Could 'Goldilocks' planet be just right for life?

 Subhanalloh ternyata masih ada plent lain selain bumi yang bisa di tempati kehidupan semua ini karena atas kekuasaan alloh tapi kita gak perlu heran juga soalnya yang Alloh mau pasti akan terjadi dan ini salah satu bukti bahwa Alloh itu kuasa dan Semu itu sudah di terangkan dan di firman di dalam Al-qur'an,

Para astronom mengatakan mereka telah untuk pertama kalinya melihat sebuah planet di luar kita sendiri dalam apa yang kadang-kadang disebut zona Goldilocks bagi kehidupan: Tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin. Juuuust benar.

Tidak terlalu jauh dari bintang, tidak terlalu dekat. Jadi bisa mengandung air cair. Planet itu sendiri tidak terlalu besar atau terlalu kecil untuk gravitasi, permukaan yang tepat dan suasana.

Hanya saja benar. Sama seperti Bumi.

"Ini benar-benar adalah planet Goldilocks pertama," kata co-penemu R. Paul Butler dari Carnegie Institution of Washington.

Planet baru duduk tepat di tengah-tengah apa yang astronom sebut sebagai zona layak huni, tidak seperti dari hampir 500 astronom telah menemukan planet lain di luar tata surya kita. Dan itu adalah di lingkungan galaksi kita, menunjukkan bahwa banyak dari lingkaran planet bintang-bintang lainnya seperti Bumi.

Menemukan sebuah planet yang berpotensi dapat mendukung kehidupan merupakan langkah besar menuju menjawab pertanyaan abadi: Apakah kita sendirian?

Para ilmuwan telah melompat pistol sebelum pada menyatakan bahwa planet di luar tata surya kita yang dihuni hanya untuk memiliki mereka berubah menjadi tidak begitu kondusif untuk hidup. Tapi satu hal ini begitu jelas di zona yang tepat bahwa lima astronom di luar kepada The Associated Press tampaknya menjadi hal yang nyata.

"Ini adalah yang pertama aku benar-benar senang," kata Penn State University Kasting Jim. Dia mengatakan planet ini adalah "kandidat cukup utama" untuk menyimpan kehidupan.

Kehidupan di planet lain tidak berarti E.T. Bahkan tunggal yang sederhana-sel bakteri atau setara dengan cetakan mandi akan mengguncang persepsi tentang keunikan kehidupan di Bumi.

Tapi ada masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang planet aneh. Ini adalah tentang tiga kali massa Bumi, sedikit lebih besar lebar dan lebih dekat dengan bintangnya - 14 juta mil jauhnya dibandingkan 93 juta. Ini sangat dekat dengan versi dari matahari yang mengorbit setiap 37 hari. Dan tidak berputar banyak, jadi satu sisi hampir selalu cerah, gelap lainnya.

Suhu bisa sepanas 160 derajat atau dingin 25 derajat di bawah nol, tapi di antara - di tanah matahari terbit konstan - itu akan "cuaca kemeja lengan," kata co-penemu Steven Vogt dari University of California di Santa Cruz.

Ini diketahui apakah air benar-benar ada di planet ini, dan apa jenis atmosfer yang dimilikinya. Tapi karena kondisi ideal untuk air cair, dan karena selalu ada tampaknya kehidupan di bumi di mana ada air, Vogt percaya "bahwa peluang bagi kehidupan di planet ini adalah 100 persen."

Temuan astronom 'sedang diterbitkan dalam Astrophysical Journal dan diumumkan oleh National Science Foundation pada hari Rabu.

Planet lingkaran sebuah bintang yang disebut Gliese 581. Ini tentang 120 triliun mil jauhnya, sehingga akan mengambil beberapa generasi sebuah pesawat ruang angkasa untuk sampai ke sana. Hal ini mungkin tampak seperti jarak jauh, tetapi dalam skema alam semesta yang luas, planet ini adalah "benar seperti di wajah kita, pintu kanan sebelah kami," kata Vogt dalam sebuah wawancara.

Yang dekat dan cara ditemukan begitu cepat dalam pencarian astronom 'untuk petunjuk planet para ilmuwan bahwa planet-planet seperti Bumi mungkin tidak begitu langka.

Vogt dan Butler berlari beberapa perhitungan, dengan faktor fudge raksasa dibangun pada, dan menduga bahwa sebanyak satu dari lima sampai 10 bintang di alam semesta ini memiliki planet yang berukuran Bumi dan di zona dihuni.

Dengan perkiraan 200 milyar bintang di alam semesta, yang berarti mungkin 40 miliar planet yang memiliki potensi untuk hidup, Vogt kata. Namun, Ohio State University Scott Gaudi memperingatkan bahwa terlalu spekulatif tentang bagaimana umum planet ini.

Vogt dan Butler menggunakan teleskop berbasis darat yang tepat untuk melacak gerakan bintang lebih dari 11 tahun dan menonton bergetar yang menunjukkan planet yang mengitari itu. Planet baru ditemukan sebenarnya adalah keenam ditemukan mengelilingi Gliese 581. Dua tampak menjanjikan untuk kelayakhunian untuk sementara, yang lain ternyata terlalu panas dan kelima mungkin terlalu dingin. Ini seperenam tanda kurung tepat di sweet spot di antara, Vogt kata.

Dengan bintang yang ditunjuk "a," planet keenam disebut Gliese 581g.

"Ini bukan nama yang sangat menarik dan itu adalah planet yang indah," kata Vogt. Tidak resmi, ia menamainya setelah istrinya: "Aku menyebutnya Zarmina Dunia."

Bintang Gliese 581 adalah kurcaci, sekitar sepertiga kekuatan dari matahari kita. Karena itu, tidak dapat dilihat tanpa teleskop dari Bumi, meskipun di konstelasi Libra, Vogt kata.

Tetapi jika anda berdiri pada planet baru, Anda dapat dengan mudah bisa melihat matahari kita, kata Butler.

Bintang Kurcaci rendah energi akan hidup selama miliaran tahun, lebih lama daripada matahari kita, katanya. Dan itu hanya meningkatkan kemungkinan hidup berkembang di planet ini, para penemu kata.

"Ini cukup sulit untuk menghentikan kehidupan setelah Anda memberikan kondisi yang tepat," kata Vogt.

NASA: http://www.nasa.gov/topics/universe/features/gliese_581_feature.html

Membuat Animasi Banner dengan Photoshop

Nah kali saya ingin membuat sesuatu yang baru, mungkin kawan-kawan bertanya-tanya kenapa sekarang kok berbeda postingannya..? ya. Saya ingin mencoba sesuatu hal yang baru dan ini sebelumnya jg g pernah terfikirkan olehku, tetapi saya ingin berusaha semoga bermanfaat untuk kawan- kawan ya..wah jika basa-basi terus kapan mulainya ya..hehehe ya sudah 
Kali ini saya akan menjelaskan langkah-langkah pembuatan banner dengan Photoshop,
kemudian kita jump di Image Ready

Langkah 1
Buat file baru di Photoshop dengan format RGB dan ukuran 503 x 81. Tambahkan backround
hitam dan teks “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA” (tanpa tanda petik) berwarna
putih dengan jenis huruf menyesuaikan (sesuai selera Anda).
Langkah 2
Tekan Shift+Ctrl+M untuk menuju ke Image Ready. Layar Image terbuka otomatis. Tiga
tampilan yang harus Anda siapkan, Canvas, Animation Properties dan Layers, seperti gambar
berikut.

Langkah 3
Gandakan Layer Text, melalui menu Layer Duplicate Layer


Langkah 4
Klik Duplicate Current frame, sehingga Anda memiliki 2 frame dalam Animation.

Langkah 5
Klik gambar mata pada Layers, sehingga tampilannya seperti berikut. Jangan lupa untuk
memilih frame 1 pada Animation. Atur waktunya menjadi 2 sec tiap framenya.

Langkah 6
Edit teksnya sehingga hanya tertinggal “sekali merdeka”.

Langkah 7
Atur posisi layernya, sehingga, hanya layer yang paling atas yang ditampilkan. Jangan lupa
untuk mengatur posisi frame pada Animation.
Langkah

Langkah 8
Edit teksnya sehingga hanya teks “tetap merdeka” yang muncul. Agar berbeda berilah warna
pada kedua teks tersebut. Atur posisi demikian. Ketika frame 1 diklik, maka yang diberi tanda
mata adalah pada layer sekali merdeka, sedangkan ketika frame 2 diklik (aktif), maka layer
tetap merdeka yang diberi tanda mata (visible).
Langkah 9
Jika sudah OK, tekan Shift+Ctrl+Alt+S (untuk Save Optimized As). Simpan dengan nama
banner dan file otomatis berformat GIF. Tekan Save jika sudah selesai. Klik dua kali untuk
melihat tampilan banner Anda.

 Selamat Mencoba semoga sucsess......!!!!!

Fenomena Adzan sampai di hari kiamat

Sungguh menakjubkan seperti suaranya, dan nyata bagi umat muslim di seluruh dunia. Jika melihat pada peta dunia, kita akan menemukan bahwa Indonesia terletak di bagian Timur dari bumi. Pulau-pulau besar di Indonesia adalah Jawa, Sumatera, Kalimantan atau Borneo, dan Sulawesi atau Selebes. Segera setelah waktu fajar tiba, pada bagian Timur dari Sulawesi, sekitar jam 05.30 waktu setempat, adzan Subuh berkumandang, ribuan muadzin mengumandangkan adzan. Proses ini berlanjut sampai ke bagian barat Indonesia.
Satu setengah jam kemudian setelah adzan di Sulawesi selesai, adzan mulai di Jakarta, kemudian Sumatera dan sebelum proses suara menyenangkan itu berakhir di Indonesia, adzan mulai berkumandang di Malaysia. Kemudian di Burma sekitar 1 jam setelah Jakarta mulai adzan, kemudian berlanjut ke Dakka, ibukota Bangladesh. Setelah Bangladesh, berlanjut ke bagian barat India, dari Calcuta sampai ke Bombay dan seluruh India bergema oleh suara ‘proklamasi’ ini.
Srinagar dan Sialkot, sebuah kota di bagian utara Pakistan memiliki waktu adzan yang sama. Perbedaan waktu antara Sialkot, Quetta dan Karachi adalah 40 menit dan dalam periode waktu tersebut adzan Subuh terdengar di seluruh Pakistan. Sebelum selesai di Pakistan, adzan mulai di Afganistan dan Muscat. Perbedaan waktu antara Muscat dan Baghdad adalah 1 jam. Adzan berkumandang di Hijaaz al Muqaddas yang terdapat dua kota suci Mekkah dan Madinah, kemudian Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak. Perbedaan waktu antara Bagdad dan Alexandria di Mesir adalah 1 jam.
Kemudian adzan berlanjut ke Syiria, Mesir, Somalia, dan Sudan. Perbedaan waktu antara barat dan timur Turki adalah satu setengah jam. Alexandria dan Tripoli, ibukota Libia memiliki perbedaan waktu 1 jam. Proses panggilan adzan berlanjut ke seluruh Afrika. Sehingga suara proklamasi dari Tauhid dan Risalah Nabi yang telah dimulai dari Indonesia hingga akhirnya mencapai Pantai Timur dari Samudera Atlantik memakan waktu 9 setengah jam.
Sebelum adzan Subuh mencapai Samudera Atlantik, adzan Zuhur telah dimulai di bagian timur Indonesia, dan sebelum sampai di Dacca Bangladesh, adzan Ashar telah dimulai. Setelah mencapai Jakarta dalam waktu satu setengah jam kemudian waktu maghrib sampai di Sulawesi. Saat muadzin di Indonesia mengumandangkan adzan Subuh, muadzin di Afrika mengumandangkan adzan Isya.
Jika kita mempertimbangkan fenomena inisecara keseluruhan, kita dapat menyimpulkan suatu fakta yang menakjubkan, yaitu tidak ada sedetikpun waktu terlewat di dunia ini tanpa suara adzan dari muadzin di muka Bumi ini. Bahkan saat Anda membaca posting ini sekarang, yakinlah bahwa sedikitnya ada ribuan orang yang sedang mengumandangkan dan mendengarkan adzan.
Adzan itu terus berkumandang di muka Bumi dan langit ini selama-lamanya dan tiada henti-hentinya sedikitpun bersahut-sahutan selama 24 jam dalam sehari selama seminggu penuh, selama sebulan, sepanjang tahun, sampai hari akhir nanti Insya Allah, Subhanallah …

Menjadi Orang tua Yang di cintai

Sepasang kakek dan nenek duduk termenung di rumah kontrakan yang mereka diami. di usia rentannya, mereka berdua masih harus bergelut dengan kesulitan hidup. anak-anak yang mereka asuh dari bayi tak sedikit pun menaruh perhatian. semuanya sibuk dengan urusan masing-masing, meninggalkan mereka menghadapi hari-hari senja, hanya berdua.

Tak hanya mereka yang mengalami perlakuan seperti itu di hari tuanya, panti-panti jumpopun semakin ramai dihuni oleh orang tua-orang tua yang di antarkan anaknya sendiri. di jala-jalan juga semakin banyak orang tua yang menghabiskan usia senjanya di trotoar dan emperan toko.


Kemana anak-anak mereka? Mungkin pertanyaan tersebut yang sering berkelebat di benak kita ketika melihat keadaan mereka. tidakkah anak-anak mereka merawat dan berbuat baik pada orang tua merupakan salah satu perbuatan baik yang di seukai oleh alloh SWT

Dari Abdulloh bin mas'ud dia berkata 'aku pernah bertanya kepada nabi, Apakah yang paling di senangi oleh alloh? Di sebutkan dalam riwayat? 'apakah amalan yang paling baik? Nbi menjawab Sholat pada waktunya Abdulloh bertanya lagi Kemudian apa? Nabi menjawab berbakti kepada kedua orang tua Abdullah bertanya lagi kemudian apa? nabi menjawab berjihat di jalan alloh Abdulloh berkata Rasululloh memberitaukan hal-hal itu.yahng seandainya aku meminta tambahan amalan yang di senangi Alloh tentu ia akan memberikan amalan-amalan yang lebih banyak padaku(riwayat bukhori muslim, adtirmidyu,dan an-nasai).

Meski demikian, kita tak bisa begitu saja menyalahkan anak-anak yangg telah melantarkan orang tuanya. bisa jadi perilaku yang mereka tunjukkan itu merupakanbuah dari proses yang berlangsung selama terus-menerus. Puluhan tahun yang lalu, saat ia mulai tumbuh sebagai manusia dewasa.

Orang tua Penuh Cinta

Anak itu peniru yang paling baik. apa yang di contohkan sang orang tua, selamanya akan menjadi sebuah cermin bagi anak. Bila orang tua terbiasa berbohong pada anak, tentu anak akan mencontoh kebohongan dan gaya berbohong orang tuanya dengan baik. Begitu pula anak telah terbiasa tidak di perdulikan orang tuanya. Ketika anak tersebut dewasa, mencampakkan orang lain tentu menjadi hal yang biasa untuk mereka. Karena itu, Rasululloh dalam berbagai kesempatan memberikan contoh bagaimana memperlakukan anak dengan baikAbu hurairoh berkata, Suatu hari Al-aqra' melihat rasululloh saw mencium cucunya hasan. ia lalu berkata saya memiliki 10 orang anak dan tidak seorang pun dari mereka yang pernah saya cium mendengar ucapannya tersebut rasululloh saw bersabda, sesungguhnya orang yang tidak penyanyang tidak akan di sayangi. riwayat ahmad. dalam hadist ini, rasululloh saw yang mulia menekankan behwa menyayangi adalah sarat mutlaq untuk mendapatkan kasih sayang dari orang lain, termasuk dari anak kita.  

Pengamalan Tasawuf Ala Al Habib Luthfi

Berikut ini petikan wawancara crew Habibluthfiyahya.net dengan Al Habib Luthfi bin Yahya. Dalam wawancara kali ini Al Habib menjelaskan bagaimana tasuf dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Apa pandangan-pandangan Al-Habib tentang tasawuf?
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri.
Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari tasawuf.
Bukankah hal semacam itu sudah diajarkan orang tua kita sejak kecil?
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi SAW.
Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita.
Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita.

Bagaimana sikap kita berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang sudah carut maut?

Mampukah ketika kita berhadapan dengan lingkungan yang demikian itu? Ketika kita asik-asiknya bergurau, maka berhentilah sejenak. Kita koreksi apakah ada sesuatu yang kurang pantas? Agar hal yang demikian itu tak dicontoh atau ditiru oleh anak-anak kita. Itu sudah merupakan tasawuf. Jadi dalam rangka pembersihan hati, bisa dimulai dari hal-hal kecil semacam itu.
Lalu kita tingkatkan dengan tutur sikap kita terhadap orang tua. Ketika kita makan bersama orang tua. Janganlah kita menyantap lebih dahulu sebelum bapak-ibu kita memulai dulu. Janganlah kita mencuci tangan dahulu sebelum kedua orang tua kita mencuci tangannya. Makanlah dengan memakai tangan kanan. Dan jangan sampai tangan kiri turut campur kecuali itu dalam kondisi darurat. Sebab Rasulullah tak pernah makan dengan kedua tangannya sekaligus. Ini sudah tasawuf.

Apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf?

Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat kepada kebesaran Allah SWT yang diberikan kepada kita. Itu karena fadhalnya Allah SWT.
Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah.
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.
Lantas dari mana kita mesti memulai untuk pembersihan hati tersebut?
Ikutlah dahulu ajaran fiqih yang tertera dalam kitab-kitab fiqh. Seperti arkanus shalat (rukun-syarat sholat), lalu adabut shalat, adabut thaharah dan seterusnya. Marilah itu semua kita pelajari dan kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita diundang untuk menghadiri acara walimah di sebuah gedung misalnya, maka kenakanlah pakaian yang bagus-bagus.
Sebab itu demi menghormat dan untuk menyaksikan kehalalan kedua mempelai di pelaminan. Untuk menghormati acara tersebut, kita menggunakan pakaian yang rapi. Sebab pada hakikatnya, kita telah menghormati Allah SWT yang telah menghalalkan hal tersebut.
Kita juga menghormati yang telah mengundang kita, serta menghormati sesama kita dalam gedung atau dalam jamuan tersebut. Kalau kita bisa menyaksikan aqdun nikah (akad nikah) secara demikian, mengapa kalau kita menghadap langsung kepada Allah SWT, tidak pernah melakukan penghormatan yang demikian itu?

A-Habib dikenal sebagai mursyid thariqah, tetapi kelihatan gemar memainkan alat musik?
Di sana kita akan menemukan kekaguman. Ilmullah yang ada dalam music itu sendiri. Diantaranya notnya itu hanya ada 7; do re mi fa sol la si do, do si la sol fa mi re do. Sedangkan oktafnya ada 7, suara miringnya 5, jadi ada 12. Yang memakai adalah di seliruh dunia, dan mengeluarkan lagu yang beragam. Itu merupakan satu hal yang sangat menarik.
Ketika orang mendengarkan musik, mereka bisa menangis dan tertawa, bersedih dan bersuka ria. Nah, yang berupa benda saja bisa menghasilkan efek semacam itu. Lantas bagaimana kalau kita tengah mendengar lantunan  ayat Al-Qur’an sedang dibacakan? Mesti akan jauh lebih dari itu. (Ts/hly.net)

 

Tanda Yang Berhasil Dalam Romadhon

Di bawah ini ada beberapa tanda berhasil atau tidaknya kita dalam melaksanakan Shaum Romadhon, dan tentu nya hati kita yang bisa menjawab nya

1. Selalu Sholat Tepat Waktu & Berjamaah

“Celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Tentu nya ayat ini bukan ditunjukan bagi orang yang melalaikan sholat baik bagi yang telah rajin sholat tepat waktu bahkan sambil berjamaah.

2. Rajin Menjalankan Ibadah Sunnah

Yang terbiasa sholat Tarawih, sholat witir, Duha, Tahajud dan yang terpenting Sholat Rawatib di bulan Ramadhon ,bahkan sebelum romadhon tiba, ibadah-ibadah Sunnah tidaklah berat. Mungkin akan terasa nikmat melakukan nya karena sudah terbiasa. Sebaliknya jika paska Romadhon malas melaksanakan nya tentunya dipertanyakan pula kualitas Romadhon nya.

Karena orang soleh itu, atau yang takwa yang berhasil dalam Romadhon itu ialah:

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya:90)

“Dan hamba-Ku masih mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya.” (Hadits Qudsi)

3. Tidak Kikir, Senang Berbagi Dengan Anak Yatim, Orang Miskin dll

Ketika romdahon usai, kemudian makin besar rasa sayang kepada orang miskin, mau berbagi dengan anak yatim dll adalah tanda keberhasilan menempuh Romadhon.

4. Rajin Membaca Al-Qur’an.
Ramadhan juga disebut Syahrul Qur’an, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Orang-orang soleh itu banyak menghabiskan waktunya siang malam Ramadhan untuk membaca Al-Qur’an.
Sebagaimana beberapa hadist menyebutkan:

“Ibadah ummatku yang paling utama adalah pembacaan Al-Qur’an.” (HR Baihaqi)

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkanny. a” (HR Bukhari)

Ramadhan adalah saat yang tepat untuk menimba dan menggali sebanyak mungkin kemuliaan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Kebiasaan baik ini harus nampak berlanjut setelah Ramadhan pergi, sebagai tanda keberhasilan latihan di bulan suci.

5. Mampu Menahan Amarah

Dalam sebuah hadits , Rasulullah Saw bersabda:

“Puasa itu perisai diri, apabila salah seorang dari kamu berpuasa maka janganlah ia berkata keji dan jangan membodohkan diri. Jika ada seseorang memerangimu atau mengumpatmu, maka katakanlah sesesungguhnya saya sedang berpuasa.” (HR. Bukhari Muslim)

7. Selalu Menjaga Perkataan

Ramadhan adalah peluang untuk mengatur dan melatih lidah agar senantiasa berkata baik. Umar ibn Khattab pernah berkata:

“Puasa ini bukanlah hanya menahan diri dari makan minum saja, akan tetapi juga dari dusta, dari perbuatan yang salah dan tutur kata yang sia-sia.”

Rasulullah Saw bersabda:

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta perbuatan buruk, maka Allah tidak membutuhkan perbuatan orang yang tidak bersopan santun, maka tidak ada hajat bagi Allah padahal dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari)

Orang yang gagal memetik buah Ramadhan kerap berkata seenaknya dan tidak berfikir dahulu sebelum bicara. “Bicara dulu baru berpikir, bukan sebaliknya.”

8. Mampu Menjaga Amanah
Romadhon adalah amanah Allah yang harus dipelihara (dikerjakan) dan selanjutnya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak.
Romadhon ibarat hutang yang harus ditunaikan dan orang yang terbiasa memenuhi amanah dalam ibadah sir (rahasia) tentu akan lebih menepati amanahnya terhadap orang lain, baik yang bersifat rahasia maupun yang nyata.
Sebaliknya orang yang gagal Ramadhan mudah mengkhianati amanah, baik dari Allah maupun dari manusia.

Coba kita deteksi diri kita setelah Romadhon selesai..Apakah kita termasuk yang berhasil menempuh Romadhon, ataukah gagal atau hanya sebagian saja yang bisa kita peroleh...??? Hanya diri kita yang mengetahui nya

Semoga kita termasuk yang berhasil mendapat berkah Romadhon...dan berhasil mengapai Rahmat Allah...amiin

Meluruskan makna toleransi beragama


Manusia diciptakan Allah Subhanahu wata’ala bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama. Perbedaan di antara manusia adalah sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS. Al Hujurat; 13).
Saling Menghormati Sesama
Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya.
Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Dari Sahabat Abdullah ibn Amr, sesungguhnya dia menyembelih seekor kambing. Dia berkata, “Apakah kalian sudah memberikan hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah berkata, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai aku menyangka beliau akan mewariskannya kepadaku.” (HR. Abu Dawud). Sesungguhnya ketika (serombongan orang membawa) jenazah melintas di depan Rasulullah, maka beliau berdiri. Para Sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi wahai Nabi?” Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)?” (HR. Imam Bukhari). Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam berhutang makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan pakian besi kepadanya.” (HR. Imam Bukhari).
Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus; 99-100). Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al Kahfi; 29)
Persoalan keyakinan atau beragama adalah terpulang kepada hak pilih orang per orang, masing-masing individu, sebab Allah Subhanahu wata’ala sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah Subhanahu wata’ala diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman
Dalam sebuah Hadits, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki dari sahabat Anshar datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa dua anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama, yaitu Surah Al-Baqarah: 256:”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah; 256)
Dalam Aqidah Tidak Ada Toleransi
Jika dalam aspek sosial kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi antara ummat Islam dengan orang-orang non Islam.
Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tatkala diajak ber-toleransi dalam masalah aqidah, bahwa pihak kaum Muslimin mengikuti ibadah orang-orang kafir dan sebaliknya, orang-orang kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas Rasulullah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menolak tawaran yang ingin menghancurkan prinsip dasar Aqidah Islamiyah itu. Allah Ta’ala berfirman: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun; 1-6).
Dalam setiap melaksanakan sholat, sebenarnya ummat Islam telah diajarkan untuk selalu berpegang teguh terhadap aqidah Islamiyah dan jangan sampai keyakinan ummat Islam itu sedikit pun dirasuki oleh virus syirik, yaitu dengan membaca: “Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada yang menyekutui-Nya. Oleh karena itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang Islam.”
Kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang sah harus selalu diyakini oleh kaum Muslimin dengan kadar keimanan yang teguh. Sama sekali tidak dibenarkan bahwa masing-masing agama memiliki kebenaran yang relatif, sebagaimana yang sekarang sedang digembar-gemborkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan telah banyak merasuki jiwa generasi muda Islam. Bukankah Allah Subhanahu wata’ala telah menandaskan: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran; 85).
Siapa yang menginginkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat, tidak ada jalan kecuali beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan beribadah kepada-Nya. Kemuliaan itu tidak bisa dicapai dengan menyembah selain Allah Ta’ala. Kemuliaan hanya milik Allah semata. “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Fatir; 10).
Seputar Natalan dan Doa Lintas Agama
Kekuatan musuh-musuh Islam terus bergerak aktif untuk melemahkan aqidah dan keyakinan generasi muda Islam. Melalui propagandanya yang dikemas dengan sangat rapi, mereka berusaha menciptakan keraguan dalam keyakinan ummat Islam. Batasan-batasan aqidah Islamiyah yang sedari awal telah begitu jelas dan nyata, antara yang hitam dan putih, antara yang haq dan batil, antara keimanan dan kekufuran, direduksi oleh mereka menjadi abu-abu dan remeng-remeng (tidak jelas).
Salah satu hal yang status hukumnya dibuat mereka menjadi kabur dan remeng-remeng bahkan dirubah total adalah masalah seputar natalan dan mengucapkan selamat natal kepada orang-orang Kristen.
Mengucapkan selamat natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekadar basa-basi antar agama. Karena setiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing. Oleh sebab itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Betapa dua kalimat Syahadat itu memiliki makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal hanya dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Demikian pula pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) natal kepada Nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Memang benar bahwa kaum muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi mereka yang zimmi. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah manakah batasan hormat dan ridha dalam masalah ini. Antara hormat dan ridha jelas tidak sama. Ridha adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.
Kita memang harus menghormati Nasrani karena memang hal itu merupakan kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena
itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang namanya batasan yang jelas yang tidak boleh sekali-kali dikaburkan.
Bila kita tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan. Adanya orang Nasrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri di mana umat Islam menjadi kelompok minoritas. Bagaimana ummat Islam diteror, dipaksa, dipersulit, diganggu dan dianiaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun umat Islam yang minoritas, baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya.
Walhasil, tidak mengucapkan selamat natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.
Demikian pula halnya dengan doa bersama lintas agama yang akhir-akhir ini juga makin marak. Bahwa toleransi yang ditolelir adalah bentuk toleransi dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Berdoa sejatinya bukan masalah sosial, melainkan justru merupakan intisari sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana sabda Nabi: Rasulullah bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” (HR. Imam Tirmidzi).
Orang yang berdoa kepada Tuhannya, pasti dia meyakini bahwa Tuhannya adalah yang haq dan yang bisa mengabulkan permintaannya. Jadi, jika dalam forum doa bersama itu seorang Nasrani berdoa menurut keyakinannya dan orang Islam meng-amininya itu sama halnya orang Islam tersebut telah meyakini kepercayaan orang Nasrani, begitu juga sebaliknya. Wallahu a’lam bish showab.

Makna Idul Fitri

Oleh : Nur Faizin Muhith

Lepas dari kemungkinan adanya perbedaan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, yang jelas, seluruh umat Islam di dunia ini akan segera merayakan hari yang biasa dianggap ‘kemenangan’ tersebut. Perayaan rutin setiap tahun ini menjadi momen sangat penting setelah berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan. Seluruh umat Islam merayakannya dengan suka dan cita, tak berbeda yang rajin puasa maupun yang hanya alakadarnya.

Sebagaimana sudah maklum, selain Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga punya Hari Raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Dalam literatur-literatur Islam klasik, hari raya ini disebut Idul Akbar (hari raya besar), sementara Idul Fitri hanya disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya kecil).. Sebagaimana hari-hari besar lain, Idul Fitri tentu memiliki makna umum sebagai hari libur nasional sekaligus makna khusus yang dirasakan umat Islam. Paling tidak, Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan mengalahkan hawa nafsu dengan berpuasa sebulan penuh.

Erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri adalah zakat fitrah yang wajib dikeluarkan setiap individu Muslim. Kalimat kedua dari dua terma ini (Idul Fitri dan zakat fitrah) adalah kalimat yang berasal dari bahasa Arab fithrah yang berarti natural atau dalam bahasa Indonesianya biasa diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang suci, bersifat asal, atau pembawaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1997)..

Sisi etimologis

Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna `kembali’, dari asal kata ‘ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri ini selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Mandlur, Lisaanul Arab).

Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit (lihat QS Al Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makan-makan dan minum-minum yang serba mewah. Dan ternyata Allah SWT pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS Al-Maidah: 115).

Jadi, tidak salah dalam pesta Hari Raya Idul Fitri masa sekarang juga dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Dalam hari raya tak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.

Abdur Rahman Al Midani dalam bukunya Ash-Shiyam Wa Ramadhân Fil Kitab Was Sunnah (Damaskus), menjelaskan beberapa etika merayakan Idul Fitri. Di antaranya di situ tertulis bahwa untuk merayakan Idul Fitri umat Islam perlu makan secukupnya sebelum berangka ke tempat shalat Id, memakai pakaian yang paling bagus, saling mengucapkan selamat dan doa semoga Allah SWT menerima puasanya, dan memperbanyak bacaan takbir. Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna `berbuka puasa’

(ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna `yang mula-mula diciptakan Allah SWT` (Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran: hlm 40, 2002). Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.

Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (QS. Al A`râf: 172).” Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah SWT. Dalam hadis, Rasulallah SAW juga mempertegas dengan sabdanya: “Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).” Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas.

Sisi terminologi

Kendati dalam literatur-literatur Islam klasik, Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya yang kecil) sementara Idul Adhha adalah Idul Akbar (hari raya yang besar), umat Islam di Tanah Air selalu terlihat lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lainnya, bahkan hari raya Idul Adha sekalipun. Momen Idul Fitri dirayakan dengan aneka ragam acara, dimulai dengan shalat Id berjamaah di lapangan terbuka hingga halal bi halal antarkeluarga yang kadang memanjang hingga akhir bulan Syawal.

Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya, kata fitri disitu diartikan `berbuka atau berhenti puasa` yang identik dengan makan-makan dan minum-minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut dengan pesta makan-makan dan minum-minum mewah yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.

Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri, juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai `kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.

Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.

Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan `perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum` sehingga yang tadinya dilarang makan siang, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam., atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan. Kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan. Ringkasnya, kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang saleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.

Ikhtisar
- Idul fitri merupakan momentum terbaik bagi setiap manusia untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang suci dan terampuni dosanya.
- Cuma, saat ini masih banyak kalangan yang mengartikan Idul Fitri hanya sebagai hari terbebasnya manusia dari kewajiban berpuasa.
- Ada juga kalangan yang menjadikan Idul Fitri sebagai hari pamer kemewahan.
- Mereka yang keliru memaknai Idul Fitri hanya akan menjadi manusia yang saleh secara musiman.

* Mahasiswa Pascasarjana Departemen Tafsir dan Ilmu-ilmu Alquran Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Idul Fitri من العاءدين و الفاءيزين


Idul Fitri (Bahasa Arab: عيد الفطر ‘Īdu l-Fir) adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriyah. Karena penentuan 1 Syawal yang berdasarkan peredaran bulan tersebut, maka Idul Fitri atau Hari Raya Puasa jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan Masehi. Cara menentukan 1 Syawal juga bervariasi, sehingga boleh jadi ada sebagian umat Islam yang merayakannya pada tanggal Masehi yang berbeda. Pada tanggal 1 Syawal, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan menyelenggarakan Salat Ied bersama-sama di masjid-masjid, di tanah lapang, atau bahkan jalan raya (terutama di kota besar) apabila area ibadahnya tidak cukup menampung jamaah.

Salat Idul Fitri biasanya dilakukan di lapangan. Adapun hukum dari Salat Idul Fitri ini adalah sunnah mu'akkad. Sebelum salat, kaum muslimin mengumandangkan takbir. Adapun takbir adalah sebagai berikut:

Arab
Latin
Terjemahan
الله أكبر الله أكبر الله أكبر
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
لا إله إلا ال
la ilaha illa Allah
Tidak ada Tuhan selain Allah
الله أكبر الله أكبر
Allahu akbar, Allahu akbar
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
ولله الحمد
wa li-illahi al-hamd
Segala puji hanya bagi Allah
Takbir mulai dikumandangkan setelah bulan Syawal dimulai. Selain menunaikan Salat Sunnah Idul Fitri, kaum muslimin juga harus membayar sebanyak 2,7 kilogram bahan pangan pokok. Tujuan dari zakat fitrah sendiri adalah untuk memberi kebahagi zakat fitrahaan pada kaum fakir miskin. Kemudian, Khutbah diberikan setelah Salat Idul Fitri berlangsung, dan dilanjutkan dengan do'a. Setelah itu, kaum muslimin saling bermaaf-maafan. Terkadang beberapa orang akan berziarah mengunjungi kuburan.
Umat Islam di Indonesia menjadikan Idul Fitri sebagai hari raya utama, momen untuk berkumpul kembali bersama keluarga, apalagi keluarga yang karena suatu alasan, misalnya pekerjaan atau pernikahan, harus berpisah. Mulai dua minggu sebelum Idul Fitri, umat Islam di Indonesia mulai sibuk memikirkan perayaan hari raya ini, yang paling utama adalah Mudik atau Pulang Kampung, sehingga pemerintah pun memfasilitasi dengan memperbaiki jalan-jalan yang dilalui. Hari Raya Idul Fitri di Indonesia diperingati sebagai hari libur nasional, yang diperingati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang memang mayoritas Muslim. Biasanya, penetapan Idul Fitri ditentukan oleh pemerintah, namun beberapa ormas Islam menetapkannya berbeda. Idul Fitri di Indonesia disebut dengan Lebaran, dimana sebagian besar masyarakat pulang kampung (mudik) untuk merayakannya bersama keluarga. Selama perayaan, berbagai hidangan disajikan. Hidangan yang paling populer dalam perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah ketupat, yang memang sangat familiar di Indonesia Malaysia, Brunei, dan Singapura Bagi anak-anak, biasanya para orang tua memberikan uang raya kepada mereka. Selama perayaan, biasanya masyarakat berkunjung ke rumah-rumah tetangga ataupun saudaranya untuk bersilaturahmi, yang dikenal dengan "halal bi-halal", memohon maaf dan keampunan kepada mereka. Beberapa pejabat negara juga mengadakan open house bagi masyarakat yang ingin bersilaturahmi.
Di Malaysia Singapura dan Brunei Idul Fitri dikenal juga dengan sebutan Hari Raya Puasa atau Hari Raya Aidil Fitri. Masyarakat di Malaysia dan Singapura turut merayakannya bersama masyarakat Muslim diseluruh dunia Seperti di Indonesia, malam sebelum perayaan selalu diteriakkan takbir di masjid ataupun mushala yang mengungkapkan kemenangan dan kebesaran Tuhan. Diperkampungan, biasanya banyak masyarakat yang menghidupkan pelita atau panjut, atau obor di Indonesia. Banyak bank perkantoran swasta ataupun pemerintahan yang tutup selama perayaan Idul Fitri hingga akhir minggu perayaan. Masyarakat disini biasanya saling mengucapkan "Selamat Hari Raya" atau "Salam Aidil Fitri" dan "Maaf lahir dan batin" sebagai ungkapan permohonan maaf kepada sesama. Di Malaysia juga ada tradisi balik kampung, atau mudik di Indonesia. Disini juga ada tradisi pemberian uang oleh para orang tua kepada anak-anak, yang dikenal dengan sebutan duit raya.

Khusyu’ Di Dalam Ibadah

Allah ta’ala berfirman, menceritakan tentang keadaan orang-orang yang beriman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2
Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu, orang-orang yang khusyu’ dalam sholat mereka” (Al Mu’minun : 1-2)
Tanda orang beriman, sebagaimana yang Allah ta’ala terangkan adalah mereka khusyu’ di dalam sholat-sholat mereka.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, khusyu’ dalam sholat adalah merasa tenang dalam sholat dan merasa takut (kepada Allah) dalam sholatnya tersebut.(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Darut Thayibah, Asy Syamilah).
Syaikh As Sa’diy rahimahullahu menerangkan makna ‘khusyu’ di dalam sholat’, yaitu seseorang menghadirkan hati di hadapan Allah, merasakan dekatnya (ilmu dan pengawasan) Allah, yang dengan semua itu hati bisa merasa tenang, jiwa merasa damai. Hal ini akan terpancar dalam gerakan tubuh yang tenang, tidak lalai dalam sholat, menghayati setiap bacaan yang dibaca dalam sholatnya, dari awal takbir hingga akhir sholat. Semua ini dalam rangka tunduk dan taat kepada Allah. (Lihat Taisir Karimirrahman, Maktabah Ar Rusyd, hal. 547)
Kemudian beliau melanjutkan, inilah hakikat ruh sholat dan inilah sholat yang dimaksudkan oleh Allah untuk ditegakkan oleh hamba-Nya. (Lihat Taisir Karimirrahman, Maktabah Ar Rusyd, hal. 547)
Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan, “Dahulu para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat pandangan mereka ke arah langit tatkala sholat. Namun ketika turun ayat ini, (yaitu al Mu’minun 1-2) maka semenjak itu mereka menundukkan pandangan mereka ke tempat sujud mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Darut Thayibah, Maktabah Asy Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan,
الخشوع خمود نيران الشهوة وسكون دخان الصدور وإشراق نور التعظيم في القلب
Khusyu’ adalah memadamkan luapan syahwat, meredamkan gejolak di hati dan melahirkan cahaya pengagungan (kepada Allah ta’ala) di dalam hati.” (Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, Maktabah Asy Syamilah)
Letak kekhusyu’an adalah di dalam hati, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa ketaqwaan manusia ada di dalam hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
التقوى ههنا (ويشير إلى صدره ثلاث مرات)
Takwa letaknya adalah di sini (dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat menunjuk ke arah dada beliau tiga kali)” (Hadits riwayat Muslim)
Hal ini pun telah ditegaskan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu,
وأجمع العارفون على أن الخشوع محله القلب وثمرته على الجوارح
Para ahli ilmu telah sepakat, bahwa letak kekhusyu’an adalah di dalam hati, dan buah dari kekhusyu’an akan tercermin pada anggota badan yang lainnya.” (Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, Maktabah Asy Syamilah)
Saudaraku sungguh amalan hati adalah lebih utama daripada semata-mata amalan badan. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu,
كَانَتْ أَعْمَالُ الْقَلْبِ الْمُجَرَّدَةِ أَفْضَلَ مِنْ أَعْمَالِ الْبَدَنِ الْمُجَرَّدَةِ . كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ : قُوَّةُ الْمُؤْمِنِ فِي قَلْبِهِ وَضَعْفُهُ فِي جِسْمِهِ وَقُوَّةُ الْمُنَافِقِ فِي جِسْمِهِ وَضَعْفُهُ فِي قَلْبِهِ
“Semata-mata amalan hati adalah lebih utama dibandingkan dengan semata-mata amalan badan. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama terdahulu : kekuatan seorang mukmin ada pada hatinya dan kelemahannya ada pada jasadnya, sedangkan kekuatan orang-orang munafik ada pada jasad mereka dan kelemahan mereka terletak pada hati mereka” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, Maktabah Asy Syamilah)
Setan dan bala tentaranya tidak akan tinggal diam tatkala melihat bani Adam sedang berusaha khusyu’. Hendaklah seorang waspada terhadap seluruh tipu daya setan dan bala tentaranya dalam menjerumuskan manusia dalam kesengsaraan. Seorang shahabat, Hudzaifah Ibnu Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata,
إياكم وخشوع النفاق فقيل له : وما خشوع النفاق قال : أن ترى الجسد خاشعا والقلب ليس بخاشع
Waspadalah kalian dengan khusyu’-nya orang-orang munafik…!!!”, kemudian seorang bertanya kepada beliau, bagaimanakah khusyu’-nya orang-orang munafik?, beliau mengatakan, “Engkau melihat seseorang, jasadnya Nampak khusyu’ akan tetapi hatinya sama sekali tidak merasakan kekhusyu’an”.
Lihatlah saudaraku apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullahu tentang bedanya khusyu’-nya orang-orang beriman dan orang-orang munafik. Beliau rahimahullahu mengatakan:
أن خشوع الإيمان هو خشوع القلب لله بالتعظيم والإجلال والوقار والمهابة والحياء فينكسر القلب لله كسرة ملتئمة من الوجل والخجل والحب والحياء وشهود نعم الله وجناياته هو فيخشع القلب لا محالة فيتبعه خشوع الجوارح وأما خشوع النفاق فيبدو على الجوارح تصنعا وتكلفا والقلب غير خاشع وكان بعض الصحابة يقول أعوذ بالله من خشوع النفاق قيل له وما خشوع النفاق قال أن يرى الجسد خاشعا والقلب غير
Sesungguhnya khusyu’ karena iman adalah menundukkan hati di hadapan Allah ta’ala dengan segala bentuk pengagungan dan pemuliaan. Hati seakan-akan luluh di hadapan Allah karena cinta dan takut kepada Allah, mengakui berbagai nikmat Allah yang melekat pada dirinya. Inilah ketundukan hati yang hakiki, yang terletak di relung hati seorang hamba, yang akan diikuti oleh anggota badan lainnya.
Adapun khusyu’-nya orang-orang munafik adalah menampakkan dengan anggota badan di hadapan pandangan para manusia, dengan berbuat seolah-olah badannya nampak khusyu’, akan tetapi hakikatnya hatinya sama sekali tidaklah merasa khusyu’.” -Sekian perkataan Ibnul Qayyim rahimahullahu- (Lihat Ar Ruh, Ibnul Qayyim, Maktabah Asy Syamilah)
Kekhusyu’an yang tertanam dalam hati seorang manusia, akan membuahkan ketenangan dalam gerakan anggota badannya, merasakan ruh ibadah dan bisa menikmati kelezatan beribadah. Inilah sumber kekuatan seorang mukmin, bersumber dari hati dan bermuara ke anggota badan lainnya.
Saudaraku, sungguh inilah yang banyak dilalaikan oleh sebagian besar kaum muslimin saat ini. Sholat mereka secepat kilat, bibir komat-kamit laksana bacaan mantra dan tidak paham  maknanya. Allahu musta’an.
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh shahabat Hudzaifah Ibnul Yaman, tatkala beliau mengatakan:
أول ما تفقدون من دينكم الخشوع وآخر ما تفقدون من دينكم الصلاة
Hal pertama yang akan hilang dari agama ini adalah khusyu’, dan perkara terakhir yang akan hilang dari agama ini adalah sholat (Diriwayatkan Al Hakim disepakati oleh Adz Dzahabi)
Perkara ini, yaitu khusyu’ merupakan perkara yang berat membutuhkan usaha dan jerih payah. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia paling mulia berlindung kepada Allah dari hati yang lalai, dari hati yang tidak khusyu’ :
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَنَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَعِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَدَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak terkabul” (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan An Nasa’i)
Hanya kepada Allah kita memohon hidayah dan petunjuk. Ya Rabb jadikanlah Kami ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang khusyu’. Amiin.

Hadits-Hadits Pilihan Bab Wudhu

Keutamaan Wudhu
 
Dari Humran bekas budak Utsman radhiyallahu’anhu. Humran berkata:
سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَهُوَ بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ عِنْدَ الْعَصْرِ فَدَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ لأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا لَوْلاَ آيَةٌ فِى كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُكُمْ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ فَيُصَلِّى صَلاَةً إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلاَةِ الَّتِى تَلِيهَا ».
Aku mendengar Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu ketika dia berada di halaman masjid kemudian datang seorang mu’adzin menjelang waktu Ashar tiba. Maka Utsman meminta diambilkan air wudhu, lalu dia berwudhu. Setelah itu dia berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits. Kalaulah bukan karena suatu ayat di dalam Kitabullah niscaya aku tidak akan menuturkannya kepada kalian. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian mengerjakan sholat melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya sejak saat itu sampai sholat yang berikutnya.’.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ – أَوِ الْمُؤْمِنُ – فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ
».
“Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, kemudian dia membasuh wajahnya maka akan keluar dari wajahnya bersama air itu -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan dengan pandangan kedua matanya. Apabila dia membasuh kedua tangannya maka akan keluar dari kedua tangannya bersama air itu -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan dengan kedua tangannya. Apabila dia membasuh kedua kakinya maka akan keluar bersama air -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan dengan kedua kakinya, sampai akhirnya dia akan keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Faidah:

Setelah menerangkan kandungan hadits di atas, an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pula dalil untuk membantah kaum Rafidhah/Syi’ah dan argumentasi yang meruntuhkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa yang wajib adalah cukup mengusap kedua kaki -tidak membasuhnya, pent-.” (Syarh Muslim [3/34]).
Hal itu disebabkan di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan keluarnya dosa itu dari kaki apabila orang yang berwudhu itu membasuh kakinya, maka ini menunjukkan bahwa mengusapnya -sebagaimana yang dianut oleh kaum Rafidhah- tidaklah mencukupi. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh an-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- dan alangkah jeleknya ucapan kaum Rafidhah!
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


« مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ ».
“Barang siapa yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, maka akan keluarlah dosa-dosa dari badannya, sampai-sampai ia akan keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ
».
“Maukah kutunjukkan kepada kalian sesuatu yang dapat menjadi sebab Allah menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat.” Mereka -para sahabat- menjawab, “Tentu saja mau, wahai Rasulullah.” Maka beliau menjawab, “Yaitu menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu sholat berikutnya sesudah mengerjakan sholat, maka itulah ribath.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud isbaghul wudhu’ adalah menyempurnakannya. Adapun yang dimaksud kondisi yang tidak menyenangkan adalah dingin yang sangat menusuk, luka yang ada di badan, dan lain sebagainya.” (Syarh Muslim [3/41] cet. Dar Ibn al-Haitsam).

Berniat
 
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
».
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya itu akan diterima oleh Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena perkara dunia yang ingin dia peroleh atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya hanya akan mendapat balasan sebagaimana yang diniatkannya.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Imarah, diriwayatkan juga oleh Bukhari)

Membaca bismilah sebelum wudhu
 
Dari Rabah bin Abdurrahman bin Abu Sufyan bin Huwaithib dari neneknya dari bapaknya, dia (bapaknya, yaitu Sa’id bin Zaid, pent) berkata :

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [1/25] namun dilemahkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-’Ilal al-Mutanahiyah [1/337] as-Syamilah).
Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Ahmad bin Hanbal mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui di dalam bab ini satu hadits pun yang sanadnya bagus’. Ishaq mengatakan, ‘Apabila ada yang meninggalkan tasmiyah -ucapan bismillah- secara sengaja maka dia harus mengulangi wudhu, namun apabila dia lupa atau menta’wil maka dinilai sah wudhunya itu.’ Muhammad bin Isma’il -Imam Bukhari- mengatakan, ‘Riwayat yang paling bagus di dalam bab ini adalah hadits Rabah bin Abdurrahman -yaitu hadits di atas-.’.” (Sunan Tirmidzi [1/37] as-Syamilah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu. Dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ta’ala atasnya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/179] as-Syamilah)
Syaikh al-Albani rahimahullah mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di atas, “Saya katakan, ‘Ini adalah hadits yang sahih’. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Mundziri dan al-Hafizh al-’Asqalani. Hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu as-Shalah -dalam Nata’ij al-Afkar-. al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, ‘Ini adalah hadits hasan atau sahih.’ Ibnu Abi syaibah mengatakan, ‘Ini hadits yang sah’.” (Shahih Abu Dawud [1/168-169] as-Syamilah)
Dari Katsir bin Zaid. Dia berkata: Rubaih bin Abdurrahman bin Abu Sa’id al-Khudri menuturkan kepadaku dari bapaknya dari kakeknya Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, dia berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah [1/68], hadits ini dilemahkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-’Ilal al-Mutanahiyah[1/337] as-Syamilah)
Setelah memaparkan jalur-jalur hadits dalam bab ini, akhirnya al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkesimpulan, “Yang tampak -dari hasil penelitian ini- adalah bahwasanya hadits-hadits tersebut sebagai satu kesatuan memunculkan kekuatan -periwayatan- sehingga menunjukkan bahwasanya hadits ini memang memiliki asal-usul yang jelas.” (Talkhish al-Habir [1/257], hal ini pun disetujui oleh al-Albani sebagaimana dalam Shahih Abu Dawud [1/171] as-Syamilah)

Mendahulukan bagian yang kanan
 
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya sangat menyukai mendahulukan yang kanan dalam hal mengenakan sandal, bersisir, bersuci, dan dalam segala macam urusan beliau.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)

Membasuh kedua telapak tangan tiga kali
 
Dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Atha’ bin Yazid al-Laitsi mengabarkan kepadanya

أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاة

Humran bekas budak Utsman memberitakan kepadanya bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu meminta diambilkan air wudhu kemudian dia berwudhu dengan membasuh kedua telapan tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkumur-kumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung, pent). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kiri seperti itu pula. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kaki kanannya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kaki kiri seperti itu pula. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berwudhu seperti yang kulakukan tadi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti caraku berwudhu ini kemudian bangkit dan melakukan sholat dua raka’at dalam keadaan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” Ibnu Syihab mengatakan, “Para ulama kita dahulu mengatakan bahwa tata cara wudhu seperti ini merupakan tata cara wudhu paling sempurna yang hendaknya dilakukan oleh setiap orang.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ dengan redaksi yang agak berbeda)

Berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali
 
Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Anshari, sedangkan beliau adalah tergolong sahabat Nabi. Dia -Yahya- berkata:

قِيلَ لَهُ تَوَضَّأْ لَنَا وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِإِنَاءٍ فَأَكْفَأَ مِنْهَا عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ada yang berkata kepada Abdullah bin Zaid, “Lakukanlah wudhu untuk kami sebagaimana tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka dia meminta dibawakan sebuah bejana -berisi air- kemudian dia mengambil air itu dengan telapak tangannya dan membasuh keduanya dengan air tersebut, hal itu dilakukannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya untuk mengambil air kemudian dikeluarkannya untuk dipakai berkumur-kumur dan ber-istinsyaq/menghirup air ke hidung dari cidukan satu telapak tangan, dia melakukannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam air dan mengeluarkannya untuk membasuh wajahnya, dia melakukan itu sebanyak tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam air dan mengeluarkannya untuk membasuh kedua tangannya hingga dua siku, hal itu dilakukannya sebanyak dua kali-dua kali (kanan dan kiri, pent). Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam air dan dikeluarkannya untuk mengusap kepala dari arah depan ke belakang lalu kembali ke bagian depan lagi. Kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki. Kemudian dia mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)
Dari Humran bekas budak Utsman,

أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِإِنَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ فَغَسَلَهُمَا ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الإِنَاءِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
».
Dulu dia pernah melihat Utsman radhiyallahu’anhu meminta diambilkan bejana lalu dia menyiramkan air di atas kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali dan membasuh keduanya. Kemudian dia masukkan tangan kanannya di dalam bejana lalu berkumur-kumur dan beristintsar. Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali dan kedua tangannya hingga siku tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia melakukan sholat dua raka’at dan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia, maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, demikian juga Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)
Dari Hammam bin Munabbih, dia berkata:

هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ
».
Ini adalah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhukepada kami dari Muhammad utusan Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dia menyebutkan beberapa hadits, di antaranya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu maka hiruplah air dengan kedua lubang hidungnya kemudian keluarkanlah.”(HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِى أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لْيَنْثُرْ

“Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu maka masukkanlah air ke dalam hidungnya kemudian keluarkanlah.” (HR. Abu Dawud [1/53] disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/218] as-Syamilah)

Berwudhu dengan sekali basuhan
 
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, dia berkata,
تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu sekali-sekali -untuk tiap anggota badan yang dibersihkan- .” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)

Berwudhu dengan dua kali basuhan
 
Dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dua kali-dua kali (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’).

Tidak boleh lebih dari tiga kali
 
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya,

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الطُّهُورُ فَدَعَا بِمَاءٍ فِى إِنَاءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّاحَتَيْنِ فِى أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ عَلَى ظَاهِرِ أُذُنَيْهِ وَبِالسَّبَّاحَتَيْنِ بَاطِنَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ « هَكَذَا الْوُضُوءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا أَوْ نَقَصَ فَقَدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ ». أَوْ « ظَلَمَ وَأَسَاءَ
».
Bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara bersuci?”. Maka beliau pun meminta dibawakan air di dalam ember lalu beliau membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membasuh kedua lengannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengusap kepalanya lalu memasukkan dua jari telunjuknya ke dalam telinganya dan mengusap bagian luar daun telinga dengan kedua ibu jarinya, sedangkan kedua ibu jarinya digunakan untuk mengusap bagian dalam telinganya. Kemudian beliau membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau berkata, “Demikianlah tata cara berwudhu. Barang siapa yang menambah atasnya atau mengurangi, sungguh dia telah berbuat jelek atau melakukan kezaliman.” atau “Berbuat kezaliman atau melakukan kejelekan.” (HR. Abu Dawud [1/51] disahihkan an-Nawawi dalam Syarh Muslim [3/30] dan dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani namun tanpa kata-kata ‘atau mengurangi’ sebab ini adalah lafazh yang syadz/menyimpang dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/213] as-Syamilah. Lihat juga keterangan Ibnu Hajar yang mengisyaratkan hal ini di dalam Fath al-Bari [1/283])
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa wajib wudhu dengan sekali basuhan/usapan untuk tiap anggota badan yang dibersihkan.Selain itu beliau juga berwudhu dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali. Namun, beliau tidak pernah lebih dari tiga kali. Para ulama tidak menyenangi perbuatan israf/berlebihan dalam hal itu dan melampaui perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Sahih Bukhari, sebagaimana yang dicetak bersama Fath al-Bari [1/281])

Boleh berbeda bilangan ketika membasuh
 
Dari Amr dari bapaknya, dia berkata:

شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبِي حَسَنٍ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ عَنْ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ وُضُوءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكْفَأَ عَلَى يَدِهِ مِنْ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثَ غَرَفَاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Aku melihat Amr bin bin Abi Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu mengenai tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dia pun meminta dibawakan sebuah ember yang berisi air. Kemudian dia berwudhu untuk mereka sebagaimana cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengambil air dengan tangan kemudian dituangkan di atas telapak tangannya dan membasuh kedua telapak tangan itu, sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam ember lalu berkumur-kumur, beristinsyaq dan beristintsar dengan tiga kali cidukan telapak tangan. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam ember lalu membasuh wajahnya, sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya sebanyak dua kali hingga dua siku. Kemudian dia masukkan tangan ke dalam ember lalu mengusap kepalanya dari depan ke belakang terus ke depan lagi hanya sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kaki. (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, demikian juga Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Hadits ini menunjukkan bahwa boleh membedakan bilangan ketika membasuh. Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu. Beliau membasuh telapak tangan dan wajah tiga kali, sedangkan tangan hanya dua kali. Adapun kepala hanya sekali. an-Nawawi rahimahullah berkata, “Perbuatan ini boleh dilakukan, dan wudhu dengan tata cara seperti ini dinilai sah tanpa ada keraguan padanya. Namun yang disunnahkan adalah membersihkan anggota wudhu tiga kali-tiga kali, sebagaimana sudah kami terangkan.” (Syarh Muslim [3/25])

Wajib meratakan basuhan ke semua bagian yang harus dibersihkan
 
Dari Abu Zubair dari Jabir. Dia berkata:

أَخْبَرَنِى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
.
Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang lelaki yang berwudhu dan meninggalkan bagian yang tidak dibasuh di atas kakinya seukuran kuku, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya. Maka beliau bersabda, “Kembalilah, perbaikilah wudhumu.” Lalu dia pun kembali dan kemudian mengerjakan sholat (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran bahwa barang siapa yang meninggalkan sebagian kecil dari bagian yang seharusnya dibersihkan maka bersuci/thaharahnya dinilai tidak sah, ini merupakan perkara yang sudah disepakati.” Beliau juga mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang meninggalkan anggota badan yang harus dibersihkan dalam keadaan tidak mengetahuinya maka thaharahnya tidak sah.” (Syarh Muslim [3/33] cet Dar Ibn al-Haitsam)

Membasuh wajah dengan kedua telapak tangan tiga kali
 
Dari Atha’ bin Yasar dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَمَضْمَضَ بِهَا وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلَى يَدِهِ الْأُخْرَى فَغَسَلَ بِهِمَا وَجْهَهُ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُمْنَى ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَرَشَّ عَلَى رِجْلِهِ الْيُمْنَى حَتَّى غَسَلَهَا ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً أُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا رِجْلَهُ يَعْنِي الْيُسْرَى ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
Suatu saat dia berwudhu dan sedang membasuh wajahnya. Dia mengambil seciduk air dengan telapak tangan lalu dia berkumur-kumur dengannya dan ber-istinsyaq. Kemudian dia mengambil seciduk air dengan satu telapak tangannya dan dituangkannya di atas telapak tangan yang satunya, kemudian dengan kedua belah telapak tangan itu dia membasuh wajahnya. Kemudian dia mengambil seciduk air untuk membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi untuk membasuh tangan kirinya. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia mengambil seciduk air dengan telapak tangannya lalu disiramkannya sedikit demi sedikit di kaki kanannya hingga terbasuh dengan sempurna. Kemudian dia mengambil seciduk lagi untuk membasuh kakinya, yaitu yang sebelah kiri. Kemudian dia -Ibnu Abbas- mengatakan, “Demikian itulah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan wudhu.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’)

Menyela-nyelai jenggot
 
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu apabila berwudhu maka beliau mengambil air dengan telapak tangannya kemudian dia masukkan ke bawah dagunya dan menyela-nyelai jenggotnya dengan air tersebut. Lantas beliau mengatakan, “Demikianlah yang diperintahkan oleh Rabbku ‘azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/223] as-Syamilah)
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu biasa menyela-nyelai jenggotnya (HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini hasan sahih, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [1/31]. Imam Tirmidzi mengatakan, “Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- mengatakan bahwa riwayat paling sahih dalam bab ini adalah hadits yang dibawakan oleh ‘Amir bin Syaqiq dari Abu Wa’il dari Utsman bin Affan -yaitu hadits di atas-.” (Sunan Tirmidzi [1/53] as-Syamilah)
Membasuh tangan hingga siku, kanan tiga kali lalu kiri tiga kali
Habban bin Wasi’ menuturkan bahwa bapaknya menceritakan kepadanya

أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِيَّ يَذْكُرُ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ ثُمَّ اسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَالْأُخْرَى ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى أَنْقَاهُمَا قَالَ أَبُو الطَّاهِرِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ
Suatu ketika dia mendengar Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Mazini radhiyallahu’anhu teringat bahwa dahulu dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu. Ketika itu, beliau berkumur-kumur kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung). Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya tiga kali demikian juga yang sebelah kiri tiga kali. Lalu beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa air yang dipakai untuk membasuh tangannya tadi. Dan kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga rata dan bersih. Abu Thahir mengatakan: Ibnu Wahb menuturkan kepada kami dari Amr bin al-Harits (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)

Mengusap seluruh rambut kepala cukup sekali
 
Dari Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata:

رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ هَكَذَا تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku melihat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu melakukan wudhu, maka dia membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua lengannya tiga kali, dan mengusap rambut kepalanya sekali saja. Kemudian Ali berkata, “Demikianlah cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud [1/193] as-Syamilah)
Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Banyak riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau mengusap rambut kepalanya hanya sekali. Dan hal inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama setelah mereka. Inilah yang dipegang oleh Ja’far bin Muhammad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, as-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka berpendapat bahwa mengusap kepala cukup sekali saja.” (Sunan at-Tirmidzi [1/49] as-Syamilah)

Boleh mengusap tiga kali
 
Dari Humran, dia berkata:

رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ وَقَالَ فِيهِ وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ هَكَذَا وَقَالَ مَنْ تَوَضَّأَ دُونَ هَذَا كَفَاهُ وَلَمْ يَذْكُرْ أَمْرَ الصَّلَاةِ

Aku melihat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu berwudhu. Kemudian dia menceritakan sebagaimana hadits sebelum ini, namun di dalamnya dia tidak menceritakan berkumur-kumur dan istinsyaq. Dan di dalam riwayat itu disebutkan bahwa Humran mengatakan: Dia -Utsman- mengusap rambut kepalanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya tiga kali. Lalu Utsman mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu demikian. Dan beliau bersabda, ‘Barang siapa yang berwudhu kurang dari ini maka hal itu pun mencukupi baginya.’ Dan dia tidak menyebutkan tentang perkara sholat (sebagaimana yang ada pada riwayat Muslim di atas, pent).” (HR. Abu Dawud, dinyatakan oleh al-Albani hasan sahih di dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/185] as-Syamilah)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa mengusap kepala tiga kali termasuk Sunnah (ajaran Nabi) adalah pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnul Mundzir dari Anas, Atha’ dan yang lainnya. Abu Dawud pun meriwayatkan keterangan itu -mengusap kepala tiga kali- melalui dua jalur yang salah satunya dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan ulama yang lain. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa Utsman mengusap kepalanya sebanyak tiga kali, sedangkan tambahan keterangan dari perawi yang terpercaya/tsiqah adalah informasi yang harus diterima (ziyadatu tsiqah maqbulah, istilah dalam ilmu hadits, pen), demikian papar al-Hafizh (silakan periksa Fath al-Bari [1/313], lihat juga keterangan Syaikh Dr. Abdul ‘Azhim Badawi hafizhahullah dalam kitabnya al-Wajiz, hal. 35)
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-’Azhim Abadi rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan hasil penelitian dalam masalah ini menunjukkan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan sekali usapan adalah lebih banyak dan lebih sahih, dan ia lebih terjaga keabsahannya daripada hadits yang menyebutkan tiga kali usapan. Meskipun hadits-hadits tiga kali usapan tersebut juga berderajat sahih melalui sebagian jalannya, akan tetapi ia tidak bisa mengimbangi kekuatan hadits-hadits tersebut. Maka yang semestinya dipilih adalah mengusap sekali saja, walaupun mengusap tiga kali juga tidak mengapa.” (‘Aun al-Ma’bud [1/132] as-Syamilah)

Kedua telinga termasuk bagian kepala yang harus diusap
 
Dari Utsman bin Abdurrahman at-Taimi. Dia berkata:

سُئِلَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ الْوُضُوءِ فَقَالَ رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سُئِلَ عَنْ الْوُضُوءِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأُتِيَ بِمِيضَأَةٍ فَأَصْغَاهَا عَلَى يَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَدْخَلَهَا فِي الْمَاءِ فَتَمَضْمَضَ ثَلَاثًا وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَغَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَأَخَذَ مَاءً فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ فَغَسَلَ بُطُونَهُمَا وَظُهُورَهُمَا مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُونَ عَنْ الْوُضُوءِ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
Ibnu Abi Mulaikah pernah ditanya mengenai wudhu, maka dia menjawab: Aku pernah melihat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu ditanya tentang wudhu. Maka beliau meminta diambilkan air. Lalu didatangkan kepadanya sebuah timba berisi air lalu dia ambil air itu dengan memasukkan tangan kanannya ke dalam air. Kemudian dia berkumur-kumur tiga kali dan beristintsar tiga kali. Lalu dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya tiga kali dan membasuh tangan yang kiri juga tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam timba itu dan mengambil air untuk mengusap kepala dan kedua daun telinganya. Dia membasuh (mengusap) bagian dalam kedua telinga itu dan bagian luarnya, dia melakukan itu hanya sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya, lalu dia berkata, “Manakah orang-orang yang bertanya mengenai wudhu tadi? Demikian itu tadi cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku saksikan.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/186] as-Syamilah)
Diterangkan oleh penulis Syarah Sunan Abu Dawud bahwa hadits ini menunjukkan bahwa untuk mengusap telinga dipakai air yang sama dengan air yang dipakai untuk mengusap kepala. Dan yang dimaksud dengan kata ‘ghasala’ (membasuh) dalam hadits di atas ketika menceritakan tata cara mengusap telinga, maksudnya adalah ‘mengusap’ (lihat ‘Aun al-Ma’bud [1/131] as-Syamilah)

Membasuh kaki hingga mata kaki, kanan tiga kali lalu kiri tiga kali
 
Humran bekas budak Utsman memberitakan,

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاة
Bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu meminta diambilkan air wudhu kemudian dia berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkumur-kumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung, pent). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kiri seperti itu pula. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kaki kanannya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kaki kiri seperti itu pula. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berwudhu seperti yang kulakukan tadi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti caraku berwudhu ini kemudian bangkit dan melakukan sholat dua raka’at dalam keadaan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” Ibnu Syihab mengatakan, “Para ulama kita dahulu mengatakan bahwa tata cara wudhu seperti ini merupakan tata cara wudhu paling sempurna yang hendaknya dilakukan oleh setiap orang.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ dengan redaksi yang agak berbeda)

Kaki tidak cukup diusap
 
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, dia berkata:

تَخَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنَّا فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الْعَصْرَ فَجَعَلْنَا نَتَوَضَّأُ وَنَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari rombongan dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan. Kemudian beliau berhasil menyusul kami sementara waktu ‘Ashar sudah hampir habis. Kami pun tergesa-gesa berwudhu dan hanya mengusap kaki kami. Maka beliau pun berseru dengan suara yang tinggi, “Celakalah tumit-tumit yang tidak terbasuh air karena ia akan terkena panasnya api neraka.” Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, demikian juga Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Dari Salim bekas budak Syaddad, dia berkata:

دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ تُوُفِّىَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ فَدَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ فَتَوَضَّأَ عِنْدَهَا فَقَالَتْ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ أَسْبِغِ الْوُضُوءَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
».
Suatu saat aku menemui Aisyah radhiyallahu’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ketika hari wafatnya Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu’anhu. Maka Abdurrahman bin Abi Bakr pun masuk dan berwudhu di sisinya. Lalu Aisyah mengatakan, “Wahai Abdurrahman, sempurnakanlah wudhu. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celakalah tumit-tumit -yang tidak terbasuh air itu- sebab ia terancam dengan api neraka.’.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)

Membaca doa setelah wudhu
 
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata:

كَانَتْ عَلَيْنَا رِعَايَةُ الْإِبِلِ فَجَاءَتْ نَوْبَتِي فَرَوَّحْتُهَا بِعَشِيٍّ فَأَدْرَكْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا يُحَدِّثُ النَّاسَ فَأَدْرَكْتُ مِنْ قَوْلِهِ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ قَالَ فَقُلْتُ مَا أَجْوَدَ هَذِهِ فَإِذَا قَائِلٌ بَيْنَ يَدَيَّ يَقُولُ الَّتِي قَبْلَهَا أَجْوَدُ فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ قَالَ إِنِّي قَدْ رَأَيْتُكَ جِئْتَ آنِفًا قَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ وَأَبِي عُثْمَانَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرِ بْنِ مَالِكٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَذَكَرَ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Dahulu kami memiliki tugas menjaga unta yang digembalakan. Maka ketika datang orang lain yang akan menggantikanku, maka aku pun pulang meninggalkannya ketika waktu sore sudah tiba. Kemudian aku menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang berdiri memberikan ceramah kepada orang-orang. Di antara sabda beliau yang kudengar adalah, “Tidaklah ada seorang muslim yang berwudhu dan membaguskan wudhunya lalu dia bangkit untuk melakukan sholat dua raka’at dengan hati dan wajah yang penuh konsentrasi di dalamnya melainkan dia pasti akan masuk ke dalam surga.” ‘Uqbah bin ‘Amir berkata: Aku mengatakan, “Alangkah indahnya hal ini.” Tiba-tiba orang lain yang berada di hadapanku berbicara, “Kata-kata sebelumnya lebih indah lagi.” Lalu aku perhatikan, ternyata orang itu adalah umar. Lalu Umar mengatakan, “Aku melihat kamu baru saja datang. [Nabi tadi mengatakan] Tidaklah ada seseorang di antara kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian setelah itu dia membaca doa ‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abdullah warasuluh’ melainkan akan dibukakan baginya delapan pintu surga yang dia akan dipersilakan untuk masuk melalui pintu mana pun yang dia inginkan.”
Imam Muslim mengatakan: Abu Bakr bin Abi Syaibah juga menuturkan kepada kami. Dia berkata: Zaid bin al-Hubab menuturkan kepada kami. Dia berkata: Mu’waiyah bin Shalih menuturkan kepada kami dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris al-Khaulani dan Abu Utsman dari Jubair bin Nufair bin Malik al-Hadhrami, dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kemudian dia menyebutkan hadits serupa. Hanya saja di dalam hadits ini beliau mengatakan, “Barang siapa yang berwudhu lalu membaca ‘asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)