Metode At-Tahammul Dalam Meraih Ilmu

Ada delapan metode at-Tahammul dalam meraih ilmu. Ini tidak dikhususkan hanya belaku dalam bidang hadits saja, tapi berlaku bagi berbagai disiplin ilmu agama; fiqh, tafsir, tasawwuf, dan lainnya. Metode at-Tahammul ini biasanya sering dibahas dalam bidang hadits saja adalah karena titik konsentrasi hadits itu berupa kajian terhadap sanad dan matan. Dari segi matan dituntut tidak ada perbedaan atau perubahan redaksi dari satu perawi kepada perawi yang lainnya yang ada di bawahnya. Lalu dari segi sanad dituntut adanya mata rantai yang berkesinambungan, lalu semua perawinya orang-orang terpercaya (tsiqah), orang-orang adil, dan orang-orang kapabel (dlabith).

Delapan metode at-Tahammul tersebut adalah dengan tingkatan tersusun demikian ini; (1) Mendengar lafazh (pelajaran) syekh/guru (Sama’ Lafzh asy-Syaikh), (2) Membaca di hadapan syekh (al-Qira’ah ‘Ala asy-Syaikh), (3) al-Ijazah, (4) al-Munawalah, (5) al-Kitabah, (6) al-I’lam, (7) al-Washiyyah, dan (8) al-Wijadah. Dengan demikian tingkatan yang paling tinggi adalah Sama’ Lafzh asy-Syaikh[5].

Akibat Tidak Memiliki Guru; Kasus Nyata

Imam Abu Hayyan al-Andalusi; salah seorang Imam ahli Tafsir, penulis Tafsir al-Bahr al-Muhith, dalam untaian bait-bait syair-nya menuliskan sebagai berikut:

يَظُنُّ الغُمْرُ أنّ الكُتْبَ تَهْدِيْ       #             أخَا جَهْلٍ لإدْرَاكِ العُلُوْمِ
ومَا يَدْرِي الْجَهُوْلُ بأنّ فيْهَا        #        غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الْفَهِيْمِ
إذَا رُمْتَ الْعُلُوْمَ بِغَيْرِ شَيْخٍ        #      ضَلَلْتَ عَنِ الصّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
وَتَشْتَبِهُ الأمُوْرُ عَليكَ حَتّى       #       تَصِيْرَ أضَلّ مِنْ تُوْمَا الْحَكِيْمِ
Orang lalai mengira bahwa kitab-kitab dalapat memberikan petunjuk kepada orang bodoh untuk meraih ilmu…”
Padahal orang bodoh tidak tahu bahwa dalam kitab-kitab tersebut ada banyak pemahaman-pemahaman sulit yang telah membingungkan orang yang pintar”.
Jika engkau menginginkan (meraih) ilmu dengan tanpa guru maka engkau akan sesat dari jalam yang lurus”.
Segala perkara akan menjadi rancu atas dirimu, hingga engkau bisa jadi lebih sesat dari orang yang bernama Tuma al-Hakim”[6].

Tuma al-Hakim adalah seorang yang tidak memiliki guru dalam memahami hadits. Suatu hari ia mendapati hadits shahih, redaksi asli hadits tersebut adalah; “al-Habbah as-Sawda’ Syifa’ Likulli Da’”. Namun Tuma al-Hakim mendapati huruf ba’ pada kata al-habbah dengan dua titik; menjadi ya’, karena kemungkinan salah cetak atau lainnya, maka ia membacanya menjadi al-Hayyah as-Sawda’. Tentu maknanya berubah total, semula makna yang benar adalah “Habbah Sawda’ (jintan hitam) adalah obat dari segala penyakit”, berubah drastis menjadi “Ular hitam adalah obat bagi segala penyakit”. Akhirnya, Tuma al-Hakim mati karena “kebodohannya”, mati terkena bisa ular ganas yang ia anggapnya sebagai obat.

Tradisi Mencari Sanad Aly

Sanad Aly adalah sanad yang jumlah orang-orang terlibat dalam mata rantainya lebih sedikit dan kesemua orang tersebut adalah orang-orang terpercaya (tsiqah). Kebalikannya disebut Sanad Nazil; ialah bahwa orang-orang yang terlibat dalam mata rantainya lebih banyak. Sanad Aly memiliki potensi lebih kecil dari kemungkinan adanya kesalahan dalam mata rantai itu sendiri atau dalam redaksi (informasi) yang dibawa oleh mata rantai tersebut. Sementara Sanad Nazil sebaliknya, berpotensi mengandung kesalahan lebih besar. Karena itu tradisi para ulama saleh dahulu adalah berusaha sekuat tenaga mencari Sanad Aly. Lihat, sahabat dan murid-murid Abdullah ibn Umar yang berada di Kufah mengadakan perjalanan yang cukup jauh dan menyulitkan menuju Madinah hanya untuk mendengar dan belajar langsung kepada Umar ibn al-Khattab; yang padahal materi-materinya telah disampaikan oleh Abdullah ibn Umar. Tradisi mulia ini telah diceritakan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal berkata:

طَلَبُ الإسْنَاد العَالِي سُنّة عَمّن سَلفَ، لأنّ أصْحَابَ عبْدِ الله كانُوا يَرحَلوْنَ مِنَ الكُوفَة إلَى المَدينَةِ فَيَتَعَلّمُوْنَ مِنْ عُمَرَ وَيَسْمَعُوْنَ مِنه
Mencari sanad aly adalah adalah tradisi dari para ulama salaf, karena para sahabat Abdullah ibn Umar mengadakan perjalanan dari Kufah ke Madinah hanya untuk belajar dan mendengar dari Umar”[3].

            Imam Ahmad ibn Hanbal juga meriwayatkan bahwa Imam Yahya ibn Ma’in; salah seorang Imam hadits terkemuka, di tengah sakit beliau menjelang wafatnya sempat ditawarkan kepada apakah yang dia inginkan saat itu? Beliau menjawab:

بَيْتٌ خَالِي وَسَنَدٌ عَالِي
“Aku ingin rumah sepi dan sanad aly”[4].

At-Talaqqi Bi al Musyafahah

Sudah menjadi kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf bahwa ilmu agama tidak diperoleh dengan membaca beberapa literatur agama, melainkan dengan belajar langsung (talaqqi) kepada seorang alim yang terpercaya (tsiqah) yang pernah berguru kepada seorang alim terpercaya, dan demikian seterusnya hingga berujung kepada Sahabat Nabi. Al-Hafizh Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi berkata:

لا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ إلاّ مِنْ أفْوَاهِ الْعُلَمَاء
“Ilmu agama tidak dapat diambil kecuali dari lisan Ulama”.

Sebagian ulama Salaf mengatakan:

الّذِى يَأخُذُ الْحَديْثَ منَ الكُتب يُسَمّى صَحَفيّا وَالّذى يأخُذُ القرآنَ مِنَ الْمُصْحَفِ يُسَمّى مُصْحَفِيًّا وَلاَ يُسَمَّى قَارِئًا
“Orang yang mempelajari hadits dari kitab (tanpa guru) dinamakan shahafi (bukan Muhaddits), sedangkan orang yang mempelajari al-Qur'an dari mushaf (tanpa guru) dinamakan mushafi, tidak disebut qari’ ”.

Dan ini sesungguhnya dipahami dari sabda Rasulullah:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بهِ خيرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْن إنّمَا العلْمُ بالتّعَلّمِ وَالفقْهُ بالتّفقُّه رواه الطبراني
 “Barang siapa yang dikehendaki oleh  Allah baginya suatu kebaikan, maka Allah mudahkan baginya seorang guru yang mengajarinya Ilmu-Ilmu Agama, Sesungguhnya ilmu agama (diperoleh) dengan cara belajar kepada seorang alim, begitu pula fiqih".  (HR. ath-Thabarani)

Metode Yang Benar Dalam Meraih Ilmu Agama

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl).  Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.

Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat[1].


Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:

إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)
“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”.  (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-nya).

Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:

الإسْنَادُ مِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”[2].

 Pentingnya sanad tidak hanya berlaku khusus dalam disiplin hadits, atau ilmu-ilmu hadits saja, tetapi berlaku dalam seluruh ilmu-ilmu agama. Perhatikan perkataan Ibn Sirin di atas, beliau tidak mengatakan khusus dalam masalah hadits saja, tetapi beliau mengatakan “al-‘Ilm” artinya secara mutlak mencakup seluruh ilmu-ilmu agama. Pemahaman ini pula tersirat dalam perkataan Imam Abdullah ibn al-Mubarak.      

Hukum Menimbun Barang

alt
Saat ini, banyak pedagang dan pebisnis yang tamak tanpa sedikit pun memikirkan nasib orang banyak. Mereka menimbun barang-barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti bawang, cabai, minyak, dan bahan bakar minyak (BBM). Apa hukumnya menimbun barang sembako demi keuntungan semata?

Hamba Allah

Waalaikumussalam wr wb.

Menimbung atau dalam istilah syara’ adalah ihtikar, yakni tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga secara drastis.
Ini disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar. Sedangkan masyarakat, negara, ataupun hewan memerlukan produk, manfaat, atau jasa tersebut.

Ada banyak definisi ulama tentang ihtikar (penimbunan) yang secara umum meliputi hal-hal berikut: membeli barang ketika harga mahal, menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
Definisi lainnya, kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik, penimbun menjual barang yang ditahannya ketika harga telah melonjak, penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.

Islam memandang perbuatan menimbun barang sebagai bentuk kezaliman dan bertentangan dengan maqashid syariah berdagang karena tindakan menimbun akan menyengsarakan orang banyak.
Penimbunan masuk dalam kategori kejahatan ekonomi dan sosial. Ulama seperti Ibnu Hajar al-Haitsami menganggap pelakunya sebagai pelaku dosa besar. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan menimbun barang kecuali dia seorang pendosa.” (HR Muslim).

Dalam hadis di atas, pelaku penimbun barang disifati dengan kata khoti’ atau pendosa. Sifat khoti’ ini jugalah yang dilabelkan Allah SWT kepada para thagut yang berlaku zalim seperti Firaun (QS al-Qashash [28]: 8).

Dalam hadis lain disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menimbun makanan selama 40 hari, ia akan lepas dari tanggungan Allah dan Allah pun cuci tangan dari perbuatannya, dan penduduk negeri mana saja yang pada pagi hari di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka.” (HR Ahmad dan Hakim).

Bahkan, dalam sistem sosial Islam ditekankan jika ada pelaku penimbunan di tengah-tengah mereka, Allah mengancamnya dengan penyakit berat dan kebangkrutan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menimbun bahan makanan bagi kaum Muslim, maka Allah akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan ke atasnya. “ (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim).

Berdasarkan banyak hadis yang menjelaskan tentang haramnya perilaku penimbunan yang berkaitan dengan bahan makanan, maka sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang diharamkan hanyalah penimbunan bahan makanan, sedangkan penimbunan barang lainnya tidaklah diharamkan.
Namun, pendapat yang kuat karena sesuai dengan keumuman dalil-dalil tentang ihtikar ini adalah diharamkannya penimbunan atas semua jenis barang yang menjadi hajat orang banyak karena akan menyusahkan mereka jika terjadi penimbunan.
Adapun penyebutan penimbunan bahan makanan secara khusus dalam beberapa hadis, sebagian ulama menerangkan, maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa penimbunan bahan makanan lebih berbahaya ketimbang penimbunan barang lainnya.

Hikmah penting di balik diharamkannya penimbunan adalah agar jangan sampai sifat tamak sebagian orang dalam suatu masyarakat menyebabkan kesengsaraan dan kesulitan bagi banyak orang.
Sebab, Islam adalah agama yang bertujuan memberikan dan merealisasikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak serta mencegah dari kemudharatan.

Syariat ekonomi Islam sangat menghormati usaha seseorang dan melindungi kepemilikan pribadi, tetapi Islam juga memberikan hak kepada pemerintah untuk merampas atau memaksa pelaku penimbunan untuk menjual barangnya dengan harga pasar.
Tak hanya itu, Islam juga memberikan hak kepada pemerintah untuk memidanakannya jika pelaku penimbunan menolaknya karena tindakan tersebut adalah tindakan melawan hukum.
Wallahu a’lam bish shawab.

Luruskan Niat

Sesungguhnya setiap pekerjaan itu harus dengan niat. Allah SWT berfirman di dalam hadis Quds: Di akhirat nanti di saat orang-orang berkumpul seluruhnya di padang mahsyar. Pada saat penghisaban, ada tiga orang yang ditanya bergiliran oleh Allah SWT, dan ini disaksikan oleh seluruh umat manusia dari sejak zaman nabi Adam sampai kita umat akhir zaman:

Yang pertama, adalah orang kaya. Ketika ditanya, “Dulu sewaktu di dunia kamu rajin bersedekah, memberi makan fakir dan miskin, untuk apakah engkau lakukan? Orang itu menjawab, ''aku lakukan untuk mendekatkan diri kepada-Mu ya Allah.''

Allah membantah, kadzabta (kamu dusta), itu semua engkau lakukan karena engkau ingin disebut sebagai seorang yang dermawan.
Giliran pejabat ditanya, “Dulu sewaktu di dunia ketika engkau memangku jabatan di tengah masyarakat, engkau ramah kepada tetangga, suka meringankan urusan tetangga, untuk apakah itu engkau kerjakan?

Orang itu menjawab, “Aku lakukan hanya karena-Mu ya Allah.'' Lantas Allah berkata, kadzabta (kamu dusta). Itu engkau lakukan karena engkau ingin dipandang sebagai pejabat yang baik, ingin disebut-sebut di tengah masyarakat.
Tinggal giliran orang alim.  Ketika ditanya kenapa kamu ingin menjadi orang alim? Itu aku lakukan karena aku ingin faham agama, ingin menyampaikannya kepada orang lain.
Allah berkata, kadzabta (kamu dusta). Itu engkau lakukan karena engkau ingin  dipandang sebagai orang alim, agar engkau dihormati dan disanjung orang lain. Kamu bertiga, semuanya masuk ke dalam neraka!

Kisah dari hadits qudsi diatas , memberikan pelajaran kepada kita semua untuk meluruskan niat dalam setiap jabatan (amanah) yang kita emban dan dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan.
Jangan ada sedikitpun niat buruk apalagi sampai merugikan orang banyak dalam pekerjaan kita, hendaknya pekerjaan yang kita lakukan dilandasi dengan niat ikhlas lillahi ta’ala.

Kalau Anda seorang petani, ikhlaslah dalam bekerja mengelola dan menggarap sawah. Insya Allah itu akan bernilai ibadah di sisi Allah swt.

Kalau Anda seorang guru, ikhlaslah dalam mendidik dan mengajarkan murid-murid Anda, insya Allah akan menghantarkan Anda mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.

Kalau Anda seorang pejabat, bekerjalah dengan ikhlas, Anda bisa beramal sholeh dengan jabatan anda,
Permudah urusan rakyat jangan mempersulit, itu juga insya allah akan menjadi amal soleh anda.

Kalau Anda seorang ulama, sebarkanlah ilmu agama, ajarilah masyarakat akan pengetahuan agama, ramaikan pengajian-pengajian dengan menyebarkan ilmu agama, insya allah itu akan membawa anda mendapatkan rahmat dari Allah swt.

Kalau Anda seorang pengusaha, perbanyaklah amal soleh dan shedekah dengan harta yang Anda dapatkan dari urusan (bisnis) Anda, insya Allah itu akan membawa Anda mendapatkan limpahan pahala dan rahmat Allah SWT.

Singkatnya, apapun profesi dan di manapun Anda bekerja, landasilah pekerjaan Anda dengan niat ikhlas dan ibadah kepada Allah swt.
Janganlah kita menjadi orang kaya, pejabat dan orang alim seperti yang di kisahkan dalam hadits qudsi di atas. Mereka hidup di dunia bergelimang harta, jabatan dan ilmu tapi itu tidak dapat menghantarkan mereka masuk ke dalam surga. Naudzubillah min dzalik.

Manfaat Sholat Tahajjud

Setiap Muslim seharusnya memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakan shalat Tahajud setiap malam hingga menjadi terbiasa.
Orang-orang saleh zaman dahulu tekun menjalankannya, baik pada musin panas maupun dingin. Mereka memandang seolah-olah shalat Tahajud itu adalah sesuatu yang wajib (HR Tirmidzi).

Jika terlewatkan sekali saja mereka menganggap itu sebagai musibah yang besar baginya. Pastinya, selain sebagai ’mesin keimanan’, Tahajud memberikan banyak manfaat besar dalam kehidupan mereka yang istikamah menjalankannya.

Di antaranya, pertama, untuk menjaga kesehatan. Tidak diragukan lagi bahwa shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk shalat Tahajud akan memiliki daya tahan tubuh sehingga tidak mudah terserang penyakit.

Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam penyakit dari tubuh.” (HR Tirmidzi).

Kedua, menjaga ketampanan atau kecantikan. Setap manusia pasti mendambakan ketampanan/kecantikan dalam dirinya. Nah, melalui terapi shalat Tahajud, seseorang dapat meraih apa yang didambakannya, tanpa mengeluarkan biaya sepersen pun. 

Yaitu jaminan ketampanan/kecantikan yang dihasilkan dari shalat Tahajud, tidak terbatas pada tampilan lahir, juga dapat menghasilkan ketampanan/kecantikan batin.

Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang banyak menunaikan shalat malam, maka wajahnya akan terlihat tampan/cantik di siang harinya.” (HR Ibnu Majah).

Ketiga, meningkatkan produktifitas kerja. Selain manfaat untuk kesehatan dan merawat ketampanan/kecantikan, shalat Tahajud juga diyakini dapat meningkatkan produktifitas kerja yang berbasis spiritualitas. 

Oleh karena itu, salah satu program untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang handal secara intelektual, emosional, dan spiritual adalah membiasakan shalat Tahajud pada setiap malamnya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Setan membuat ikatan pada tengkuk salah seorang di antara kalian ketika tidur dengan tiga ikatan dan setiap kali memasang ikatan dia berkata: ”Malam masih panjang, maka tidurlah”.
Jika orang tadi bangun lalu berdzikir kepada Allah SWT, maka terlepas satu ikatan, jika dia berwudhu, maka terlepas satu ikatan yang lainnya, dan jika dia melaksanakan shalat, maka terlepas semua ikatannya. 

Pada akhirnya dia akan menjadi segar (produktif) dengan jiwa yang bersih, jika tidak, maka dia akan bangun dengan jiwa yang kotor yang diliputi rasa malas.” (HR Bukhari).

Keempat, mempercepat tercapainya cita-cita dan rasa aman. Selain dengan usaha (ikhtiar) secara maksimal guna menggapai cita-cita dan rasa aman, seseorang hendaknya membiasakan diri untuk shalat Tahajud, karena doa yang mengiringi Tahajud akan dikabulkan oleh Yang Maha Mengabulkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat. 

Allah berfirman kepada para Malaikat-Nya, “Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?” Mereka menjawab, “Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.” (HR Ahmad).

Semoga Allah SWT membimbing kita untuk mendawamkan shalat Tahajud dan dapat merasakan manfaatnya. Amin.

Bagaimana Hukum Perkosaan dalam Islam


Perkosaan dalam bahasa Arab disebut al wath`u bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Jika seorang laki-laki memerkosa seorang perempuan, seluruh fuqaha sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 24 hlm. 31; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.18).

Dalil untuk itu adalah Alquran dan sunnah. Dalil Alquran antara lain firman Allah SWT (artinya), ”Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al An’aam [6] : 145). Ibnu Qayyim mengisahkan ayat ini dijadikan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib ra di hadapan Khalifah Umar bin Khaththab ra untuk membebaskan seorang perempuan yang dipaksa berzina oleh seorang penggembala, demi mendapat air minum karena perempuan itu sangat kehausan. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 365; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294).

Adapun dalil sunnah adalah sabda Nabi SAW, ”Telah diangkat dari umatku (dosa/sanksi) karena ketidaksengajaan, karena lupa, dan karena apa-apa yang dipaksakan atas mereka.” (HR Thabrani dari Tsauban RA. Imam Nawawi berkata, ”Ini hadits hasan”). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364).

Pembuktian perkosaan sama dengan pembuktian zina, yaitu dengan salah satu dari tiga bukti (al bayyinah) terjadinya perzinaan berikut; Pertama, pengakuan (iqrar) orang yang berbuat zina sebanyak empat kali secara jelas, dan dia tak menarik pengakuannya itu hingga selesainya eksekusi hukuman zina. Kedua, kesaksian (syahadah) empat laki-laki Muslim yang adil (bukan fasik) dan merdeka (bukan budak), yang mempersaksikan satu perzinaan (bukan perzinaan yang berbeda-beda) dalam satu majelis (pada waktu dan tempat yang sama), dengan kesaksian yang menyifati perzinaan dengan jelas. Ketiga, kehamilan (al habl), yaitu kehamilan pada perempuan yang tidak bersuami. (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 34-38).

Jika seorang perempuan mengklaim di hadapan hakim (qadhi) bahwa dirinya telah diperkosa oleh seorang laki-laki, sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada laki-laki itu. Kemungkinan hukum syara’ yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta (manath) yang ada, antara lain adalah sbb:

 Pertama, jika perempuan itu mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki Muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukanmuhshan, dan dirajam hingga mati jika dia muhshan. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).

Kedua, jika perempuan itu tak mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, maka hukumnya dilihat lebih dahulu; jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina (al ‘iffah an zina), maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai QS An Nuur : 4. Adapun jika laki-laki yang dituduh memperkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu tak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz 6 hlm. 453; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.53; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 346). Wallahu a’lam. (mediaumat.com, 27/2)

TALQIN MAYYIT MENURUT AHLI HADITS


Dilingkungan Nahdliyin talqin biasa dilakukan setiap janazah telah dimakamkan, hal ini adalah amaliyah yang dianjurkan dalam madzhab Syafi'iyah. Ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar membahas dalil-dalil Talqin ini dengan penjelasan yang sangat kongkrit:

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُلَقَّنَ الْمَيِّتُ بَعْدَ الدَّفْنِ فَيُقَالُ يَا عَبْدَ اللهِ يَا ابْنَ أَمَةِ اللهِ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنْ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ وَأَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لاَ رَيْبَ فِيْهَا وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالْقُرْآنِ إمَامًا وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ إخْوَانًا وَرَدَ بِهِ الْخَبَرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّبَرَانِيُّ (في الكبير رقم 7979) "عَنْ أَبِي أُمَامَةَ إذَا أَنَا مِتُّ فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمْ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُولُ يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا ثُمَّ يَقُولُ يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَقُولُ أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنْ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّك رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالْقُرْآنِ إمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ قَالَ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ قَالَ يَنْسُبُهُ إلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ يَا فُلَانُ بْنُ حَوَّاءَ" (التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير للحافظ ابن حجر 2 / 310-311)

"Dianjurkan menalqini mayit setelah dimakamkan. Maka ucapkan: Wahai hamba Allah putra wanita hamba Allah. Sebutlah kalimat saat kamu meninggalkan dunia, yaitu kalimat 'Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah', surga adalah haq, neraka haq, dibangkitkan dari kubur juga haq, kiamat akan datang dan tiada keraguan, sesungguhnya Allah membangkitkan manusia dari kubur. Kamu rela Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, al-Quran sebagai Imam, Ka'bah sebagai kiblat dan orang beriman sebagai saudara". Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh al-Thabrani (al-Mu'jam al-Kabir No 7979)

 "Dari Abu Umamah. Ia berkata: Jika saya mati maka perlakukanlah sebagaimana Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk memperlakukan orang-orang yang meninggal di antara kami. Rasulullah memerintahkan kepada kami, beliau bersabda: Jika salah satu saudara kalian meninggal maka ratakanlah tanah di atas kuburnya, kemudian berdirilah di arah kepala dekat kuburnya, lalu katakanlah: Wahai fulan bin fulanah. Sesungguhnya dia mendengar tapi tidak bisa menjawab katakan lagi: Wahai fulan bin fulanah. Sesungguhnya dia duduk dengan tegak. Katakanlah: Wahai fulan bin fulanah. Maka ia berkata: Tunjukkan kepada saya, maka Allah akan memberi rahmat kepadamu, tetapi kalian tidak mengetahuinya. Katakanlah: Sebutlah kalimat saat kamu meninggalkan dunia, yaitu kalimat 'Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah'. Sesungguhnya kamu rela Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan al-Quran sebagai Imam. Sesungguhnya Munkar dan Nakir berpegangan tangan dan berkata: Mari tinggalkan orang yang telah dituntun hujjahnya ini. Kemudian sahabat bertanya: Bagaimana jika tidak diketahui ibunya? Nabi menjawab: Nasabkan ia pada ibunya, Hawa'. Wahai fulan putra Hawa" (al-Talkhish al-Habir II/310-311)

Ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian atas hadis ini:

وَإِسْنَادُهُ (التلقين) صَالِحٌ وَقَدْ قَوَّاهُ الضِّيَاءُ فِي أَحْكَامِهِ وَأَخْرَجَهُ عَبْدُ الْعَزِيزِ فِي الشَّافِي وَالرَّاوِي عَنْ أَبِي أُمَامَةَ سَعِيدٌ اْلأَزْدِيُّ بَيَّضَ لَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَلَكِنْ لَهُ شَوَاهِدُ مِنْهَا مَا رَوَاهُ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ مِنْ طَرِيْقِ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ وَضَمْرَةَ بْنِ حَبِيْبٍ وَغَيْرِهِمَا قَالُوْا إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ عِنْدَ قَبْرِهِ يَا فُلاَنُ قُلْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ قُلْ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْ رَبِّي اللهُ وَدِيْنِي اْلإِسْلاَمُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ثُمَّ يَصْرِفُ. وَرَوَى الطَّبَرَانِيُّ (في المعجم الكبير رقم 3171) مِنْ حَدِيْثِ الْحَكَمِ بْنِ الْحَارِثِ السُّلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَهُمْ "إذَا دَفَنْتُمُوْنِي وَرَشَشْتُمْ عَلَى قَبْرِي الْمَاءَ فَقُوْمُوْا عَلَى قَبْرِي وَاسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَادْعُوْا لِي" رَوَى ابْنُ مَاجَهْ (1553) مِنْ طَرِيْقِ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ فِي حَدِيْثٍ سَبَقَ بَعْضُهُ وَفِيْهِ فَلَمَّا سَوَّى اللَّبِنَ عَلَيْهَا قَامَ إلَى جَانِبِ الْقَبْرِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ جَافِ الْأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهَا وَصَعِّدْ رُوْحَهَا وَلَقِّهَا مِنْكَ رِضْوَانًا وَفِيْهِ أَنَّهُ رَفَعَهُ وَرَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ (في المعجم الكبير 13094) اهـ (التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير للحافظ ابن حجر 2 / 310-311)

"Sanad hadis ini layak (diamalkan). Hadis ini dikuatkan oleh al-Dliya' dalam kitab al-Ahkam, juga diriwayatkan oleh Abdul Aziz dalam kitab al-Syafi. Perawi dari Abu Umamah adalah Said al-Azdi yang dinilai bersih oleh Ibnu Abi Hatim. Hadis ini juga dikuatkan beberapa riwayat, diantaranya oleh Said bin Manshur dari jalur Rasyid bin Sa'd, Dlamrah bin Habib dan sebagainya. Mereka berkata: Jika kuburan telah diratakan dan orang-orang telah meninggalkannya, para ulama salaf menganjurkan mentalqin pada mayit di dekat kuburnya: Wahai fulan, katakan : Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, sebanyak tiga kali. Katakan: Allah adalah Tuhanku, Islam adalah agamaku dan Muhammad adalah nabiku.

Kemudian pergi dari kubur. Al-Thabrani meriwayatkan (al-Mu'jam al-Kabir No 3171) dari al-Hakam bin Harits al-Sulami, ia berkata: Jika kalian telah menguburkan dan menyiramkan air di atas kuburku, maka berdirilah diatas kuburkan, menghadaplah ke kiblat dan berdoalah untukku. Ibnu Majah juga meriwayatkan (1553) dari jalur Said bin Musayyab, bahwa setelah tanah diratakan ia berdiri di ujung kubur dan berdoa: Ya Allah lapangkan tanah dari tubuhnya, naikkan runya, pertemukanlah ia dengan keridlaan dari-Mu. Hadis ini dinilai marfu' dan diriwayatkan oleh al-Thabrani (al-Mu'jam al-Kabir No 13094)" (al-Talkhish al-Habir II/310-311)

Ahli hadis al-'Ajluni berkata:

قَوَّاهُ الضِّيَاءُ فِي أَحْكَامِهِ ثُمَّ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ أَيْضًا بِمَا لَهُ مِنَ الشَّوَاهِدِ وَنَسَبَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ الْعَمَلَ بِهِ ِلأَهْلِ الشَّامِ وَابْنُ الْعَرَبِي ِلأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَغَيْرُهُمَا لِقُرْطُبَةَ (كشف الخفاء ومزيل الالباس عما اشتهر من الاحاديث على ألسنة الناس للمحدث العجلوني 1 / 316)

"Hadis ini dikuatkan oleh al-Dliya' dalam kitab al-Ahkam, juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar berdasarkan dalil-dali penguat. Imam Ahmad menisbatkan amaliyah Talqin dilakukan oleh ulama Syam, Ibnu al-Arabi menisbatkannya pada ulama Madinah, yang lainnya menisbatkannya pada ulama Cordoba (Spanyol)" (Kasyf al-Khafa' I/316)

Ulama yang dikagumi oleh kelompok anti talqin, Ibnu Taimiyah, tidak pernah menyalahkan amaliyah talqin diatas:

(وَسُئِلَ) عَنْ تَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ دَفْنِهِ هَلْ صَحَّ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ عَنْ صَحَابَتِهِ ؟ وَهَلْ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شَيْءٌ يَجُوزُ فِعْلُهُ أَمْ لاَ ؟ (فَأَجَابَ) هَذَا التَّلْقِيْنُ الْمَذْكُورُ قَدْ نُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ أَمَرُوْا بِهِ كَأَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ. وَرُوِيَ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ مِمَّا لاَ يُحْكَمُ بِصِحَّتِهِ وَلَمْ يَكُنْ كَثِيْرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ يَفْعَلُ ذَلِكَ فَلِهَذَا قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ إنَّ هَذَا التَّلْقِيْنَ لاَ بَأْسَ بِهِ فَرَخَّصُوْا فِيْهِ وَلَمْ يَأْمُرُوْا بِهِ وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ (مجموع الفتاوى لابن تيمية 24 / 296)
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang talqin di kibur setelah pemakaman. Apakah hadisnya sahih dari Rasulullah Saw atau dari sahabat? Dan jika tidak ada dalilnya apakah boleh melakukannya atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Talqin ini diriwayatkan dari kelompok sahabat, bahwa mereka memerintahkan talqin, seperti Abu Umamah dan lainnya. Talqin juga diriwayatkan dari Rasulullah Saw tetapi tidak sahih, dan banyak sahabat yang tidak melakukannya. Oleh karenanya, Imam Ahmad dan lainnya berkata: Talqin ini boleh. Mereka memberi dispensasi dan tidak memerintahkannya. Sementara sekelompok ulama dari kalangan Syafiiyah dan Ahmad menganjurkannya. Dan sekelompok ulama dari kalangan Malikiyah dan lainnya menilainya makruh" (Majmu' al-Fatawa XXIV/296)