul Tafsir point VII)

6. Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil

a. Ta’arudl

Yaitu pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab Khallaf :

“Apabila bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah kita ber-ijtihad untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya. Jika tak dapat dilakukan hendaklah kita ber-ijtihad untuk mentarjihkan (menentukan yang lebih kuat) salah satunya. Kalau tak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian, maka hendaklah yang terkemudian dipandang menasakh yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui kedua-duanya maka ditangguhkan.”

b. Kompromi

Firman Allah pada QS Al-Baqarah : 180

Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya yang dekat

Firman Allah pada QS An-Nisa’ : 11

“Allah memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki adalah seperti bagian dua wanita ….. “

Ayat pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan meninggal sedangkan ayat kedua mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang meninggal. Secara sepintas sepertinya kedua ayat tersebut saling betentangan padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu apabila meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai sepertiga dari hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak mendapat warisannya. Sedangkan hartanya yang tidak termasuk dari yang diwasiatkan harus dibagi kepada ahli waris sesuai aturan hukum waris dalam syariat Islam.

c. Tarjih

Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh).

Prinsip-prinsipnya :

1. Al-Qur’an lebih kuat dari Hadits

2. Hadits Mutawatir lebih kuat dari hadits Masyhur

3. Hadits Masyhur lebih kuat dari hadits ahad

4. Hadits sahih lebih kuat dari hasan lebih kuat dari dhaif.

5. Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari Bukhari saja dan atau muslim saja.

6. Hadits Marfu’ (disandarkan kepada Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf (disandarkan hanya kepada Sahabat)

7. Sanad yang tinggi lebih kuat dari sanad yang lebih rendah.

8. Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang memubahkan ditarjihkan yang mengharamkan (untuk kehati-hatian).

9. Apabila berlawanan anatara yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukan yang menghalangi.

10. Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.

(Baca kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)

d. Nasakh

Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.

1. Nasakh Sharih, bila ada penyataan tegas menyatakan nasakh, seperti pada hadits Nabi SAW :

“Aku dahulu melarangmu dari menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu mengingatkan kamu kepada akhirat.”

2. Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang berlawanan dengan hukum sebelumnya.

(Baca kembali Ushul Tafsir point V)

D. Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)

Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis yang bersesuaian dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak yang dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furu’ (cabang).

Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih berkata :

“Apabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furu’ (hukum fikih)”

Kaidah Fikih Global :

“Mengambil maslahat dan menolak masfadat”

Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furu’ yang banyak.

Kaidah Pokok ke-1 : “segala sesuatu bergantung kepada niat”

Dasarnya hadis nabi “Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannya

Kaidah Pokok ke-2 : “yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu”

Dasarnya hadis nabi “Apabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapat bau

Apabila seseorang dari kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat yang telah dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang meyakini.

Kaidah Pokok ke-3 : “Dalam kesempitan ada kelapangan”

Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.

QS Al-Haj :78 : “Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam agama” Hadis nabi “Agama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah

Hadits nabi : “Mudahkanlah jangan dipersukar.

Kaidah Pokok ke-4 : “Kemudhorotan harus dihilangkan”

Dasarnya Firman Allah “Dan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di muka bumi

dan ayat “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan

kemudian hadis nabi “tidak boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan membuat kemudhorotan pada orang lain

Kaidah Pokok ke-5 : “Adat dapat dijadikan hukum”

Dasarnya ayat “Dan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patut” dan hadis nabi “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah

Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :

1. Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.

2. Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).

3. Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.

4. Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.

5. Jalan yang menuju haram juga haram.

6. Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.

7. Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.

8. Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.

9. Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.

10. Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.

11. Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furu’ (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau yang qoth’i)

12. Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.

13. Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat (kuratif).

14. Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.

E. Sumber Hukum Sekunder

3. Ijma

Ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat praktis ‘amaly.

Dalil yang menjadi dasar Ijma’ :

Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.”

“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.

“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)

“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) Ulil-Amri.

Hadits Nabi :

Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.”

Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”

Ingatlah, barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah, karena syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah dari dua orang, daripada dari pada dari pada seorang yang menyendiri.”

a. Ijma’ Sahabat

Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.

Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijma’ sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.

b. Ijma’ Ulama Mujtahid

Para sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.

Masing-masing imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijma’ ulama Kufah, begitu pula Imam Malik menghargai ijma’ ulama Madinah.

Tingkatan Ijma’ :

a. Ijma’ Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.

b. Ijma’ Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada juga yang mendiamkannya. Ijma’ sukuti ini masih diperdebatkan apakah dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan kesepakatannya, bisa jadi sedang memikirkannya.

4. Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)

Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :

“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”

Hadits Nabi :

“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”

Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : “Bila ada konsensus pendapat dari sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka saya pilih. Bila ada pendapat dari tabi’in maka saya teliti.”

5. Qiyas

Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qur’an atau Hadits. Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).

Dasar kehujjahan Qiyas :

a. Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”

“Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Qur’an) dan atau Sunnah Rasul-Nya (Hadits).

b. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :

“Dan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu”.

Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.

c. Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”

Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi dan meminum khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.

d. Hadits – Hadits Nabi :

1. Dari Umar bin Khatab : “Hari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni mencium istriku, sedang aku sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah bersabda : ‘Bagaimana menurut pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang berpuasa ?’. ‘Hal itutak mengapa’, jawabku. ‘Maka mengapa (kamu menanyakan) ?’ Jawab Rasulullah”. (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada tahap membatalkan.

2. “Seorang wanita dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : “Ya Rasulullah, ibuku telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat mengerjakan haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan haji untuknya ?. ‘Benar’, jawab Nabi. “kerjakan haji untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang paling patut melunasinya ? ‘Ya’, jawabnya. Rasulullah berkata : ‘Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi’ ”. (HR Bukhary dan Nasa’i).

Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.

e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asy’ari yang menjabat sebagai gubernur Basrah :

“Lihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang semacam itu”.

Rukun Qiyas ada 4 (empat) yaitu :

1. Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Qur’an dan hadits.

2. Furu’, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum asal.

3. Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.

4. Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada hukum furu’.

Syarat-syarat qiyas :

a. Hukum asal tidak dinasakh.

b. Hukum asal jelas nashnya.

c. Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.

d. Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.

e. Mempunyai illat yang sama.

f. Hukum cabang sama dengan hukum asal.

g. Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.

h. Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syara’.

Macam-macam Qiyas :

1. Qiyas Aula / Awlawi / Qath’i

Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang.

Contoh, Nabi bersabda :

“Kedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata telah tidur terlepaslah tali”.

Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal lebih patut membatalkan wudhu.

2. Qiyas Musawi

Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.

Contohnya dalam QS An-Nisa’ : 25 :

“Maka atas mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita yang merdeka”.

Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.

3. Qiyas Adna / Adwan

Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.

Misalnya kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.

4. Qiyas Dalalah

Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.

Misalnya mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang berkembang.

5. Qiyas Illah

Yaitu qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang menyebabkan hukum pada asal.

6. Qiyas fi Ma’nal Ashli

Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.

Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.

7. Qiyas Syabah

Yaitu qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.

Misalnya, seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi, berubah status antara sebagai manusia karena ia anak keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat diperjual-belikan dan diwakafkan.

8. Qiyas Jali

Qiyas yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furu’ diyakini tidak berbekas.

Misalnya, mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan ‘cis’, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.

9. Qiyas Khafi

Qiyas yang illatnya dipetik dari hukum asal.

Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.

10. Qiyas Sabri wattaqsim

Qiyas yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.

Misalnya, mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang mengenyangkan dan sama sama ditimbang.

11. Qiyas Thardi

Qiyas yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum beserta wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.

12. Qiyas Aksi

Tidak ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.

Contohnya, hadits Nabi :

“Dan pada kemaluan seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah kami memuaskan syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi : ‘Bagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya pada yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan pada yang halal, ada pahala baginya”. (HR Muslim).

13. Qiyas Ikhlati wal Munasabati

Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara dasar maksud.

a. Qiyas Muatstsir

Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang atau dengan isyarat atau dengan ijma’.

Misalnya firman Allah QS An Nur : 27 :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberi salam kepada penghuninya”.

Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : “Ijin dilakukan semata-ata untuk kepentingan (keselamatan) mata”.

b. Qiyas bekas sebab

Misalnya dibenarkan menjama’ shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi sebab bolehnya jama’. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah hujan.

14. Qiyas Mulaim

Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.

Misalnya, wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha shalatnya, karena menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syara’ bahwa kesukaran itu meringankan hukum.

15. Qiyas Munasib Gharib

Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syara’ membolehkan atau menolaknya.

Misalnya, wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati dapat menerima warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat warisan.

F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juz’iyah (parsial), furu’iyah (cabang) yang jauh).

6. Istihsan

yaitu : keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur

7. Mashlahah mursalah

Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara hukum syara’ dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.

8. Istihshab

Yaitu mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.

9. Istidlal

Yaitu pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.

10. Sadudz Dzariah

Yaitu mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu jalan menuju zina

11. Urf

yaitu kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syara’, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.

12. Adah

yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus

13. Ta’amul

yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia

14. Bara’ah Ashliyah

yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan

15. Istiqra’

yaitu memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.

16. At-Taharri

yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan

17. Ar Ruju’u ilal manfa’ati wal madharrah

yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot

18. Al Qaulu bin nushush wal ijmaa’I fil ‘ibadati wal muqaddarati wal qaulu bi ‘itibaaril mashalih fil mu’aamalati wabaqil ahkami

yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum muslimin

19. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman

Yaitu berubahnya hukum (masalah furu’, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan jaman.

Yang mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah Khalifah Umar bin Khattab yang memerintahkan sholat Tarawih berjama’ah dibawah satu imam dengan pertimbangan lebih teratur dan tertib, tidak memberi zakat kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) dengan pertimbangan Islam sudah kuat, tidak membagikan tanah daerah taklukan kepada prajurit yang menaklukkan demi kepentingan kemaslahatan generasi yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri pada saat paceklik dan kelaparan dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.

20. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila

yaitu berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh

21. Al Ishmah

yaitu menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.

22. Syar’u man qablana

yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.

23. Al ‘amalu bidhadhahir awil adhar

yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir

24. Al akhdzu bil ihtiyath

yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil

25. Al Qur’ah

yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan

26. Al ‘amalu bil ashli

yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).

27. Ma’qulun nash

yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.

28. Syahadatul qalbi

yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”

29. Tahkimul hal

yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku

30. ‘Umumul balwa

yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi

31. Al ‘amalu bi aqawasy syabahaini

yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat kemiripannya

32. Dalalatul iqtiran

yaitu menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda dan bighal dan keledai”

33. Dalalatul ilhami

yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh

dasarnya hadis nabi “berhati hatilah dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Allah”

34. Ru’yan nabi

yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi : “mimpi seorang muslim itu 1/46 kenabian”

35. Al akhdzu bi aisari maa qilaa

yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat

36. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa

yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda

37. Faqdud dalil ba’dal fihshi

yaitu menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.

X. Maqashid Syari’ah (Tujuan Syara’)

Melalui penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya.

Tuhan tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara’ bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu memahami maksud syara’ (maqashid syari’ah).

Segala hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.

Ibnul Qayyim berkata :

“Dasar syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala’, dari maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya”.

Maksud-maksud syara’ yang umum :

1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :

a. Memelihara Agama (dien).

b. Memelihara Nyawa (nafs).

c. Memelihara Akal (aqlu).

d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).

e. Memelihara Harta (mal).

Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.

2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.

Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.

Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang sehat dan fitrah yang sejahtera.

Tingkatan Maksud Syara’

1. Tingkat Dharuriyah.

Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan agama dan hilanglah pemeliharaannya.

Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.

Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan tentu rusak maslahat harta.

2. Tingkat Hajiyah

Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.

Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam safar atau menjama’ ketika sedang ada udzur yang syar’i.

3. Tingkat Tahsiniah.

Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.

XI. Masalah Ushul (pokok) – Furu’ (cabang)

A. Masalah Ushul (pokok)

Masalah Ushul (pokok) adalah masalah yang menyangkut I’tikad (keyakinan) dalam urusan : akidah, tauhid dan rukun iman yang enam. Dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits yang menerangkan hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain) dan sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qath’i (pasti).

Seorang muslim dalam masalah ushul ini harus benar I’tikadnya (keyakinannya). Salah dalam I’tikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar dari Islam. Jadi dalam masalah ushul yang ada adalah iman atau kafir.

Contoh-contoh masalah ushul :

a. Tidak ada tuhan selain Allah.

b. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.

c. Allah satu satunya tempat bergantung.

d. Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)

e. Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah dan diibadahi)

f. Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).

g. Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Qur’an.

h. Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.

i. Mengimani Malaikat-malaikat Allah

j. Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot, surga-neraka)

k. Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.

l. Dan lain-lain.

(Lihat kembali Ilmu Kalam point terakhir)

Masalah ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon, I’tikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang merupakan penopang.

Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bid’ah akidah seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah (baca kembali Ilmu Kalam).

Kelompok sempalan dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh hadits Nabi :

“Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi menjawab : ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya lagi, ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatku’ “

B. Masalah Furu’ (cabang)

Masalah Furu’ (cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah furu’ ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furu’iyah ini tidak semua dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal, masih ‘am (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih musytarak (mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi penafsiran dan sebagainya.

maka dalam masalah furu’iyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya. Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini hendaknya setiap muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap paling baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatnya dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat satu pahala.

Contoh-contoh masalah Furu’

a. Detail tata cara sholat

b. Fiqih Zakat

c. Fiqih Puasa

d. Fiqih Haji

e. Fiqih Jual-Beli

f. Fiqih Sewa-Menyewa

g. Fiqih muamalah

h. Urusan duniawiyah

i. Dan lain-lain.

Masalah furu’ itu ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak harus satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam cabang. Jadi dalam masalah furu’ boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada perbedaan pendapat.

XII. Dalil Qath’i (pasti) – Dzani (dugaan)

A. Dalil Qath’i (pasti)

Dalil disebut Qath’i (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :

1. Qath’i wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir

2. Qath’i dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).

Bila suatu dalil dari Ayat Al-Qur’an dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qath’i diatas maka menjadi dalil Qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak boleh ditambah-dikurangi.

Kebanyakan masalah Ushul dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’ dalilnya tidak qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya qoth’i sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :

a. Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.

b. Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).

c. Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.

d. Hukum potong tangan bagi pencuri.

e. Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.

f. Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)

B. Dalil Dzani (dugaan)

Dalil dzani adalah dalil yang tidak memenuhi syarat dalil qath’i, yaitu :

1. Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.

2. Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada kemungkinan multi penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan lafazhnya.

Kebanyakan masalah furu’ yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad, atsar-fatwa sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum sekunder dan tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.

XIII. Tentang Bid’ah

Pembahasan tentang bid’ah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat dan pemahaman tentang masalah bid’ah ini yang sekarang ini menjadi salah satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan kata bid’ah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bid’ah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok lain.

A. Pengertian Bid’ah Secara Bahasa

Secara bahasa bid’ah itu berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru yang belum pernah ada pada masa Nabi.

B. Pengertian Bid’ah Secara Istilah.

Secara istilah, bid’ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.

Sultonu Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafi’i (wafat 660 H) dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menerangkan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.

Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.

Kelompok Pertama

Kelompok yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.

a. Tokoh-tokohnya

Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.

b. Argumennya

Shalat Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjama’ah berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau membuat “perkara baru” yaitu menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : “ini adalah sebaik-baik bid’ah“.

Perbuatan itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.

Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.

Hadits yang mengindikasikan adanya bid’ah yang baik adalah hadits berikut :

“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat”.

Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1. Ada riwayat dari Abu Nu’im menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :

“Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi”.

2. Imam Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :

“Perkara baru (bid’ah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, atsar dan Ijma’, ini dinamakan “bid’ah dhalalah”. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.”

3. Tentang bid’ah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum bid’ah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah, haram).

Bisa kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum, yaitu : bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.

c. Contoh-contohnya :

Bid’ah yang wajib :

- Membukukan mushaf Al-Qur’an.

- Membukukan hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena khawatir tercampur-baur dengan Al-Qur’an).

- Kodifikasi, perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.

- Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.

Bid’ah yang haram :

- Bid’ah dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :

a. Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.

b. Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.

c. Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.

d. Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.

e. Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.

f. Mua’tillah yang menolak sifat-sifat Allah.

g. Mu’tazilah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk.

- Bid’ah dalam ibadah, seperti :

a. Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.

b. Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.

c. Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).

d. Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib dizakati.

e. Melakukan haji tidak ke Mekkah.

- Bid’ah yang Sunnah :

a. Shalat Tarawih berjama’ah.

b. Adzan pertama pada shalat Jum’at.

c. Mengadakan pengajian Maulid Nabi.

d. Mendirikan sekolah/madrasah/majelis ta’lim.

- Bid’ah yang Makruh :

a. Menghias masjid.

b. Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.

c. Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.

d. Sistem pemerintahan yang monarki.

e. Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.

- Bid’ah yang Mubah :

a. Makan menggunakan sendok.

b. Memakai pakaian yang bagus.

c. Membuat rumah yang besar.

d. Menggunakan peralatan modern.

e. Dzikir berjama’ah.

f. Bersalam-salaman setelah shalat berjama’ah.

Kelompok Kedua

Kelompok ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”

Kelompok ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bid’ah dhalalah. Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai “sarana”. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi wajib.

a. Tokoh

Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.

b. Dalil

Dalil yang mereka gunakan adalah:

Bahwa Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maidah: 3)

Hadits Nabi :

“Bahwa semua perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat”.

“Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak.” (HR Muslim 1817)

c. Contoh :

- Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.

- Dzikir berjama’ah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.

- Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.

- Tahlilan tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.

Tahqiq :

1. Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk bid’ah dhalalah.

2. Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :

a. Shalat Jum’ah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah dhalalah atau tidak.

b. Shalat Sunah berjama’ah itu bid’ah dhalalah atau tidak.

c. Dzikir berjama’h itu bid’ah dhalalah atau tidak.

d. Peringatan maulid Nabi itu bid’ah dhalalah atau tidak.

e. Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bid’ah atau tidak.

3. Hadits nabi “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).” Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bid’ah dhalalah.

Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (‘am), lafazh ‘am masih memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada takhsisnya yaitu hadits : “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.

Jadi tidak “semua” perkara baru bid’ah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.

4. Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :

a. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.

b. Khalifah Usman menyatukan Al-Qur’an dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.

c. Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat Jum’at, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jum’at sudah dekat.

d. Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaa’h dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.

e. Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal mereka jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang baru masuk Islam.

f. Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.

g. Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.

h. Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.

i. Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.

j. Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an).

Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.

5. Jadi jangan gampang memvonis bid’ah dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.

6. Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bid’ah dhalalah.

XIV. Ikhtilaf dan Toleransi

Dalam masalah ushul, atau masalah furu’ yang dalilnya sudah Qath’i maka tidak boleh ada perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bid’ah dalam masalah akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah.

Dalam masalah furu’ yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber toleransi.

Perbedaan pendapat dalam masalah furu’, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bid’ah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah “menghukumi haram” terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qath’i yang tegas menunjukkan hukum haramnya.

Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah ikhtilaf :

Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.

Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qath’i yang tegas mengharamkannya.

Imam Al Auza’i (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang mencium istrinya : “Kalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanya”.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : “Kami tidak melakukannya tetapi kami tidak mencela yang melakukannya”.

Suatu hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Mu’in tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Mu’in : “Orang itu harus wudhlu lagi”. Dia menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat Ammar bin Yasir.

Menanggapi kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, “Sudahlah, derajad Ammar dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.”

Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal : “Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’’i hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijma’). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.

Dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.

Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis, suatu hari Imam Syafi’i shalat setelah bercukur rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam Syafi’I menjawab : “Saat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu Hanifah)”.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafi’i yang berpendapat menjaharkan (membaca nyaring) “Bismillahirrahmanirrahim” dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan “Bismillahirrahmanirrahim”

Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, “Kalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya”.

Lalu Al Hushain meminta jalan keluar, “Bagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian) ?”. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Kamu tahu pengajian para ulama Madinah ?” Al Hushain menjawab, “Ya” Saat itu memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. “Apakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ?” maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Ya !”.

Baihaqi dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : “Dahulu kami bersama Abdullah bin Mas’ud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina, beliau bertanya : “Amirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa raka’at ?” Mereka menjawab, “Empat raka’at”. Maka Ibnu Mas’ud langsung shalat empat raka’at tanpa membantah.

Mereka langsung mempertanyakan, “Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah dan Abu Bakar melakukan shalat dua raka’at ?”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Memang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah buruk”.

Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”.

Dari Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : “Penulis pernah mendengar guru besar kami Abu umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : “Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan sesudah bangun dari ruku’, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Al Muwatta’; sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam ilmu dan agamanya”.

Penulis berkata : “Tapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda ?” Beliau menjawab : “Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang ini melakukan ruku’ (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan termasuk tradisi imam-imam kita”.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, “Apabila seorang makmum berjama’ah dengan imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum ruku’ atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baik”.

Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : “Hanya karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan bangunan Ka’bah, kemudian aku akan membuat bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain untuk keluar”.

Terlihat disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.

Dibagian lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : “Karena itu, para imam, Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati orang orang yang beriman”.

Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata : “Tidak boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Ka’bah begitu saja, seraya bersabda : “Kalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah…”

Fiqih Ikhtilaf

Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :

1. Persatuan adalah wajib.

“Aku wasiatkan kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabi’it tabi’in). Kalian harus tetap dalam jama’ah. Waspadalah terhadap perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan bau harum surga hendaknya selalu dalam jama’ah.” (HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)

2. Menjauhi dan menghindari perpecahan.

“Berpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belah”. (QS Ali Imran : 103).

“…dan janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamu”. (QS Al Anfal : 46).

3. Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.

Hadits Nabi : “Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat”.

Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :

“Saya tidak senang bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka tidak berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada ruksyah (keringanan) bagi kita”.

4. Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furu’ yang ijtihadi.

5. Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qath’i (pasti) dan sharih (jelas).

6. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.

7. Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.

8. Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.

“Jauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama”. (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)

9. Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.

10. Menahan diri dari “menyerang” kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bid’ah) atau mengkafirkan.

11. Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :

a. Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.

b. Kemiskinan dan kebodohan umat.

c. Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik

d. Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.

e. Degradasi moral dan spiritual.

f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.

12. Menjauhi taqlid buta dan fanatisme

a. Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.

b. Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.

c. Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.

d. Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari kesalahan.

e. Berperasangka baik kepada orang lain.

f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.

13. Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.

14. Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.

15. Menjauhi perdebatan sengit.

XV. Fikih Kotemporer

DR. Yusuf Qaradhawi, seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Qur’an), dikenal moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat gelar “The Man of The Year” dari pemerintah Uni Emirat Arab dalam bukunya “Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan” menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan perlu diketahui untuk menambah kematangan kita dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman beragama dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu point-point menuju kematangan kebangkitan Islam yaitu :

1. Dari formalitas menuju hakikat.

Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji, ‘hafal’ ayat dan teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb itu semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah, tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.

2. Dari Simbol menuju substansi.

Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama, amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan, berperasaan dalam etika, dsb.

3. Dari pembicaraan menuju amal

Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh lebih penting.

4. Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan.

Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting.

5. Dari sentimentil menuju ilmiah

Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah sikap ilmiah.

6. Dari emosional menuju rasional

Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan

7. Dari ekstrim menuju moderat

Ciri sikap ekstrim berlebihan :

a. Tidak mengakui pendapat lain.

b. Memaksakan pendapat.

c. Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furu’ yang ijtihadi).

d. Kasar, menyakiti.

e. Buruk sangka.

f. Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.

g. Liberalis.

h. Literalis.

i. Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.

Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :

a. Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat yang terbaik).

b. Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.

c. Antara rasionalis dan literalis.

d. Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata berkutat dalam politik.

e. Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang lain.

f. Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan ide – ide.

8. Dari menyulitkan menuju kemudahan.

Tidak mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bid’ah dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman Nabi adalah bid’ah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan yang menyulitkan.

Padahal Allah berfirman :

“Dia (Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimu”. (QS Al Baqarah : 185).

“Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian”. (QS Al Hajj : 78).

Hadits Nabi :

Agama yang disukai Allah adalah agama yang mudah”. (HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)

“Sesungguhnya Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia suka dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya”. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang mendhaifkannya)

9. Dari jumud menuju ijtihad.

Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau mempertimbangkan maqashid syari’ah, illat hukum, kondisi sosial dan perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.

10. Dari taklid menuju ittiba’.

Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittiba’ adalah mengetahui argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik.

11. Dari fanatisme menuju toleransi.

Ciri sikap fanatik :

a. Menganggap dirinya paling benar.

b. Menganggap semua yang lain pasti salah.

c. Keras pada masalah furu’ yang ijtihadi

d. Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas.

e. Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.

Ciri sikap toleran :

a. Tidak merasa yang paling benar.

b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.

c. Tidak bersikap keras pada masalah furu’ yang ijtihadi.

d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.

e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.

12. Dari eksklusifisme menuju inklusifisme.

13. Dari keberingasan menuju kasih sayang.

14. Dari perpecahan menuju persatuan.

15. Dari perselisihan menuju solidaritas.