Imajinasi Manusia Tentang Al;Khidzir AS

Pertanyaan: Siapakah Al-Khidir itu? Apakah ia seorang Nabi atau wali? Apakah ia hidup sampai saat ini sebagaimana dikatakan oleh banyak orang? Sebagian orang-orang yang saleh telah melihat dan berjumpa dengannya. Apabila masih hidup, dimana ia tinggal? Mengapa beliau tidak muncul dan tidak mengajarkan ilmunya kepada orang-orang, khususnya di zaman sekarang? Saya harapkan mendapat penjelasan yang memuaskan.

Jawab: Al-Khidir adalah hamba yang saleh dan disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam Surat Al-Kahfi, yaitu sebagai teman sayidina Musa as. Dimana Nabi Musa as. belajar kepadanya. Al-Khidir mensyaratkan kepadanya agar bersabar. Maka Musa menyanggupinya. Al-Khidir berkata, "Bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Al-Khidir tetap menyertai Musa. Ia adalah seorang hamba yang diberi rahmat oleh Allah dan ilmu dari sisi-Nya. Musa terus berjalan bersamanya dan melihat Al-Khidir telah melobangi perahu. Maka Musa berkata, "Apakah engkau melubanginya supaya penumpangnya tenggelam?" Cerita selanjutnya telah disebutkan dalam Surat Al-Kahfi. Musa merasa heran atas perbuatannya, hingga Al-Khidir menerangkan kepadanya sebab-musabab dari perbuatan yang dilakukan itu.

Pada akhir pembicaraannya, Al-Khidir berkata, "Bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar atasnya." Maksudnya, semua perbuatan itu hanyalah karena kemauan Allah Ta'ala. Sebagian orang berkata tentang Al-Khidir: Ia hidup sesudah Musa hingga zaman Isa, kemudian zaman Nabi Muhammad saw, ia sekarang masih hidup, dan akan hidup hingga Kiamat. Ditulis orang kisah-kisah, riwayat-riwayat dan dongeng-dongeng bahwa Al-Khidir menjumpai si Fulan dan memakaikan kirqah (pakaian) kepada si Fulan dan memberi pesan kepada si Fulan. Sama sekali tidak adil pendapat yang mengatakan bahwa Al-Khidir masih hidup - sebagaimana anggapan sementara orang - tetapi sebaliknya, ada dalil-dalil dari Al-Qur'an, Sunnah, akal dan ijma, diantara para ulama dari ummat ini bahwa Al-Khidir sudah tiada. Saya anggap cukup dengan mengutip keterangan dari kitab Al-Manaarul Muniif fil-Haditsish-Shahih wadl-Dla'if karangan Ibnul Qayyim. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitab itu ciri-ciri dari hadis maudlu, yang tidak diterima dalam agama.

Diantara cirinya ialah "hadis-hadis yang menceritakan tentang Al-Khidir dan kehidupannya." Semuanya adalah dusta. Tidak satu pun hadis yang shahih. Di antara hadis maudlu, itu ialah hadis yang berbunyi: "Bahwa Rasulullah saw. sedang berada di masjid, ketika itu beliau mendengar pembicaraan dari arah belakangnya. Kemudian beliau melihat, ternyata ia adalah Al-Khidir." Juga hadis, "Al-Khidir dan Ilyas berjumpa setiap tahun." Dan hadis, "Jibril, Mikail dan Al-Khidir bertemu di Arafah." Ibrahim Al-Harbi ditanya tentang umur Al-Khidir yang panjang dan bahwa ia masih hidup. Maka beliau menjawab "Tidaklah ada yang memasukkan paham ini kepada orang-orang, kecuali setan." Imam Bukhari ditanya tentang Al-Khidir dan Ilyas, apakah keduanya masih hidup? Maka beliau menjawab, "Bagaimana hal itu terjadi?" Nabi saw. telah bersabda, "Tidaklah akan hidup sampai seratus tahun lagi bagi orang-orang yang berada di muka bumi ini." (H.r. Bukhari-Muslim) . Banyak imam lainnya yang ketika ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab dengan menggunakan Al-Qur'an sebagai dalil: "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal?" (Q.s. Al-Anbiyaa': 34).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang hal itu, maka ia menjawab, "Andaikata Al-Khidir masih hidup, tentulah ia wajib mendatangi Nabi saw. dan berjihad bersamanya, serta belajar darinya." Nabi saw. telah bersabda ketika perang Badar, "Ya Allah, jika pasukan ini binasa, niscaya Engkau tidak disembah di bumi." Pada waktu itu mereka berjumlah 313 orang laki-laki yang dikenal dengan nama-nama mereka, nama-nama dari bapak-bapak mereka dan suku-suku mereka. Maka, di manakah Al-Khidir pada waktu itu? Al-Qur'an dan Sunnah serta pembicaraan para peneliti ummat menyangkal masih adanya kehidupan Al-Khidir seperti anggapan mereka. Sebagaimana firman Allah swt. di atas. Jika Al-Khidir itu manusia, maka ia tidak akan kekal, karena hal itu ditolak Al-Qur'anul Karim dan Sunnah yang suci. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia datang kepada Nabi saw. Nabi saw. telah bersabda, "Demi Allah, andaikata Musa masih hidup, tentu ia akan mengikuti aku." (H.r. Ahmad, dari Jabir bin Abdullah) .

Jika Al-Khidir seorang Nabi, maka ia tidak lebih utama daripada Musa as, dan jika seorang wali, tidaklah ia lebih utama daripada Abu Bakar r.a. Apakah hikmahnya sehingga ia hidup hingga kini - sebagaimana anggapan orang-orang - di padang luas, gurun dan gunung-gunung? Apakah faedahnya syar'iyah maupun akliah di balik ini? Sesungguhnya orang-orang selalu menyukai cerita-ccrita ajaib dan dongeng-dongeng fantastis. Mereka menggambarkannya menurut keinginan mereka, sedangkan hasil dari imajinasinya, mereka gunakan sebagai baju keagamaan.

Cerita ini disebarkan diantara sebagian orang awam dan mereka menganggapnya berasal dari agama mereka, padahal sama sekali bukan dari agama. Hikayat-hikayat yang diceritakan tentang Al-Khidir hanyalah rekayasa manusia dan tidak diturunkan oleh Allah hujjah untuk itu. Adapun mengenai pertanyaan: Apakah ia seorang Nabi atau wali? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Tampaknya yang lebih tepat Al-Khidir adalah seorang Nabi, sebagaimana tercantum pada ayat yang mulia dari Surat Al-Kahfi, "... dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri ..." (Q.s. Al-Kahfi: 82). Perkataan itu adalah dalil bahwa ia melakukan itu berdasarkan perintah Allah dan wahyu-Nya, bukan dari dirinya. Lebih tepatnya dia adalah seorang Nabi bukan wali.

Mengkafirkan Sesama Muslim

Pertanyaan:
 
Paham yang  menamakan  dirinya  "Jamaah  Attakfir,"  "Jamaah
Alhijrah,"  "fundamentalis  Islam"  dan  sebagainya,  mereka
beranggapan bahwa orang yang melakukan dosa besar dan  tidak
mau  berhenti  dicap  kafir. Sebagian lagi beranggapan bahwa
orang-orang Islam pada umumnnya tidak Muslim,  salat  mereka
dan  ibadat  lainnya  tidak  sah,  karena  murtad. Bagaimana
pendirian dan pandangan Islam terhadap mereka?
 
Jawab:
 
Hal tersebut amat  berbahaya  dan  telah  menjadi  perhatian
besar bagi kaum Muslimin khususnya, karena timbulnya pikiran
yang terlampau ekstrim. Dalam hal ini, saya sudah menyiapkan
sebuah  buku  khusus  mengenai masalah tersebut diatas. Saya
kemukakan perlunya  pengkajian  akan  sebab-sebab  timbulnya
pikiran  yang  ekstrim dan cara-cara menghadapinya, sehingga
dapat diatasi dengan seksama.
 
Pertama,  tiap-tiap  pikiran  atau  pendapat  harus  dilawan
dengan  pikiran,  pandangan  dan  diobati  dengan keterangan
serta dalil-dalil yang kuat,  sehingga  dapat  menghilangkan
keragu-raguan  dan  pandangan  yang  keliru  itu.  Jika kita
menggunakan kekerasan sebagai alat satu-satunya, maka  tentu
tidak akan membawa faedah.
 
Kedua,  mereka  itu  (orang-orang  yang  berpandangan salah)
umumnya adalah orang-orang baik,  kuat  agamanya  dan  tekun
ibadatnya,  tetapi  mereka dapat digoncang oleh hal-hal yang
bertentangan dengan Islam dan yang  timbul  pada  masyarakat
Islam.  Misalnya  akhlak  buruk, kerusakan di segala bidang,
kehancuran  dan  sebagainya.  Mereka  selalu  menuntut   dan
mengajak  pada  kebaikan,  dan  mereka  ingin  masyarakatnya
berjalan di garis yang telah ditentukan oleh Allah, walaupun
jalan  atau  pikirannya menyimpang pada jalan yang salah dan
sesat karena mereka tidak mengerti.
 
Maka, sebaiknya kita hormati niat mereka yang baik itu, lalu
kita  beri  penerangan yang cukup, jangan mereka digambarkan
atau dikatakan sebagai binatang yang buas atau penjahat bagi
masyarakat. Tetapi hendaknya diberi pengarahan dan bimbingan
ke jalan yang benar, karena tujuan mereka adalah baik,  akan
tetapi salah jalan.
 
Mengenai   sebab-sebab  timbulnya  pikiran-pikiran  tersebut
adalah sebagai berikut:
 
1. Tersebarnya kebatilan, kemaksiatan dan kekufuran, yang
   secara terang-terangan dan terbuka di tengah masyarakat
   Islam tanpa ada usaha penccgahannya. Bahkan sebaliknya,
   untuk meningkatkan kemungkaran dan kemaksiatan dia
   menggunakan agama sebagai alat propaganda untuk menambah
   kerusakan-kerusakan akhlak dan sebagainya.
 
2. Sikap para ulama yang amat lunak terhadap mereka yang
   secara terang-terangan menjalankan praktek orang-orang kafir
   dan memusuhi orang-orang Islam.
 
3. Ditindaknya gerakan-gerakan Islam yang sehat dan segala
   dakwah yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka,
   tiap-tiap perlawanan bagi suatu pikiran yang bebas, tentu
   akan melahirkan suatu tindakan kearah yang menyimpang, yang
   nantinya akan melahirkan adanya gerakan bawah tanah
   (ilegal).
 
4. Kurangnya pengetahuan mereka tentang agama dan tidak
   adanya pendalaman ilmu-ilmu dan hukum-hukum Islam secara
   keseluruhan. Oleh karena itu, mereka hanya mengambil
   sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan paham
   yang keliru dan menyesatkan.
 
Keikhlasan dan semangat saja tidak cukup sebagai bekal  diri
sendiri,  jika  tidak disertai dasar yang kuat dan pemahaman
yang mendalam mengenai hukum-hukum Islam. Terutama  mengenai
hukum syariat dan ilmu fiqih, maka mereka ini akan mengalami
nasib yang sama dengan  para  Al-Khawarij  di  masa  lampau,
sebagaimana keterangan Al-Imam Ahmad.
 
Oleh  karena itu, orang-orang saleh yang selalu menganjurkan
untuk menuntut ilmu dan memperkuat diri  dengan  pengetahuan
Islam  sebelum  melakukan  ibadat dan perjuangan, agar teguh
pendiriannya dan tidak kehilangan arah.
 
Al-Hasan Al-Bashri berkata:
 
"Segala amalan tanpa dasar ilmu, seperti orang yang berjalan
tetapi tidak pada tempatnya berpijak (tidak pada jalannya).
 
Tiap-tiap  amal  tanpa ilmu akan menimbulkan kerusakan lebih
banyak daripada kebaikannya. Tuntutlah ilmu  sehingga  tidak
membawa madharat pada ibadat dan tuntutlah ibadat yang tidak
membawa madharat pada ilmu. Maka, ada segolongan  kaum  yang
melakukan  ibadat  dan  meninggalkan  ilmu,  sehingga mereka
mengangkat pedangnya untuk melawan ummat Muhammad saw.  yang
termasuk  saudaranya  sesama  Muslim (saling berperang tanpa
adanya alasan). Jika mereka memiliki ilmu,  tentu  ilmu  itu
tidak akan membawa ke arah perbuatan itu."

Mukjizat Nabawiyah,Pendapat di antara orang yg ceroboh

Pertanyaan:                                            (1/2)
 
Kami sedang berbincang-bincang dalam suatu  majelis  tentang
Nabi  saw.  dan  mukjizat-mukjizatnya sehubungan dengan hari
kelahirannya,  dan  tanda-tanda   yang   terjadi   menjelang
kelahirannya   yang  banyak  diceritakan  dalam  kitab-kitab
cerita Maulid yang biasanya dibaca  di  berbagai  negara  di
setiap menjelang datangnya bulan Rabiul Awwal.
 
Tetapi,   salah   seorang   hadirin  mengingkari  terjadinya
peristiwa-peristiwa luar  biasa  ini  dan  mengingkari  pula
mukjizat-mukjizat  nyata  dari  Rasulullah  saw. yang sering
disebut-sebut atau  tercantum  dalam  kitab-kitab,  misalnya
"telur  merpati  di  mulut  gua  ketika berlangsung hijrah,"
"pembuatan sarang laba-laba," "kijang yang berbicara  kepada
beliau,"  "rintihan  batang  kurma  kepada  Nabi  saw."  Dan
lain-lain yang terkenal diantara masyarakat Muslim.
 
Alasannya ialah, bahwa Rasulullah saw. Hanya  memiliki  satu
mukjizat  yang  nyata yaitu Al-Qur'anul Karim, dan ia adalah
mukjizat  akliah  yang   teristimewa   dibandingkan   dengan
mukjizat-mukjizat para Rasul terdahulu.
 
Kami  harapkan  penjelasan  Al-Ustadz  tentang  masalah  ini
dengan disertai dalil-dalil.
 
Semoga Al-Ustadz diberi umur panjang  bagi  Islam  dan  kaum
Muslimin.
 
Jawab:
 
Pengingkaran tersebut, yang diceritakan olch Saudara penanya
dari  salah  seorang  di  majelisnya,  sebagian  benar   dan
sebagian lagi salah. Tidaklah semua mukjizat Rasulullah saw.
yang nyata  dan  tersiar  di  antara  orang-orang  merupakan
riwayat  yang  shahih  dan  benar,  dan  tidak juga semuanya
salah.
 
Keshahihan dan kesalahan dalam masalah-masalah ini  tidaklah
semata-mata  disebabkan  oleh  pendapat  atau hawa nafsu dan
emosi, tetapi ditentukan oleh sanad-sanad.
 
Orang-orang  dalam  masalah  ini  -masalah   mukjizat   Nabi
Muhammad saw. yang bersifat material- ada tiga macam:
 
Pertama:   Orang   yang  berlebihan  dalam  membenarkan  dan
menjadikan sanad dan dalil  adalah  sesuatu  yang  tercantum
dalam  kitab-kitab, apakah itu merupakan kitab ulama periode
terdahulu maupun belakangan, yang menyaring  riwayat-riwayat
atau  tidak,  yang  bersesuaian  dengan  pokok-pokoknya atau
bahkan menyalahinya, dan  apakah  kitab-kitab  itu  diterima
oleh para ulama peneliti atau tidak.
 
Yang  penting  hal  itu  diriwayatkan  dalam  sebuah  kitab,
meskipun tidak diketahui pengarangnya, atau disebutkan dalam
sebuah  kasidah  yang  berisi pujian terhadap Nabi saw, atau
dalam kisah Maulid yang sebagiannya dibaca di  bulan  Rabiul
Awxval setiap tahun dan sebagainya.
 
Ini pemikiran awam yang tidak perlu dibicarakan. Kitab-kitab
itu berisi riwayat yang baik dan  buruk,  benar  dan  salah,
shahih? dan palsu (dibuat-buat).
 
Peradaban  agama  kita  telah  tercemar  oleh para pengarang
semacam  ini,  yang  menerima  "kisah-kisah  khayalan"   dan
mengisi  lembaran  kitab-kitab  mereka,  meskipun  menyalahi
riwayat yang shahih dan akal sehat.
 
Sebagian pengarang  tidak  memperhatikan  kebenaran  riwayat
dari  kisah-kisah  ini  dengan  alasan tidak ada hubungannya
dcngan penetapan hukum syariat,  baik  mengenai  halal  atau
haram  dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila meriwayatkan
mengenai  halal  dan  haram,  mereka  bersikap  keras  dalam
menyelidiki  sanad-sanad, mengkritik para rawi dan menyaring
riwayat-riwayatnya.
 
Namun, apabila  meriwayatkan  tentang  amalan-amalan  utama,
At-Targhib  wat-Tarhib,  misalnya  mukjizat  dan sebagainya,
mereka pun menyepelekan dan bersikap toleran.
 
Ada pula  pengarang  yang  menyebut  riwayat-riwayat  dengan
sanad-sanadnya - Fulan dari Fulan dari Fulan - tetapi mereka
tidak memperhatikan nilai  sanad-sanad  ini.  Apakah  shahih
atau  tidak? Nilai para rawinya, apakah mereka tsiqat (dapat
dipercaya), dapat diterima,  lemah  tercela,  atau  pendusta
tertolak?  Mereka  beralasan  bahwa  apabila mereka menyebut
sanadnya, maka mereka telah bebas dari  tanggung  jawab  dan
terlepas dari ikatan.
 
Hal itu hanya cocok dan cukup bagi para ulama di zaman-zaman
permulaan. Adapun di zaman-zaman  belakangan,  khususnya  di
masa  kita  seperti  sekarang  ini,  maka  penyebutan  sanad
tidaklah berarti  apa-apa.  Orang-orang  hanya  mengandalkan
penukilan dari kitab-kitab tanpa memandang sanad.
 
Ini  adalah  sikap  mayoritas penulis dan pengarang di zaman
kita  ketika  mereka  mengutip  dari  Tarikh  Thabari   atau
Thabaqat Ibnu Sa'ad dan lain-lain.
 
Kedua:  Orang  yang berlebihan dalam menolak dan mengingkari
mukjizat-mukjizat  dan  tanda-tanda  alamiah   yang   nyata.
Alasannya  dalam hal itu ialah, bahwa mukjizat Nabi Muhammad
saw. adalah Al-Qur'anul Karim.
 
Didalamnya terdapat tantangan agar orang-orang  mendatangkan
(membuat)  Al-Qur'an  seperti  itu, sepuluh surat atau cukup
satu surat saja yang seperti itu.
 
Tatkala kaum  musyrikin  minta  dari  Rasulullah  saw.  agar
mengeluarkan     tanda-tanda     alamiah    supaya    mereka
mempercayainya, maka turunlah ayat Al-Qur'an yang menyatakan
penolakan tegas terhadap permintaan mereka.
 
Allah Ta'ala berfirman:
 
"Dan   mereka   berkata,  'Kami  sekali-kali  tidak  percaya
kepadamu hingga kamu memancarkan mata air  dari  bumi  untuk
kami'."(Q.s. Al-Isra':90).
 
"Atau  kamu  mempunyai  sebuah  kebun kurma dan anggur, lalu
kamu  alirkan  sungai-sungai  di  celah  kebun  yang   deras
alirannya. " (Q.s. Al-Isra':91).
 
"Atau  kamu  jatuhkan  langit  berkeping-keping  atas  kami,
sebagaimana kamu  katakan  atau  kamu  datangkan  Allah  dan
malaikat-malaikat   bertatap   muka   dengan   kami."  (Q.s.
Al-Isra':92).
 
"Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas atau  kamu  naik
ke  langit.  Dan  kami  sekali-kali  tidak  akan mempercayai
kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami  sebuah  kitab
yang kami baca. Katakanlah, 'Maha Suci Tuhanku, bukankah aku
ini  hanya  seorang  manusia  yang  menjadi  Rasul'."  (Q.s.
Al-Isra': 93).
 
Di   tempat  lain,  Allah  menyebut  hal-hal  yang  mencegah
turunnya tanda-tanda alamiah  yang  mereka  usulkan.  Firman
Allah swt.:
 
"Dan  sekali-kali  tidak  ada  yang  menghalang-halangi Kami
untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda  (kekuasaan  Kami),
melainkan  karena  tanda-tanda  itu  telah  didustakan  oleh
orang-orang yang  dahulu.  Dan  telah  Kami  berikan  kepada
Tsamud   unta  betina  itu  (sebagai  mukjizat)  yang  dapat
dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan  Kami
tidak    memberi    tanda-tanda    itu    melainkan    untuk
menakut-nakuti." (Q.s. Al-Isra': 59).
 
Dalam  surat  lain   Allah   menolak   permintaan   turunnya
tanda-tanda  yang  lain  dengan  mengatakan  bahwa Al-Qur'an
sendiri sudah cukup untuk menjadi tanda bagi Muhammad saw.
 
Allah Ta'ala berfirman:
 
"Dan apakah tidak cukup bagi mereka  bahwasanya  Kami  telah
menurunkan   kepadamu   Alkitab   (Al-Qur'an),   sedang  dia
dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Qur'an)  itu
terdapat  rahmat  yang  besar dan pelajaran bagi orang-orang
yang beriman." (Q.s. Al-Ankabut: 51).
 
Hikmah Ilahiah  telah  menghendaki  mukjizat  Muhammad  saw.
merupakan mukjizat akliah dan moral, bukan mukjizat kongkrit
dan material. Hal itu dimaksudkan supaya lebih layak  dengan
kemanusiaan setelah melewati tahap-tahap masa kanak-kanaknya
dan lebih layak dengan tabiat risalah penutup yang kekal
 
Mukjizat-mukjizat nyata berakhir begitu ia  terjadi.  Adapun
mukjizat akliah, ia akan tetap kekal.
 
Hal  itu dikuatkan oleh hadis dalam Shahih Bukhari dari Nabi
saw, beliau bersabda:
 
"Tidak ada seorang  Nabi  diantara  Nabi-nabi  yang  diutus,
melainkan  ia  diberi  tanda-tanda  (mukjizat) dan kepadanya
manusia beriman, tetapi apa yang diberikan  kepadaku  adalah
wahyu  yang  diturunkan  Allah  kepadaku. Maka, aku berharap
menjadi Nabi yang terbanyak pengikutnya diantara mereka pada
hari Kiamat." (H.r. Bukhari).
Bersambung Bg 2

MUKJIZAT-MUKJIZAT NABAWIAH, PENDAPAT DIANTARA ORANG-ORANG YANG KETERLALUAN DAN CEROBOH

Menurut  pendapat saya, yang mendorong untuk mengambil sikap
tersebut ada dua perkara:
 
1. Terpukaunya manusia di zaman kita ini oleh berbagai ilmu
   pengetahuan (sains) yang berdiri diatas kenyataan,
   sebab-sebab dan keharusan pengaruhnya pada musababnya,
   sehingga sebagian orang mengira bahwa kelaziman akal tidak
   dapat luput dalam suatu keadaan. Maka, api harus membakar,
   pisau harus memotong, benda mati tidak mungkin berubah
   menjadi hewan, dan orang meninggal tidak mungkin dapat hidup
   kembali.
   
2. Sifat berlebihan pada jenis pertama dalam menetapkan
   peristiwa-peristiwa luar biasa sebagaimana perkara hak dan
   batil, hingga nyaris membatalkan hukum sebab-sebab dan
   ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah bagi alam semesta
   ini.
 
Ketiga:  Pendapat  pertengahan   antara   orang-orang   yang
berlebih-lebihan  dalam  mempercayai  dan  keterlaluan dalam
mengingkari. Ia adalah pendapat yang saya kuatkan  dan  saya
ikuti.
 
Kesimpulan Pendapat Ini:
 
1. Al-Qur'anul Karim adalah tanda terbesar dan mukjizat
   pertama dari Rasulullah Muhammad saw. dan Al-Qur'an
   merupakan tantangan bagi ahli-ahli sastra bahasa Arab
   khususnya dan bagi seluruh manusia umumnya. Dengan
   Al-Qur'an, kenabian Muhammad memiliki keistimewaan
   tersendiri dibandingkan dengan kenabian-kenabian sebelumnya.
   Dalil atas kenabiannya yang benar adalah obyek risalahnya
   itu. Ia adalah Kitab yang merupakan mukjizat yang mengandung
   hidayat dan ilmu-ilmunya, keindahan lafal dan maknanya serta
   penjelasan hal yang gaib di masa lalu, sekarang dan masa
   yang akan datang.
   
2. Allah Ta'ala memuliakan penutup Rasul-rasul-Nya dengan
   tanda dan peristiwa luar biasa yang nyata dan
   bermacam-macam. Tetapi Allah tidak memaksudkan semua itu
   sebagai tantangan, yakni untuk menegakkan hujjah atas
   kenabian dan risalahnya yang benar, melainkan sebagai
   penghormatan atau rahmat dari Allah dan kekuatan baginya
   serta pemeliharaan terhadapnya bersama-sama orang-orang yang
   beriman dengannya, jika dalam keadaan sulit. Oleh karena
   itu, peristiwa-peristiwa luar biasa itu tidak terjadi untuk
   memenuhi permintaan orang-orang kafir, bahkan sebagai rahmat
   dan kemuliaan dari Allah bagi Rasul-Nya dan kaum Mukmin.
   Dalam hal itu, misalnya peristiwa Isra' yang telah
   disebutkan dengan jelas dalam Al-Qur'an; dan Mi'raj yang
   diisyaratkan oleh Al-Qur'an dan disebutkan dalam hadis-hadis
   yang shahih. Turunnya para malaikat untuk mengukuhkan dan
   membela orang-orang yang beriman di Perang Badar, turunnya
   hujan untuk memberi minum dan membersihkan mereka,
   mengukuhkan kaki mereka pada saat hal itu tidak dialami oleh
   kaum musyrikin, padahal mereka berada di dekat kaum
   Muslimin. Perlindungan Allah terhadap Rasul-Nya dan
   sahabatnya di dalam gua ketika hijrah, dan meskipun kaum
   musyrikin menemukan tempat itu, sehingga andaikata salah
   seorang dari mereka melihat ke bawah, tentulah kedua orang
   itu akan terlihat, dan lain-lain yang tercantum dalam nash
   Al-Qur'an.
 
Juga yang sama dengan  peristiwa  itu  adalah  rasa  kenyang
sejumlah besar kaum Muslimin oleh makanan yang hanya sedikit
ketika perang Ahzab dan Tabuk.
 
3. Sesungguhnya kami tidak menetapkan peristiwa-peristiwa
   luar biasa semacam ini, kecuali yang telah dinashkan dalam
   Al-Qur'an atau disebutkan dalam Sunnah yang shahih. Adapun
   yang selain itu dan memenuhi kitab-kitab, maka kami tidak
   menerimanya dan tidak memperhatikannya .
 
   Di antara hadis-hadis shahih dan kuat, ialah:
 
3.1. Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok sahabat tentang
   "rintihan batang kurma" di atas ketika Nabi saw. pertama
   kali berkhutbah. Tatkala dibuatkan mimbar baginya dan beliau
   berdiri diatasnya untuk berkhutbah, terdengarlah suara dari
   batang kurma, seperti induk unta yang meratapi anaknya.
   Kemudian Nabi saw. menghampiri dan mengusapkan tangannya
   pada pohon itu. Maka, batang kurma itu pun terdiam.
 
   Berkata Al-Allamah Tajuddin As-Subki:
   
   "Rintihan batang kurma adalah  mutawatir, karena ia
   diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, hingga sekitar 20
   orang dan banyak perawi yang shahih, sehingga memastikan
   terjadinya."
   
   Begitu pula Qadli Iyadl berkata dalam Asy-Syifa': "Hadis itu
   mutawatir."
 
3.2. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan
   Ashabus Sunan lainnya dari sekelompok sahabat mengenai
   "pengadaan air yang banyak dengan cara yang tidak biasa
   dilakukan."
 
   Hal itu dilakukan dalam peperangan-peperangan dan
   perjalanan-perjalanan Nabi saw, misalnya pada perang
   Hudaibiyah, Tabuk dan lainnya.
   
   Diriwayatkan oleh Syaikhan, dari Anas bahwa Nabi saw. dan
   para sahabatnya berada di Zaura', lalu ia menyuruh mengambil
   segelas air. Kemudian beliau mencelupkan telapak tangannya
   ke dalam gelas, lalu air terus rnemancar dari celah-celah
   jari dan ujung-ujung jarinya. Kemudian para sahabat Nabi
   saw. berwudhu dengan air itu.
   
   Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Al-Barra' bin Azib
   bahwa mereka berada bersama 1400 orang pada hari Hudaibiyah
   dan mereka menguras sumur Hudaibiyah tanpa meninggalkan
   setetes pun di dalamnya. Kemudian Nabi saw. mendengar hal
   itu dan menghampirinya. Beliau duduk di atas tepinya,
   kemudian menyuruh mengambil sebuah bejana berisi air, lalu
   berwudhu. Setelah itu, beliau berkumur dan berdoa, lalu
   menyemburkannya ke dalam sumur itu. Al-Barra, berkata,
   "Kemudian kami meninggalkannya tidak begitu jauh. Maka
   keluarlah air dari sumur itu yang mencukupi dan
   mengenyangkan ternak-ternak kami serta para pengendaranya."
   
   Banyak sekali hadis yang diriwayatkan mengenai "mengalirnya
   air" sebagai mukjizat Rasulullah saw. dengan riwayat yang
   shahih.
 
3.3. Riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab Sunnah
   berupa pengabulan Allah Ta'ala terhadap doa Nabi saw. di
   tempat-tempat yang tidak terbilang banyaknya, misalnya untuk
   menurunkan hujan, ketika perang Badar agar diberi
   kemenangan, bagi Ibnu Abbas agar diberi kepandaian dalam
   ilmu agama, bagi Anas agar diberi anak yang banyak dan umur
   panjang, bagi sebagian orang yang mengganggunya dan
   sebagainya.
   
3.4. Kabar-kabar yang shahih tentang kejadian-kejadian yang
   bakal terjadi, sebagaimana diberitahukan oleh Rasulullah
   saw. sebagian di masa hidupnya dan sebagian sesudah
   wafatnya, misalnya penakluk negeri Yaman, Basrah dan Persia.
   
   Sabda Nabi saw.: "Engkau akan dibunuh oleh golongan yang
   zalim." Sabda Nabi saw. Tentang Al-Hasan: "Sesungguhnya
   putraku ini adalah pemimpin dan dengan lantaran Allah akan
   mendamaikan antara dua golongan dari kaum Muslimim."
   "Pemberitahuannya tentang penaklukan Konstantinople dan
   lainnya."
 
4. Adapun peristiwa-peristiwa luar biasa dan mukjizat-
   mukjizat yang yang tidak sah riwayatnya, maka kami tidak
   membenarkan dan mengesampingkannya, meskipun tersiar di
   antara ummat Muslim.
   
   Kami anggap cukup disini mengenai riwayat, bahwa ketika Nabi
   saw. bersembunyi di dalam gua sewaktu hijrah ke Madinah,
   datang dua ekor merpati bertelur di mulut gua di samping
   sebatang pohon yang tumbuh, lalu menutupi pintu masuk gua.
   
   Kisah ini tidak tercantum dalam hadis shahih, hasan maupun
   dhaif.
   
   Adapun pembuatan sarang laba-laba di gua, maka terdapat
   riwayat mengenai itu yang dinilai hasan oleh sebagian ulama
   dan dinilai lemah oleh sebagian lainnya. Pada lahirnya,
   Al-Qur'an menunjukkan bahwa Allah Ta'ala menolong Rasul-Nya
   ketika hijrah dengan pasukan yang tidak terlihat.
   
   Firman Allah swt.:
   
   "Maka Allah menurunkan ketenanganNya kepada (Muhammad) dan
   menolongnya dengan pasukan yang tidak dapat kamu lihat."
   (Q.s. At-Taubah: 40).
   
   Laba-laba dan merpati adalah pasukan yang terlihat dan tiada
   keraguan bahwa pertolongan dengan pasukan yang tidak
   terlihat dan tidak tersentuh lebih menunjukkan kekuasaan
   Ilahi dan kelemahan manusia. Peristiwa-peristiwa luar biasa
   ini tersiar diantara mayoritas Muslimin disebabkan adanya
   puji-pujian Nabawi dari para ulama periode belakangan,
   khususnya "Burdah" oleh Al-Bushiri vang mengatakan:
 
      Mereka mengira merpati tidak bertelur dan
      aba-laba tidak bersarang
      untuk melindungi sebaik-baik mahluk
      Perlindungan.Allah sudah mencukupi
      tanpa baju besi berlapis maupun
      benteng yang tinggi.
   
   Inilah sikap kami terhadap  peristiwa-peristiwa  luar  biasa
   dan  mukjizat-mukjizat  Nabawi  yang dinisbatkan kepada Nabi
   saw.
 
Wabillaahit Taufiq. 

APAKAH NABI SAW MAKHLUK ALLAH YANG PERTAMA?

Pertanyaan:

Benarkah bahwa Nabi Muhammad saw. makhluk Allah yang pertama
dan bahwa beliau diciptakan dari cahaya?

Kami  mengharapkan  pendapat  yang disertai dalil-dalil dari
Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Jawab:

Telah diketahui  bahwa  hadis-hadis  yang  menyatakan  bahwa
makhluk  pertama  adalah  itu  atau  ini ... dan seterusnya,
tidak satu pun yang shahih, sebagaimana ditetapkan oleh para
ulama Sunnah.

Oleh  karena itu, kami dapatkan sebagian bertentangan dengan
sebagian  lainnya.  Sebuah  hadis  mengatakan,  "Bahwa  yang
pertama kali diciptakan oleh Allah adalah pena."

Hadis  lainnya  mengatakan,  "Yang  pertama  kali diciptakan
Allah adalah akal." Telah tersiar di antara orang awam  dari
kisah-kisah   maulid   yang   sering   dibaca   bahwa  Allah
menggenggam  cahaya-Nya,  lalu  berfirman,  "Jadilah  engkau
Muhammad."   Maka   ia  adalah  makhluk  yang  pertama  kali
diciptakan Allah, dan dari situ diciptakan langit, bumi  dan
seterusnya.

Dari itu tersiar kalimat:

"Shalawat   dan   salam  bagimu  wahai  makhluk  Allah  yang
pertama," hingga kalimat itu  dikaitkan  dengan  adzan  yang
disyariatkan, seakan-akan bagian darinya.

Perkataan itu tidak sah riwayatnya dan tidak dibenarkan oleh
akal,  tidak  akan   mengangkat  agama,   dan   tidak   pula
bermanfaat bagi perkembangan dari peradaban dunia.

Keawalan  Nabi  Muhammad  saw.  sebagai  makhluk Allah tidak
terbukti,  seandainya  terbukti  tidaklah  berpengaruh  pada
keutamaan  dan  kedudukannya  di  sisi  Allah. Tatkala Allah
Ta'ala  memujinya  dalam  Kitab-Nya,  maka  Allah  memujinya
dengan alasan keutamaaan yang sebenarnya. Allah berfirman:

"Dan   sesungguhnya  kamu  benar-benar  orang  yang  berbudi
pekerti agung" (Q.s. Al-Qalam: 4).

Hal itu yang terbukti dan ditetapkan secara mutawatir.  Nabi
kita  Muhammad  saw.  adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muththalib Al-Hasyimi Al-Quraisy  yang  dilahirkan  lantaran
kedua orang tuanya, Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah
binti Wahb, di Mekkah, pada tahun Gajah.  Beliau  dilahirkan
scbagaimana  halnya manusia biasa dan dibesarkan sebagaimana
manusia dibesarkan. Beliau diutus sebagaimana para Nabi  dan
Rasul  sebelumnya  diutus,  dan  bukan Rasul yang pertama di
antara Rasul-rasul.

Beliau  hidup   dalam   waktu   terbatas,   kemudian   Allah
memanggilnya kembali kepada-Nya:

"Sesungguhnya  kamu  akan  mati dan sesungguhnya mereka akan
mati (pula)." (Q.s. Az-Zumar: 30).

Beliau akan ditanya pada hari Kiamat, sebagaimana para Rasul
ditanya:

"(Ingatlah)  hari  di  waktu  Allah mengumpulkan para Rasul,
lalu Allah bertanya (kepada  mereka),  'Apa  jawaban  kaummu
terhadap   (seruan)mu?'  Para  Rasul  menjawab,  'Tidak  ada
pengetahuan kami (tentang itu) sesungguhnya Engkau-lah  yang
mengetahui perkara yang gaib'." (Q.s. Al-Maidah: 109).

Al-Qur'an  telah  menegaskan  kemanusiaan  Muhammad  saw. di
berbagai tempat dan Allah memerintahkan menyampaikan hal itu
kepada orang-orang dalam berbagai surat, antara lain:

"Katakanlah,  'Sesungguhnya  aku  ini  hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukann kepadaku, Bahwa  sesungguhnya
Tuhan  kamu itu adalah Tuhan yang Esa ...'." (Q.s. Al-Kahfi:
110).

"Katakanlah, 'Maha Suci  Tuhanku,  bukankah  aku  ini  hanya
seorang manusia yang menjadi Rasul?'" (Q.s. Al-Isra': 93).

Ayat di atas menunjukkan bahwa beliau adalah manusia seperti
manusia-manusia  lainnya,   tidak   memiliki   keistimewaan,
kecuali dengan wahyu dan risalah.

Nabi saw. menegaskan makna kemanusiaannya dan penghambaannya
terhadap Allah,  dan  memperingatkan  agar  tidak  mengikuti
kebiasaan-kebiasaan  dari  orang-orang  sebelum  kita, yaitu
penganut  agama-agama  terdahulu  dalam   hal   memuja   dan
menyanjung:

"Janganlah   kamu  sekalian  menyanjungku  sebagaimana  kaum
Nasrani menyanjung Isa putra Maryam. sesungguhnya aku adalah
hamba Allah dan Rasul-Nya." (H.r. Bukhari).

Nabi  yang  agung ini adalah manusia seperti manusia lainnya
dan  tidak  diciptakan  dari  cahaya  maupun  emas,   tetapi
diciptakan  dari  air  yang  memancar dan keluar dari tulang
sulbi  laki-laki  dan  tulang  rusuk  wanita  sebagai  bahan
penciptaan Muhammad saw.

Adapun dari segi risalah dan hidayat-Nya, maka beliau adalah
cahaya  Allah  dan  pelita  yang  amat   terang.   Al-Qur'an
menyatakan hal itu dan berbicara kepada Nabi saw.:

"Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi
dan pembawa kabar gembira serta  pemberi  peringatan.  Untuk
menjadi  penyeru  pada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk
menjadi cahaya yang menerangi."(Q.s. Al-Ahzab: 45-6).

Allah swt. berfirman yang ditujukan kepada Ahlulkitab:

"... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya  dari  Allah,
dan Kitab yang menerangkan." (Q.s. Al-Maidah: 15).

"Cahaya"  dalam  ayat itu adalah Rasulullah saw, sebagaimana
Al-Qur'an yang diturunkan kepada beliau adalah juga cahaya.

 Allah swt. berfirman:

"Maka berimanlah  kamu  kepada  Allah  dan  Rasul-Nya  serta
cahanya   (Al-Qur  an)  yang  telah  Kami  turunkan."  (Q.s.
At-Taghaabun: 8).

"...  dan  telah  Kami  turunkan  kepada  kamu  cahaya  yang
terangbenderang." (Q.s. An-Nisa': 174).

Allah telah menentukan tugasnya dengan firman-Nya:

"...  Supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya terang-benderang..." (Q.s. Ibrahim: 1).

Doa Nabi saw.:

"Ya Allah, berilah aku cahaya di dalam  hatiku  berilah  aku
cahaya  dalam  pendengaranku  dan  berilah  aku cahaya dalam
penglihatanku berilah aku cahaya dalam rambutku berilah  aku
cahaya   di  sebelah  kanan  dan  kiriku  di  depan  dan  di
belakangku." (H.r. Muttafaq Alaih)

Maka, beliau adalah Nabi pembawa cahaya  dan  Rasul  pembawa
hidayat.  Semoga  Allah  menjadikan kita sebagai orang-orang
yang mengikuti petunjuk cahaya dan Sunnahnya. Amin.

SIAPAKAH DZULQARNAIN ITU?

Pertanyaan:
 
Didalam Al-Qur'an diterangkan masalah Dzulqarnain, yaitu:
 
"Hingga  apabila  dia  telah  sampai  pada  tempat  terbenam
matahari,  dia  pun  melihat  matahari terbenam kedalam laut
yang berlumpur hitam, dan dia mendapati disitu (di laut itu)
segolongan ummat. Kami berkata, 'Hai Dzulqarnain! Kamu boleh
menyiksa  mereka  dan  boleh   berbuat   kebaikan   terhadap
mereka'." (Q.s. Al-Kahfi: 86).
 
Apakah  yang  dimaksud  dengan  matahari yang terbenam dalam
mata air yang hitam?
 
Siapakah orang-orang yang didapati oleh Dzulkarnain?
 
Jawab:
 
Kisah Dzulqarnain telah  diterangkan  dalam  Al-Qur'an  pada
Surat  Al-Kahfi, tetapi Al-Qur'an tidak menerangkan siapakah
sebenarnya   Dzulqarnain,    siapakah    orang-orang    yang
didapatinya,   dan  dimana  tempat  terbenam  dan  terbitnya
matahari? Semua itu tidak diterangkan dalam Al-Qur'an secara
rinci  dan  jelas,  baik mengenai nama maupun lokasinya, hal
ini mengandung hikmah dan hanya Allahlah yang mengetahui.
 
Tujuan dari kisah yang ada dalam Al-Qur'an, baik pada  Surat
Al-Kahfi  maupun lainnya, bukan sekadar memberi tahu hal-hal
yang berkaitan dengan sejarah dan kejadiannya, tetapi tujuan
utamanya  ialah  sebagai  contoh dan pelajaran bagi manusia.
Sebagaimana Allah swt. dalam firman-Nya:
 
"Sesungguhnyapada kisah-kisah mereka itu terdapat  pelajaran
bagi orang-orang yang berakal." (Q.s.Yusuf: 111)
 
Kisah Dzulqarnain, mengandung contoh seorang raja saleh yang
diberi oleh Allah kekuasaan di bumi, yang meliputi Timur dan
Barat.   Semua  manusia  dan  penguasa  negara  tunduk  atas
kekuasaannya, dia tetap pada  pendiriannya  sebagai  seorang
yang  saleh,  taat  dan bertakwa. Sebagaimana diterangkan di
bawah ini:
 
"Berkata Dzulqarnain, 'Adapun orang  yang  menganiaya,  maka
kelak  Kami  akan  mengazabnya,  kemudian  dia  dikembalikan
kepada Tuhannya, lalu Tuhan  mengazabnya  dengan  azab  yang
tiada taranya'." (Q.s. Al-Kahfi: 87).
 
"Adapun  orang  yang  beriman  dan orang beramal saleh, maka
baginya pahala  yang  terbaik  sebagai  balasan  ..."  (Q.s.
Al-Kahfi: 88).
 
Jadi,   apa   yang  diterangkan  dalam  Al-Qur'an,  hanyalah
mengenai perginya Dzulqarnain ke arah terbenamnya  matahari,
sehingga  berada  pada  tempat  yang  paling  jauh.  Di situ
diterangkan bahwa dia  telah  melihat  matahari  seakan-akan
terbenam di mata air tersebut, saat terbenamnya. Sebenarnya,
matahari itu tidak  terbenam  di  laut,  tetapi  hanya  bagi
penglihatan  kita  saja  yang  seakan  tampak  matahari  itu
terbenam  (jatuh)  ke  laut.  Padahal  matahari  itu  terbit
menerangi wilayah (bangsa) lain.
 
Maksud dari ayat tersebut, bahwa Dzulqarnain telah sampai ke
tempat paling jauh, seperti halnya matahari terbenam di mata
air  yang kotor (berlumpur) , yang disebutkan diatas. Begitu
juga maksud dari ayat tersebut, Dzulqarnain telah sampai  di
tempat  terjauh, yaitu terbitnya matahari dan sampai bertemu
pula dengan kaum Ya'juj dan Ma'juj.
 
Dalam keadaan demikian, Dzulqarnain tetap pada  pendiriannya
semula,  yaitu  sebagai  seorang  raja  yang  adil  dan kuat
imannya, yang tidak  dapat  dipengaruhi  oleh  hal-hal  yang
dikuasai   dan  kekuasaannya  diperkuatnya  dengan  misalnya
membangun  bendungan   yang   besar,   yang   terdiri   dari
bahan-bahan  besi dan sebagainya. Di dunia ini beliau selalu
berkata dan mengakui, bahwa segala yang diperolehnya sebagai
karunia dari Allah dan rahmat-Nya.
 
Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an:
 
"Dzulqarnain  berkata,  'Ini (bendungan atau benteng) adalah
suatu rahmat dari Tuhanku, maka  apabila  sudah  tiba  janji
Tuhanku,  Dia  pun  menjadikannya  rata  dengan bumi (hancur
lebur); dan janji Tuhanku itu adalah benar." (Q.s. Al-Kahfi:
98).
 
Tujuan  utama  dari  Al-Qur'an  dalam  uraian  di atas ialah
sebagai  contoh,  dimana  seorang  raja  saleh  yang  diberi
kekuasaan  yang  besar  pada kesempatan yang luar biasa dan,
kekuasaannya mencakup ke seluruh penjuru  dunia  di  sekitar
terbit  dan  terbenamnya  matahari.  Dalam keadaan demikian,
Dzulqarnain tetap dalam  kesalehan  dan  istiqamahnya  tidak
berubah.
 
Firman Allah swt.:
 
"Sesungguhnya  Kami telah memberi kekuasaan di bumi dan Kami
telah  memberikan  kepadanya  (Dzulqarnain)   jalan   (untuk
mencapai) segala sesuatu." (Q.s. Al-Kahfi: 84).
 
Mengenai  rincian  dari  masalah  tersebut tidak diterangkan
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, misalnya  waktu,  tempat  dan
kaumnya,  siapa  sebenarnya  mereka  itu.  Karena  tidak ada
manfaatnya, maka sebaiknya kami berhenti pada  hal-hal  yang
diterangkan   saja.   Jika  bermanfaat,  tentu  hal-hal  itu
diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.

DALAM PERTEMPURAN (PEPERANGAN) TIDAK ADA SAHABAT YANG DIKAFIRKAN

Pertanyaan:
 
Dalam pertempuran sahabat, apakah ada yang dikafirkan?
 
Jawab:
 
Di dalam peperangan (Shiffin  atau  Al-Jamal)  Ali  bin  Abi
Thalib  r.a.  tidak  menganggap  orang-orang yang melawannya
telah keluar dari Islam dan kafir,  tetapi  hanya  dikatakan
mereka  itu  Bughah  (berbuat  kebatilan). Sebagaimana sabda
Nabi saw. kepada seorang sahabat yang bernama  Ammar,  sabda
beliau,   "Kamu   akan   dibunuh  oleh  golongan  Al-Bughah,
orang-orang  yang  zalim,  atau  orang-orang  yang  berontak
(tidak taat kepada penguasa)."
 
Arti  kufur  dalam  hadis  atau  As-Sunnah bukan keluar dari
Islam dan bukan menjadi  kafir,  sebagaimana  yang  dipahami
oleh sebagian orang-orang pada saat ini yang tidak tepat.
 
Dalam uraiannya, Nabi saw. telah bersabda:
 
"Barangsiapa  melakukan  sumpah  selain  kepada  Allah, maka
orang itu kafir atau musyrik."
 
Nabi saw. juga bersabda:
 
"Barangsiapa yang  mendatangi  (berobat)  kepada  dukun  dan
percaya  pada  apa  yang  dikatakannya,  maka dia kafir atau
mengingkari apa yang dibawa oleh Rasul."
 
Hal-hal yang demikian itu selalu dilakukan oleh  orang-orang
Islam,  seakan-akan  menjadi tradisi mengunjungi dukun-dukun
dan bersumpah atas nama orang, tidak atas nama Allah, tetapi
tidak  ada  satu  pun  di  antara ulama yang memvonis mereka
kafir.
 
Jadi, kata "kufur" itu dapat diartikan  mengingkari  nikmat,
tidak   bersyukur   kepada   Allah,  tidak  kenal  budi  dan
sebagainya. Dengan kata lain, "kufur"  mempunyai  arti  yang
luas dan berbeda-beda.

SIAPAKAH YANG LAYAK DISEBUT KAFIR?

Pertanyaan:
 
Siapakah sebenarnya yang layak dihukumi (disebut) kafir?
 
Jawab:
 
Yang  layak  disebut   kafir   ialah   orang   yang   dengan
terang-terangan  tanpa  malu  menentang  dan  memusuhi agama
Islam, menganggap dirinya kafir dan bangga akan perbuatannya
yang terkutuk.
 
Bukan  orang-orang Islam yang tetap mengakui agamanya secara
lahir, walaupun dalamnya  buruk  dan  imannya  lemah,  tidak
konsisten  antara  perbuatan  dan ucapannya. Orang itu dalam
Islam dinamakan "munafik" hukumnya.
 
Di dunia dia tetap dinamakan (termasuk) orang Islam,  tetapi
di akhirat tempatnya di neraka pada tingkat yang terbawah.
 
Di  bawah  ini  kami  kemukakan  golongan (orang-orang) yang
layak disebut kafir tanpa diragukan lagi, yaitu:
 
1. Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu
   falsafah dan undang-undang, yang bertentangan dengan syariat
   dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama
   agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu
   bagi masyarakat.
   
2. Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan
   dirinya sekular, yang menolak secara terang-terangan pada
   agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan
   mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum
   Allah.
   
3. Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan
   Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan
   dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.
 
Al-Imam Ghazali pernah berkata:
 
"Pada lahirnya mereka  itu  bersifat  menolak  dan  batinnya
kufur."
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:
 
"Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam."
 
Seperti halnya mereka yang baru muncul di  masa  itu,  yaitu
yang  bernama  Bahaiah,  agama  baru  yang  berdiri sendiri.
Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah,
yang  beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi
Muhammad saw.

BAHAYA MENGAFIRKAN SESEORANG

Pertanyaan:
 
Bagaimana hukumnya jika  seorang  Muslim  beranggapan  bahwa
orang  muslim  lainnya  (saudara  sesama  Muslim) itu adalah
kafir?
 
Jawab:
 
Setiap orang yang berikrar dan  mengucapkan  Syahadat  telah
dianggap Muslim. Hidup (jiwa) dan hartanya terlindung. Dalam
hal ini tidak diharuskan (tidak perlu) meneliti batinnya.
 
Menghukumi (menganggap) seseorang bahwa dia kafir,  hukumnya
amat  berbahaya  dan  akibat  yang akan ditimbulkannya lebih
berbahaya lagi, di antaranya ialah:
 
1. Bagi istrinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang
   kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita Muslimat
   tidak sah menjadi istri orang kafir.
   
2. Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam dibawah kekuasaannya,
   karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak
   tersebut adalah amanat dan tanggungjawab orangtua. Jika
   orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab ummat Islam.
   
3. Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat
   atau orang lain yang harus diterimanya, misalnya ditolong,
   dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai
   pelajaran.
   
4. Dia harus dihadapkan kemuka hakim, agar djatuhkan hukuman
   baginya, karena telah murtad.
   
5. Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan,
   disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak
   pula dapat mewarisi.
   
6. Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat
   laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia
   akan kekal dalam neraka.
 
Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan  bagi  orang  yang
menamakan  atau  menganggap golongan tertentu atau seseorang
sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya.
Maka, sekali lagi amat berat dan berbahaya mengafirkan orang
yang bukan (belum jelas) kekafirannya.

TIADA MANUSIA YANG SEMPURNA IMANNYA

Pertanyaan:
 
Apakah ada manusia yang sempurna?
 
Jawab:
 
Tiada manusia yang sempurna, karena setiap  orang  mempunyai
kelemahan. Seseorang yang beriman, tentu mempunyai kesalahan
dan memiliki sifat buruk yang sukar dihilangkan. Tiada orang
Mukmin yang murni atau sempurna.
 
Pandangan orang jarang ditujukan pada hal-hal yang berada di
pertengahan antara dua hal yang berdekatan.  Bagi  seseorang
sesuatu  itu  warnanya  putih saja, sebagian yang lain hitam
saja, mereka lupa adanya warna yang lain,  tidak  putih  dan
tidak pula hitam.
 
Nabi  saw.  pernah  bersabda  kepada  Abu  Dzar r.a., beliau
bersabda,  "Engkau  seorang  yang  masih  ada  padamu  sifat
Jahiliyah."  Abu  Dzar  adalah  seorang  sahabat yang utama,
termasuk dari orang-orang pertama yang beriman dan berjihad,
akan tetapi masih ada kekurangannya.
 
Juga didalam Shahih Bukhari diterangkan oleh Nabi saw.:
 
"Barangsiapa yang meninggal bukan karena melakukan jihad dan
tidak dirasakannya (tidak ingin) dalam jiwanya  maksud  akan
berjihad, maka dia mati dalam keadaan sedikit ada nifaknya."
 
Abdullah  bin  Mubarak  meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
r.a. yang mengatakan sebagai berikut:
 
"Seorang Mukmin itu permulaannya tampak sedikit putih  dalam
kalbunya;   setiap   kali  iman  bertambah,  maka  bertambah
putihlah  kalbu  itu.  Begitu  seterusnya,  hingga  kalbunya
menjadi putih semua.
 
Begitu juga kemunafikan, pertama ada tanda-tanda hitam dalam
kalbunya; dan setiap melakukan kemunafikan,  maka  bertambah
pula hitamnya, sampai hatinya menjadi hitam semua.
 
Demi  Allah,  jika  dibuka  hati  seorang Mukmin, maka tentu
tampak putih sekali; dan jika dibuka hati orang kafir,  maka
tentu tampak hitam sekali."
 
Ini berarti seseorang tidak dapat sekaligus menjadi sempurna
imannya atau menjadi munafik, tetapi kedua hal itu bertahap,
yakni sedikit demi sedikit.
 

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN SESEORANG

Pertanyaan:
 
Apa yang menyebabkan Islam seseorang menjadi batal?
 
Jawab:
 
Setiap  manusia,  apabila  telah  mengucapkan  dua   kalimat
Syahadat,  maka  dia  menjadi orang Islam. Baginya wajib dan
berlaku hukum-hukum Islam, yaitu beriman akan  keadilan  dan
kesucian Islam. Wajib baginya menyerah dan mengamalkan hukum
Islam  yang  jelas,  yang  ditetapkan  oleh  Al-Qur'an   dan
As-Sunnah.
 
Tidak   ada   pilihan  baginya  menerima  atau  meninggalkan
sebagian.  Dia  harus  menyerah  pada   semua   hukum   yang
dihalalkan  dan  yang  diharamkan, sebagaimana arti (maksud)
dari ayat di bawah ini:
 
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki  yang  Mukmin  dan  tidak
(pula)  bagi wanita yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan sesuatu ketetapan,  akan  ada  bagi  mereka
pilihan   (yang  lain)  tentang  urusan  mereka  ..."  (Q.s.
Al-Ahzab: 36) .
 
Perlu diketahui bahwa ada diantara  hukum-hukum  Islam  yang
sudah  jelas  menjadi  kewajiban-kewajiban,  atau yang sudah
jelas diharamkan  (dilarang),  dan  hal  itu  sudah  menjadi
ketetapan  yang  tidak  diragukan lagi, yang telah diketahui
oleh ummat Islam pada umumnya. Yang demikian  itu  dinamakan
oleh para ulama:
 
"Hukum-hukum agama yang sudah jelas diketahui."
 
Misalnya,  kewajiban salat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal
itu  termasuk  rukun-rukun  Islam.  Ada   yang   diharamkan,
misalnya,  membunuh,  zina, melakukan riba, minum khamar dan
sebagainya.
 
Hal itu termasuk dalam dosa besar. Begitu  juga  hukum-hukum
pernikahan,  talak,  waris  dan  qishash, semua itu termasuk
perkara yang tidak diragukan lagi hukumnya.
 
Barangsiapa  yang  mengingkari  sesuatu   dari   hukum-hukum
tersebut,  menganggap  ringan  atau  mengolok-olok, maka dia
menjadi kafir dan murtad. Sebab, hukum-hukum tersebut  telah
diterangkan dengan jelas oleh Al-Qur'an dan dikuatkan dengan
hadis-hadis  Nabi  saw.  yang  shahih  atau  mutawatir,  dan
menjadi  ijma'  oleh  ummat  Muhammad  saw. dari generasi ke
generasi.  Maka,  barangsiapa  yang  mendustakan  hal   ini,
berarti mendustakan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
 
Mendustakan  (mengingkari)  hal-hal tersebut dianggap kufur,
kecuali bagi orang-orang yang baru masuk Islam (muallaf) dan
jauh  dari  sumber informasi. Misalnya berdiam di hutan atau
jauh dari kota dan masyarakat kaum Muslimin.
 
Setelah mengetahui ajaran agama Islam,  maka  berlaku  hukum
baginya.

ORANG YANG MENGUCAPKAN SYAHADAT, PASTI MASUK SURGA

Pertanyaan:
 
Bagaimana  hukumnya  orang  yang  semasa   hidupnya   selalu
mengerjakan maksiat, akan tetapi pada akhir hayatnya (ketika
sakaratul maut) dia mengucapkan dua kalimat Syahadat?
 
Jawab:
 
Barangsiapa yang meninggal dalam  keadaan  bertauhid,  yaitu
sebelum  menghembuskan  nafasnya  yang terakhir dia berikrar
dan mengucapkan dua kalimat Syahadat, maka dia berhak berada
di sisi Allah dan masuk surgaNya.
 
Orang  tersebut sudah dapat dipastikan oleh Allah akan masuk
surga, walaupun masuknya terakhir (tidak bersama-sama  orang
yang  masuk  pertama),  karena dia diazab terlebih dahulu di
neraka  disebabkan   kemaksiatan   dan   dosa-dosanya   yang
dikerjakan,  yang  belum bertobat dan tidak diampuni. Tetapi
dia juga tidak kekal di neraka, karena didalam hatinya masih
ada   sebutir   iman.   Adapun   dalil-dalilnya  sebagaimana
diterangkan dalam hadis Shahih Bukhari  dan  Shahih  Muslim,
yaitu:
 
Dari  Abu  Dzar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Barangsiapa mengucapkan, 'Laa ilaaha  illallaah,'
kemudian meninggal, maka pasti masuk surga."
 
Dari Anas r.a., bahwa Nabi saw. telah bersabda, "Akan keluar
dari  neraka  bagi  orang  yang  mengucapkan,  'Laa   ilaaha
illallaah,'  walaupun  hanya  sebesar  satu  butir  iman  di
hatinya."
 
Dari Abu Dzar pula, dia  telah  berkata  bahwa  sesungguhnya
Nabi  saw  telah  bersabda,  "Telah datang kepadaku malaikat
Jibril dan memberi kabar gembira kepadaku, bahwa barangsiapa
yang   meninggal   diantara   umatmu   dalam  keadaan  tanpa
mempersekutukan Allah, maka pasti akan masuk surga, walaupun
dia  berbuat  zina dan mencuri." Nabi saw. mengulangi sampai
dua kali.
 
Banyak hadis yang menunjukkan bahwa kalimat Syahadat memberi
hak untuk  masuk surga dan terlindung dari neraka bagi  yang
mengucapkannya (mengucap Laa  ilaaha  illallaah).  Maksudnya
ialah,  meskipun  dia  banyak  berbuat dosa, dia tetap masuk
surga, walaupun terakhir.
 
Sedangkan yang dimaksud terlindung dari neraka  ialah  tidak
selama-lamanya  di  dalam  neraka,  tetapi  diazab  terlebih
dahulu karena perbuatan maksiatnya.

SYARAT UTAMA BAGI ORANG YANG MASUK ISLAM

Pertanyaan:
 
Apa syarat utama bagi orang yang baru masuk Islam?
 
Jawab:
 
Syarat  utama  bagi  orang  yang  baru  masuk  Islam   ialah
mengucapkan  dua  kalimat  Syahadat.  Yaitu,  "Asyhadu allaa
ilaaha ilallaah, wa asyhadu  anna  Muhammadar  Rasuulullah."
Barangsiapa   yang   mengucapkan   dan  mengikrarkan  dengan
lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Dan berlaku  baginya
hukum-hukum  Islam,  walaupun dalam hatinya dia mengingkari.
Karena  kita  diperintahkan   untuk   memberlakukan   secara
lahirnya. Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil
dari hal itu adalah ketika Nabi  saw.  menerima  orang-orang
yang  hendak  masuk  Islam,  beliau  hanya mewajibkan mereka
mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw.  tidak  menunggu
hingga datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).
 
Di  saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang
sedang   mengucapkan,   "Laa   ilaaha    illallaah,"    Nabi
menyalahkannya  dengan  sabdanya, "Engkau bunuh dia, setelah
dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah." Usamah lalu  berkata,
"Dia  mengucapkan  Laa  ilaaha illallaah karena takut mati."
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Apakah  kamu  mengetahui
isi hatinya?"
 
Dalam  Musnad  Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif
masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah
saw,  yaitu  supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan
jihad. Lalu  Nabi  saw.  bersabda,  "Mereka  akan  melakukan
(mengerjakan) sedekah dan jihad."

Ancaman Islam

Al-Quran dan Muhammad memberikan sumber dan  bimbingan  suci
bagi  pembangunan  agama  baik  di  masa lalu maupun di masa
sekarang. Kalau  para  pengikut  Muhammad  berpaling  kepada
Muhammad   pada  masa  hidupnya,  pada  masa  sekarang  pun,
orang-orang  Muslim  yang  taat  di  seluruh  penjuru  dunia
berpegang   pada   wahyu   dan   ajaran-ajaran  Rasul  dalam
mengarahkan hidup mereka.
 
Dilahirkan di Arab (kasarnya,  sekarang,  Arab  Saudi)  pada
tahun  570 Masehi, Muhammad ibn Abdullah (570-632) mempunyai
pengalaman agamais yang sangat dalam pada usia  empat  puluh
tahun,  yang  mengubah  dirinya  dan  mewujudkan  umat  yang
kira-kira empat belas tahun kemudian menjadi agama  terbesar
kedua   di  dunia,  dan  mempunyai  pemeluk  yang  berjumlah
kira-kira satu milyar orang. Dibandingkan dengan  kebanyakan
nabi   atau   pendiri  tradisi  agama  besar  lainnya,  yang
kehidupannya tak terekam dalam sejarah,  kehidupan  Muhammad
saw.,  Al-Quran dan hadis Nabi banyak dicatat dalam sejarah,
dan sebuah biografi awal yang ditulis oleh Ibn Ishaq  (wafat
sekitar  768).[1] Bagaimanapun juga  kita mengetahui sedikit
tentang kehidupan Muhammad. Ia yatim sejak masa kanak-kanak,
dan   dibesarkan   oleh  sanak  keluarganya.  Sejarah  Islam
menceritakan bahwa ketika berusia 25 tahun,  beliau  menikah
dengan  seorang  janda  kaya.  Khadijah adalah pemilik suatu
kafilah yang dikelola Muhammad. Ia berusia lima belas  tahun
lebih  tua daripada Muhammad. Karena cenderung kepada agama,
Muhammad sering menyepi di suatu  tempat  yang  sunyi  untuk
berpikir  dan  merenung.  Pada tahun 610 di suatu malam yang
diperingati  oleh  kaum  Muslim  sebagai   Malam   Kemuliaan
(Laylatul-Qadar), Muhammad pemimpin kafilah menjadi Muhammad
Rasul Allah, yang menerima wahyu  pertama  melalui  Malaikat
Jibril:   "Bacalah,   dengan   Nama   Tuhanmu   yang   telah
menciptakan,  menciptakan  manusia  dari   segumpal   darah.
Bacalah!  Tuhanmu  Yang  Maha  Pemurah! Yang mengajar dengan
Kalam, mengajar manusia apa yang  tidak  diketahuinya!"  (QS
96:  1-5).  Wahyu  yang turun antara tahun 610 sampai dengan
632, dikumpulkan dan ditulis kembali  setelah  ia  meninggal
dunia dan menjadi Kitab Suci umat Islam, Al-Quran.
 
Sejarah  Islam menggambarkan seorang Rasul yang pada mulanya
bingung dan cemas yang, seperti rasul-rasul dalam kitab suci
Yahudi, bingung karena apa yang dialaminya, cemas akan sikap
orang-orang  lain  yang  akan  menerima  ajarannya.  Seperti
ditunjukkan  dalam  sejarah nabi, orang-orang yang dikatakan
sebagai pemberi peringatan atau utusan Tuhan tidak mengalami
kehidupan   yang  menyenangkan.  Para  rasul  yang  mengutuk
penyelewengan  dan   kekafiran   masyarakatnya,   dan   yang
menentang   kebudayaan   yang  ada,  seringkali  mendapatkan
ejekan,  penolakan  dan  pengejaran.  Muhammad   pun   tidak
terkecuali.
 
Selama  sepuluh  tahun, ia berdakwah menyampaikan misi agama
dan  perbaikan  sosial  di  Makkah.  Muhammad  dan  Al-Quran
menyatakan keesaan Tuhan, menolak politeisme yang terjadi di
Arab, dan  melarang  ketidakadilan  sosial.  Muhammad  tidak
mengatakan   bahwa   ia  membawa  agama  baru  tetapi  hanya
memurnikan dan mengembalikan agama yang dibawa Nabi Ibrahim.
Misinya  adalah memperbaiki dan meluruskan kembali umat yang
menyeleweng. Seperti  Amos  dan  Jeremiah  sebelum  dirinya,
Muhammad   adalah   utusan  Allah  yang  mengutuk  kekafiran
masyarakatnya dan mengimbau agar  orang  memohon  ampun  dan
patuh   kepada   Allah,   karena   Hari   Akhir  itu  dekat:
"Katatanlah: 'Hai manusia, sesungguhnya aku  adalah  seorang
memberi,  peringatan  yang nyata kepadamu.' Maka orang-orang
yang beriman dan  mengerjakan  amal-amal  yang  saleh,  bagi
mereka ampunan dan rezeki yang mulia." (QS 22:49-50).
Bersambung Di Bag 2

Ancaman Islam Bg 2

Muhammad  menyeru  kepada  masyarakat Makkah untuk menyembah
Tuhan   Yang   Satu    dan    membuang    kepercayaan    dan
perbuatan-perbuatan  yang  bersilat politeistis. Negeri Arab
tak asing terhadap monoteisme. Namun, ketika ada  masyarakat
Yahudi  atau  Kristen yang bercampur dengan orang-orang Arab
asli   yang   menganut   monoteisme   (orang-orang   Hanif),
serangkaian   panjang  Tuhan  mendominasi  masyarakat  Arab.
Muhammad  mengajak  orang  kembali  kepada  agama   Ibrahim:
percaya  kepada  Tuhan  Yang  Esa,  Yang  Menciptakan,  Yang
Memberi rezeki dan Yang Mengadili  seluruh  dunia.  Muhammad
dengan   Al-Qurannya   mengajarkan   bahwa   manusia  diberi
perhitungan dan mereka semua akan diadili  dan  akhirnya  di
Hari Pengadilan diberi pahala atau hukuman sesuai dengan apa
yang mereka perbuat. Panggilan Islam adalah panggilan  untuk
berpaling  dari  jalan  kekafiran  dan kembali ke jalan yang
benar (Syari'ah) atau Hukum Tuhan.  Kembali  ke  jalan  yang
benar  ini berarti menjadi anggota umat yang menyembah Tuhan
sebenarnya, Yang Maha Esa, yang  melaksanakan  kehendak-Nya,
yang menciptakan suatu umat bermoral benar.
 
Pesan  Al-Quran  bukan  hanya merupakan perintah agama saja,
tetapi  juga  merupakan  suatu  tantangan  terhadap  politik
sosial  yang  ada.  Makkah  bukan  hanya  pusat ibadah hati,
tetapi juga  merupakan  pusat  perdagangan,  yang  mengalami
perubahan dari masyarakat suku yang semi-Badui ke masyarakat
dagang urban. Al-Quran mengajarkan kepatuhan terhadap  Tuhan
dan  RasulNya,  persaudaraan  antar  sesama  umat,  berzakat
kepada  orang-orang  miskin  dan  berjuang  (jihad)  melawan
penindasan.    Al-Quran    mengutuk   eksploitasi   terhadap
orang-orang  miskin,  anak-anak  yatim  serta  kaum  wanita;
melarang   penyelewengan,  penipuan,  berbohong,  mengadakan
perjanjian  palsu  dalam  perdagangan,  menghambur-hamburkan
kekayaan  dan  bersikap  sombong.  Al-Quran juga menjanjikan
hukuman yang berat terhadap  perbuatan  memfitnah,  mencuri,
membunuh,  penggunaan racun, berjudi dan berzina. Pernyataan
Muhammad  bahwa  dirinya   nabi,   penentangannya   terhadap
ketidakadilan  dalam  masyarakat  Makkah,  dan  penegasannya
bahwa semua orang  yang  beriman  merupakan  satu  komunitas
universal,    meruntuhkan    wewenang    politik   kesukuan.
Penolakannya  terhadap  politeisme   benar-benar   mengancam
kepentingan  ekonomi penduduk Makkah yang mengontrol Ka'bah,
rumah suci yang menjadi tempat patung-patung sesembahan suku
dan   merupakan  tempat  dilakukannya  ibadah  haji  setahun
sekali, sumber prestise dan pendapatan keagamaan  masyarakat
Makkah.
 
Setelah  sepuluh tahun, Muhammad merasakan keberhasilan yang
terbatas.  Jika  diukur  dengan  standar  duniawi  ia  dapat
dikatakan  gagal.  Walaupun  dilindungi  oleh  pamannya yang
berpengaruh, Abu Thalib, dan oleh keluarganya, Bani  Hasyim,
ia  sendiri  kurang  berkuasa  dan berwibawa untuk mengatasi
penentangan luas dari kaum aristokrat Makkah, yang  dipimpin
oleh kaum Quraisy, golongan pedagang yang dominan di Makkah.
Pada tahun  619,  dengan  wafatnya  sang  paman  dan  istri,
Muhammad   kehilangan   pilar-pilar   yang   mendukung   dan
melindunginya, dan menjadi semakin  sendiri  dan  menderita.
Kelompok pengikutnya yang hanya sedikit jumlahnya, satu demi
satu  dibunuh  oleh  orang-orang  Makkah,  yang   menganggap
kerasulan  dan  pembaharuan  yang  dilakukan  oleh Muhammad,
dengan  kecaman-kecamannya  yang  tidak  langsung   terhadap
status  quo  politik  dan  sosial ekonomi, sebagai tantangan
terhadap  kepemimpinan  dan   kepentingan   mereka.   Dengan
alasan-alasan  inilah  ketika ia diundang oleh para pemimpin
di kota terdekat,  Madinah,  sebuah  kota  oasis  pertanian,
untuk bertindak sebagai pemimpin di sana, ia dan kelompoknya
segera  berhijrah  pada  tahun  622  dan  mendirikan  sebuah
masyarakat Islam (ummah) yang pertama di tempat itu.