ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat" itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga.   Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya. Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.   Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja. Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak punya urusan.   Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul (sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara implisit haruslah ma'qul.   Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu, satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.   Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yang lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.   Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia, yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.   Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx, 18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya. Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah lenyap berikut seluruh akar-akarnya.   Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya, setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara, atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?   Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis, seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak (upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.   Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan rakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi, kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para penguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.   Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif) memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata. Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi sepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang paling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya (eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yang justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.   Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanja yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu sampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki negara.   Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakat bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah. Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya (charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun yang berupa pinjaman (loan).   Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka (negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan para kaya kapitalis, selaku cukongnya.   Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa, sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban) sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya, bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah, diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.   Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi, jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat selingkuh. So, what?!   Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan atau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi yang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi dengan bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun --kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu jahat yang mengitarinya."   Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya, lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh, dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial (amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan kesejahteraan) bagi semuanya.   Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu. Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harus berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa keberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahan itu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan, apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

Hukum Menyanyi Dalam Syariat Islam

Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya bagaimana hukumnya menanyi dan musik dalam pandangan Islam? Karena ada sebagian ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang membolehkan. Mohon penjelasannya.
Jawab: 1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3. Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunyaal-Baihaqi, hadits mauquf]. dan
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihimaMengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmalPada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahahHukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul AfkarSyaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu HazmAl-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16). juga dalam
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrimHukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haramSegala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi
Wallahu a’lam bi ash-showab.
Daftar Bacaan
* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/
* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/
* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/
* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/
* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/
* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/
* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).

Turunnya Nabi Isa bin Maryam Di Akhir Zaman

Merupakan kewajiban bagi setiap muslim adalah beriman terhadap setiap hadits yang telah shahih dari Nabi, karena pada hakekatnya hadits juga merupakan wahyu dari Allah. Allah berfirman,yang artinya:

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS. An-Najm: 3-4)

Imam Ibnu Qudamah berkata:

    “Kita harus beriman terhadap setiap apa yang diinformasikan oleh Nabi dan shahih penukilan tersebut, baik dijangkau oleh akal kita maupun tidak, kita harus percaya bahwa bahwa itu benar adanya sekalipun kita tidak mengetahui hakekatnya seperti hadits tentang Isra’ Mi’raj yang terjadi saat sadar bukan dalam tidur, karena kaum kuffar Quraish mengingkarinya sedangkan mereka tidak mengingkari mimpi. Demikian pula hadits yang menceritakan bahwa Malaikat pencabut nyawa pernah dating kepada Nabi Musa untuk mencabut nyawanya, lalu Musa memukulnya sehingga merusak matanya, kemudian Malaikat kembali kepada Allah sehingga dikembalikan lagi matanya. Termasuk diantaranya juga hadits-hadits yang berkaitan tentang tanda-tanda dekatnya hari kiamat seperti keluarnya Dajjal, turunnya Isa bin Maryam untuk membunuhnya, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya hewan aneh, terbitnya matahari dari barat dan hadits-hadits shahih lainnya yang shahih”.[1]

Pembahasan kita kali ini adalah tentang hadits turunnya Isa bin Maryam ke dunia di akhir zaman, yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai hadits yang tidak terpakai. Kita berharap dengan tulisan agar kiranya dapat menambah keimanan kita dan menghilangkan segala keraguan yang mungkin pernah melekat pada diri kita.
A.    TEKS HADITS
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمْ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ وَيَفِيْضُ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh pasti akan turun pada kalian Ibnu Maryam sebagai hakim yang adil lalu dia menghancurkan salib, membunuh babi dan membebaskan pajak serta harta begitu melimpah sehingga tak ada seorangpun yang mau menerimanya”. [2]
B.     TAKHRIJ HADITS

    * Karena haditsnya mutawatir dan diriwayatkan dari sekian banyak sahabat, maka sangatlah berat kalau kita turunkan semuanya. Oleh karenanya, cukuplah kiranya kita tampilkan saja daftar sahabat yang meriwayatkan hadits tentang turunnya Isa bin Maryam serta ahli hadits yang mencatatnya dalam kitab-kitab mereka.

a. Daftar Nama Sahabat

    * Abu Hurairah,
    * Abdullah bin Amr,
    * Jabir bin Abdillah,
    * Nawwas bin Sam’an,
    * Abu Umamah al-Bahili,
    * Abdullah bin Umar,
    * Mujammi’ bin Jariyah,
    * Aisyah,
    * Hudzaifah bin Asid,
    * Utsaman bin Abu ‘Ash,
    * Samurah bin Jundub,
    * Abu Sa’id al-Khudri,
    * Abdullah bin Mas’ud,
    * Hudzaifah bin Yaman,
    * Anas bin Malik,
    * Abdullah bin Mughaffal,
    * Safinah,
    * Abu Bakrah,
    * Auf bin Aus,
    * Nafi’ bin ‘Albah,
    * Tsauban,
    * Kaisan,
    * Ibnu Abbas.[3]

b. Daftar Nama Periwayat Hadits

Hampir tidak ada penyusun kitab hadits kecuali mencatat hadits tentang turunnya Isa bin Maryam di akhir zaman. Di antaranya adalah:

    * Imam Bukhari,
    * Muslim,
    * Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya,
    * Abu Dawud,
    * Tirmidzi,
    * An-Nasai,
    * Ibnu Majah,
    * Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid,
    * Ibnu Hibban dalam Shahihnya,
    * al-Hakim dalam al-Mustadrak,
    * Abu Awanah dalam al-Mustakhraj,
    * al-Isma’ili dalam al-Mustakhraj,
    * adh-Dhiya’ al-Maqdisi dalam al-Mukhtarah,
    * ath-Thayyalisi dalam Musnadnya,
    * Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya,
    * Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf,
    * Abu Ya’la dalam Musnadnya,
    * al-Bazzar dalam Musnadnya,
    * ad-Dailami dalam Musnadnya,
    * ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir dan al-Ausath,
    * al-Ajurri dalam asy-Syari’ah,
    * al-Baghawi dalam Syarh Sunnah,
    * Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsani,
    * al-Ashbahani,
    * Ibnu Mardawaih,
    * Abdu bin Humaid dalam al-Muntakhab,
    * al-Baihaqi dalam Sunan Kubra, Asma’ wa Sifat, dan al-Ba’ts wa Nusyur,
    * Ibnu Asakair dalam Tarikh Dimsyaq,
    * ath-Thahawi,
    * Said bin Manshur,
    * Abu Nu’aim dalam al-Hilyah,
    * ad-Daruquthni,
    * al-Khathib al-Baghdadi,
    * Ibnu Hazm dalam al-Muhalla,
    * Ibnu Mandah dalam al-Iman,
    * Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Fitan,
    * Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf,
    * Hanbal bin Ishaq dalam al-Fitan,
    * Ibnu Jarir dalam Tafsirnya,
    * Ibnu Adi dalam al-Kamil,
    * Ibnu A’rabi dalam Mu’jamnya dan lain sebagainya banyak sekali.[4]

c. Haditsnya Mutawatir

Melihat begitu banyaknya hadits tentang turunnya Isa bin Maryam, maka para pakar ilmu hadits menetapkan bahwa hadits-haditsnya mencapai derajat mutawatir, diantaranya adalah:

    * Imam At-Thabari dalam Jami’ul Bayan 3/291,
    * Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 2/566,
    * asy-Syaukani dalam risalahnya “At-Taudhih”,
    * Shiddiq Hasan Khon dalam Al-Idha’ah hal. 160,
    * Al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 147,
    * Syaraful Haq Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/307,
    * Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarhul Musnad 7/98-99 dan 8/20,
    * Syaikh Al-Albani dalam Ta’liq Syarah Aqidah Thohawiyyah hal. 501,
    * Asy-Syanqithi dalam Adhwaul Bayan 7/128, 130, 136,
    * Komisi Fatwa Saudi Arabia yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Fatawa Lajnah Daimah 3/307,
    * Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu Fatawanya 1/453,
    * Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kisymiri dalam kitabnya At-Tashrih bima Tawatara fi Nuzuli Masih,
    * Syaikh Abdullah al-Ghumari dalam Aqidah Ahli Islam fi Nuzuli Isa Alaihi Salam hal. 5,
    * Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Rudud Ahli Ilmu hal. 25 dan lain sebagainya.

Abu Ubaidah -semoga Allah memberkahinya- bekata:

        * Demikianlah ketegasan para peneliti hadits. Apabila hadits tentang turunnya Isa bin Maryam tidak mutawatir, maka tidak ada contoh hadits mutawatir di dunia hadits selama-lamanya!!.

d. Para Ulama Yang Menshahihkan

Disamping para ulama yang menegaskan haditsnya mutawatir akan saya sebutkan pula beberapa ulama yang menegaskan keabsahan haditsnya dengan kata-kata yang indah dan mantap sekalipun tidak secara tegas menetapkan mutawatir. Diantaranya:

   1. Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid 5/440: “Dan dalil tentang kebenaran pendapat ini (masih hidupnya Isa sekarang) adalah hadits-hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Isa akan turun, membunuh Dajjal, menunaikan haji yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang tiada cacat padanya”.
   2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ Fatawa 4/329: “Adapun Al-Masih (Isa), dia pasti akan turun ke bumi di atas menara putih sebelah timur Damaskus untuk membunuh Dajjal, menghancurkan salib dan membunuh babi sebagaimana telah tetap dalam hadits-hadits yang shahih. Oleh karenanya, beliau berada di langit kedua padahal beliau lebih utama daripada Yusuf, Idris dan Harun karena memang dia mau turun ke bumi sebelum tiba hari kiamat, berbeda halnya dengan para nabi lainnya”.
   3. Al-Hafizh Al-Hatsami berkata dalam Bahrul Fawaid: “Tentang turunnya Isa telah shahih dari sejumlah hadits yang banyak sekali. Diriwayatkan oleh para imam yang terpercaya dan tidak ada yang menolaknya kecuali orang yang sombong dan penyimpang”. [5]

e. Kesepakatan Ulama

    * Berdasarkan dalil-dalil yang sangat jelas di atas, maka seluruh ulama terpercaya bersepakat bahwa turunnya Isa kelak di akhir zaman merupakan aqidah Islam yang wajib diimani oleh setiap muslim. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali para ahli filsafat dan penyimpang agama yang sesat, menyesatkan dan menyelisihi Al-Qur’an, hadits dan kesepakatan ahli sunnah”. Demikian ditegaskan oleh As-Saffarini dalam Lawami’ Anwar 2/94-95 dan Syaikh Syaraful Haq Adzim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/312.

f. Beberapa Kitab Khusus Berkaitan Turunnya Isa bin Maryam

Begitu seriusnya masalah penting ini, maka sebagian peneliti hadits menulis secara khusus. Diantaranya:

    * Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi dalam bukunya yang berjudul “Nuzul Isa bin Maryam Akhir Zaman”. Buku ini telah dicetak Darul Kutub Ilmiyyah, Bairut dengan editor Muhammad Abdul Qadir Atha. Dalam kitab ini, beliau menyebutkan beberapa hadits. Pada hal. 22, beliau menegaskan bahwa turunnya Isa bin Maryam dengan menegakkan hukum Islam didukung oleh hadits-hadits yang shahih dan kesepakatan ulama. Pada hal. 53-54, beliau membantah syubhat dan takwil sebagian kalangan seraya menegaskan bahwa pengingkaran turunnya Isa merupakan bentuk kekufuran. Pada hal. 56, beliau menceritakan bahwa ada sebagian orang yang mengingakari bahwa Isa shalat shubuh di belakang Al-Mahdi, bahkan mengarang tulisan khusus tentangnya. Imam Suyuthi membantahnya: “Ini sangat lucu sekali, karena shalatnya Isa di belakang Mahdi ditegaskan dalam hadits-hadits yang shahih (lalu memaparkannya)”.

    * Al-Hafizh Asy-Syaukani dalam risalahnya “At-Taudhih fi Tawaturi Maa Ja’a fi Al-Mahdi wa Dajjal wal Masih[6]”. Dalam buku ini, beliau memaparkan sebanyak dua puluh sembilan hadits, kemudian beliau memaparkan dan menyimpulkan: “Seluruh hadits yang saya paparkan di atas mencapai derajat mutawatir sebagaimana tidak samar lagi bagi para peneliti (ilmu hadits)”.

    * Syaikh Muhammad Anwar Al-Kisymiri Al-Hindi (Wafat Th. 1352 H) dalam bukunya yang berjudul “At-Tashrih Bimaa Tawatara fi Nuzul Al-Masih”. Buku ini telah tercetak dengan editor Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah. Dalam bukunya ini, beliau mengumpulkan hadits-hadits tentang turunnya Isa sehingga mencapai sebanyak tujuh puluh hadits lebih.

    * [7]. Syaikh Abul Fadhl Abdullah Muhammad As-Shiddiq Al-Ghumari menulis sebuah risalah berjudul “Aqidah Ahli Islam fi Nuzul Isa Alaihi Salam”. Buku ini telah dicetak dan diterbitkan Maktabah Al-Qahirah. Dalam kitab ini, dia menyebutkan para sahabat yang meriwayatkan hadits turunnya Isa bin Maryam sehingga mencapai lebih dari dua puluh lima sahabat dari tiga puluh lebih tabi’in. Pada hal. 5 dia menegaskan: “Tidak ada secuil keraguanpun tentang mutawatirnya hadits tentang turunnya Isa bin Maryam. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang jahil dan dungu seperti kelompok Al-Qodiyaniyyah (Baca: Ahmadiyyah -pent) dan orang-orang yang sealiran dengan mereka, sebab telah dinukil dari jalan yang begitu banyak sekali sehingga tetap dalam kitab-kitab hadits secara mutawatir dari generasi ke generasi selanjutnya”.

Pada hal. 12 dia menegaskan: “Sungguh telah shahih keyakinan tentang turunnya Isa dari sejumlah sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para imam dan seluruh ulama dari berbagai madzhab sepanjang masa hingga hari ini”.

    * Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam risalahnya yang berjudul “Qisshah Al-Masih Dajjal wa Nuzul Isa…” Dalam kitab ini, beliau memaparkan hadits-hadits tentang keluarnya Dajjal dan turunnya Isa dari empat puluh sahabat. Pada hal. 24-25 beliau mengatakan: “Cukuplah akan hal itu kesepakatan para ulama pakar ahli hadits tentang mutawatirnya hadits Dajjal dan turunnya Isa dari langit seperti Al-Hafizh Ibnu Katsir[8], Ibnu Hajar[9] dan selainnya, bahkan Imam As-Syaukani menulis sebuah risalah khusus berjudul “At-Taudhih  fi Tawaturi Maa Ja’a fi Al-Mahdi wa Dajjal wal Masih”.

C.     SYUBHAT PENGKRITIK HADITS

Sementara sebagian kalangan menghujat hadits-hadits tersebut hanya bertelakan pada berbagai alasan yang sangat kropos sekali. Diantaranya:

1. Syaikh Mahmud Syaltut[10] berpendapat bahwa hadits-hadits yang meriwayatkan tentang turunnya Nabi Isa mudhtharib (goncang). Dan juga hadits-hadits tersebut derajatnya Ahad, sedang masalah aqidah ditetapkan berdasarkan nash qath’I seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir[11].

2. Prof. KH. Hasbullah Bakri, SH. Dalam bukunya “Nabi Isa dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam Biybel. Diantara pendapatnya ialah: Hadits Bukhari dari Abu Hurairah tentang akan turunnya Nabi, walaupun dinyatakan shahih tetapi bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat. Tambahan lagi hadits ini bersumber dari Abu Hurairah yang kecerdasannya kurang tinggi sedang isinya mengandung persoalan historis yang tinggi.

3. Dr. Quraish Shihab mengatakan bahwa ada ulama yang menyatakan “Isa as masih hidup di langit” bukanlah suatu kewajiban untuk mempercayainya. Serta beberapa hadits yang berkaitan dengan kenaikan Isa Al-Masih dan akan turun kelak menjelang kiamat. Hadits-hadits tersebut kesemuanya bermuara pada dua orang saja, yang keduanya bekas penganut agama Kristen, yaitu Ka’ab Al-Akhbar dan Wahb bin Munabbih (yang masih punya keterkaitan pada kepercayaan lamanya). Dengan demikian pengertian QS. 3:55 di atas bukan dalam arti diangkat fisiknya tapi diangkat derajatnya ke sisi Allah swt[12].[13]

4. Syaikh Muhammad Abduh berkata: “Hadits tersebut hanyalah ahad dan berkaitan dengan masalah aqidah karena menunjukkan perkara-perkara ghaib. Sedangkan masalah aqidah tidak boleh diambil kecuali yang bersifat qath’iy (pasti) sebab dituntut sesuatu yang menyakinkan. Dan tidak ada dalam masalah ini hadits yang mutawatir”. Dia juga memaparkan pendapat para ulama seputar turunnya Isa Al-Masih lalu memperkuat pendapat yang menyatakan bahwa Isa tidak turun dan dia mentakwil ayat seraya berkata: “Makna رَافِعُكَ yaitu terangkatnya ruh setelah kematiannya, sedangkan arti turunnya ke bumi yaitu tersebarnya perdamaian dan toleransi diantara manusia”.[14]

5. Hasan Abdullah At-Turabi mengingkari turunnya Isa di akhir zaman. Tatkala ditanya: Bagaimana anda berani mengingkari hadits mutawatir? Jawabnya: “Saya tidak membicarakan hadits dari segi sanadnya tetapi menurut saya hadits itu bertentangan dengan akal, sedangkan apabila dalil bertentangan akal, maka akal harus lebih didahulukan”. [15]

Dari komentar di atas dapat ditarik kesimpulan syubhat mereka pada dua point:

Pertama: Kritik dari segi sanad yaitu:

    a. Sahabat Abu Hurairah

    b. Hanya bermuara pada Ka’ab Al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih

    c. Haditsny mudhtharib (goncang)

    d. Haditsnya Ahad

Kedua: Dari segi matan yaitu:

    a. Ta’wil arti turun

    b. Bertentangan dengan akal

    c. Kontradiksi dengan Al-Qur’an

.
D.    MENJAWAB SYUBHAT

Sebelum menjawab syubhat para pengingkar tersebut satu-persatu, penulis mengajak saudara pembaca untuk berpikir dengan otak jernih:

    “Mungkinkah para pengkritik tersebut dalam kebenaran sedang mereka sendiri berselisih tentang alasannya?” Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perselisihan mereka itu saja sudah cukup menunjukkan kroposnya hujjah mereka. Sadarkah para pengingkar tersebut bahwa kelakuan mereka itu pada hakekatanya adalah mencela Nabi, para sahabat, para imam ahli hadits yang berjerih payah merekam hadits tersebut? Pikirkanlah baik-baik!!

Baiklah, sekarang dengan memohon pertolongan dari Allah mari kita jawab alasan mereka satu-persatu walaupun secara ringkas.

Pertama: Abu Hurairah, sahabat bermasalah.

Jawab: Alasan ini sangat rapuh sekali dan amat berbahaya bagi pelontarnya sendiri ditinjau dari beberapa segi[16]:

    * Mencela sahabat termasuk perbuatan dosa besar dan kemunafikan yang tak samar lagi berdasarkan kesepakatan ulama. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid mengatakan: “Seluruh pemeluk agama Islam bersepakat bahwa mencela salah satu sahabat merupakan bentuk kemunafikan yang nyata…”.[17]
    * Kalau memang kalian tidak mau menerima riwayat Abu Hurairah karena dia bermasalah, lantas apakah para sahabat lainnya yang begitu banyak seperti Abdullah bin Umar, Nawwas bin Sam’an … juga bermasalah? Jawablah hai orang yang dikaruniai akal!!! Bila riwayat mereka masih tetap tidak dipercayai juga, maka saya ucapkan selamat tinggal dari dunia!! Karena pada hakekatnya anda telah menghancurkan pondasi-pondasi agama, menghina Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, syari’at Islam, para ulama dan seluruh kaum muslimin semuanya? Apakah anda menyadarinya?

Kedua: Haditsnya bermuara pada Ka’ab Al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih

Jawab:

    * Ucapan ini menunjukkan kurangnya pengetahuan pelontarnya tentang ilmu hadits. Karena anda tahu sendiri bahwa hadits ini diriwayatkan oleh begitu banyak para sahabat Nabi. Kami tidak mengerti, apakah ucapan tersebut didasari kebodohan ataukah penyesatan ataukah kedua-duanya?!!
    * Perlu diketahui bahwa riwayat Ka’ab Al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit sekali. Dan hukum riwayat keduanya dalam ilmu musthalah hadits disebut “Mursal” karena keduanya tidak berjumpa dengan Nabi, sedangkan hadits mursal bukanlah hujjah. Adapun riwayat keduanya dari sahabat dan tabi’in, maka para ulama mengoreksinya seperti riwayat para tabi’in lainnya. [18]
    * Ucapan Dr. Quraish Shihab ini telah didahului sebelumnya oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah ar-Risalah. Syaikh al-Albani berkata: “Saya telah meneliti hadits-hadits tentang turunnya Isa dari sumber aslinya (kitab-kitab hadits) seperti kutub sittah dan lain sebagainya sehingga saya dapat mengumpulkan banyak hadits dari beberapa jalur yang mutawatir lebih dari empat puluh sahabat. Saya sangat terkejut sekali ketika saya tidak menemukan nama Wahb bin Munabbih dan Ka’ab al-Ahbar pada jalur sanad-sanad tersebut sekalipun dalam hadits yang lemah sanadnya. Saya lalu berkeyakinan bahwa Syaikh Syaltut hanya menulis sesuai dengan apa yang terlintas dalam benaknya saja tanpa meneliti kitab-kitab hadits. Lalu saya menulis sebuah risalah terpisah untuk mencounter fatwanya itu tetapi…”.[19]

Ketiga: Haditsnya “Mudhtarib”

Jawab:

    * Hadits “Mudhtarib” itu adalah  hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau beberapa rawi yang banyak dengan berbagai macam redaksi yang berbeda, sama-sama kuat dan tidak mungkin untuk dikompromikan atau dikuatkan salah satunya. Perbedaan tersebut menunjukkan tidak kuatnya hafalan rawi padahal itu adalah syarat sahnya suatu hadits. Sekalipun bisa terjadi pada matan (isi) hadits, namun yang paling banyak adalah pada sanad hadits. [20]

    * Setelah anda memahami defenisi hadits mudhtarib, maka katakanlah padaku: Apakah hadits pembahasan kita termasuk kategori mudhtarib?! Adakah hadits shahih lain yang menyelisihnya?! Ahli hadits mana yang mengatakannya termasuk “mudhtarib”?! Dengan demikian maka dapatlah kita ketahui bahwa hadits turunnya Isa tidaklah termasuk mudhtarib (goncang) tetapi yang mudhtarib adalah pemikiran pelontarnya sendiri yang jauh dari ilmu hadits.

Keempat: Haditsnya “Ahad”

    * Hadits ahad hanya bersifat zhan (prasangka), tidak qath’i (pasti), sedangkan masalah aqidah harus bersifat pasti.

Jawab:

1. Kalian setuju dan bersepakat dengan kami bahwa hadits mutawatir menunjukkan qath’I (sesuatu yang menyakinkan). Lantas, siapakah yang paling berhak menetapkan hadits ini ahad, sedang hadits itu mutawatir? Tentunya ahli hadits. Sekarang kita ketahui bersama bahwa ahli hadits telah menetapkan hadits tersebut berderajat mutawatir. Lantas kenapa kalian masih bersikukuh menetapkannya berderajat ahad?! Kenapa kalian tidak percaya kepada penelitian ahli hadits dan lebih percaya kepada orang yang bukan ahli dalam bidangnya?!!!

Supaya lebih memantapkan saudara pembaca, berikut saya nukilkan perkataan berharga seorang pakar ilmu hadits abad ini, Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam Ta’liq Syarh Aqidah Thohawiyyah hal. 501:
وَاعْلَمْ أَنَّ أَحَادِيْثَ الدَّجَّالِ وَنُزُوْلِ عِيْسَى q مُتَوَاتِرَةٌ يَجِبُ الإِيْمَانُ بِهَا وَلاَ تَغْتَرَّ بِمَنْ يَدَّعِيْ فِيْهَا أَنَّهَا أَحَادِيْثُ آحَادٌ فَإِنَّهُمْ جُهَّالٌ بِهَذَا الْعِلْمِ وَلَيْسَ فِيْهِمْ مَنْ تَتَبَّع طُرُقَهَا وَلَوْ فَعَلَ لَوَجَدَهَا مُتَوَاتِرَةً كَمَا شَهِدَ بِذَلِكَ أَئِمَّةُ هَذَا الْعِلْمِ كَالْحَافِظِ ابْنِ حَجَرٍ وَغَيْرِهِ. وَمِنَ الْمُؤْسِفِ حَقًّا أَنْ يَتَجَرَّأَ الْبَعْضُ عَلَى الْكَلاَمِ فِيْمَا لَيْسَ مِنْ اخْتِصَاصِهِمْ, لاَ سِيَّمَا وَالأَمْرُ دِيْنٌ وَعَقِيْدَةٌ.

Ketahuilah bahwa hadits-hadits tentang Dajjal dan turunnya Isa bin Maryam telah mencapai derajat mutawatir yang wajib diimani. Janganlah anda tertipu dengan anggapan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa haditsnya hanyalah ahad sebab mereka adalah manusia yang jahil tentang ilmu hadits. Tak ada dari kalangan mereka yang mau menelitinya. Seandainya mereka benar-benar mau menelitinya, niscaya mereka akan mendapatinya mutawatir sebagaimana ditegaskan oleh para pakar ilmu hadits seperti Ibnu Hajar dan lainnya. Sungguh amat disayangkan ketika sebagian manusia lancang berbicara tentang sesuatu yang bukan bidangnya. Lebih-lebih masalah ini berkaitan tentang aqidah dan agama.

2.  Ketahuilah bahwa sekalipun para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang hadits ahad apakah menunjukkan zhan atau qath’i, tetapi mereka tidak berselisih pendapat tentang hujjahnya hadits ahad. Janganlah anda tertipu oleh bualan dan filsafat sebagian kalangan yang mengoceh dan mengecoh umat dengan perselisihan ulama tentang; apakah hadits ahad menunjukkan dhan atau qath’i. Jadi, taruhlah haditsnya memang berderajat ahad, apakah berarti kita membuangnya begitu saja? Tak ada satupun ulama ahli hadits yang bertindak demikian, itu hanyalah pemahaman aneh dan filsafat kotor yang diusung dari pemikiran Mu’tazilah dan ahli kalam (filsafat). Camkanlah hal ini baik-baik pada hati kita!.

3. Pendapat para ulama ahli hadits yang lebih kuat bahwa tidak seluruh hadits ahad menunjukkan dhan, tetapi kadang-kadang bisa menunjukkan qath’i (pasti) apabila ada indikasi penguatnya seperti riwayat Bukhari Muslim, hadits masyhur yang banyak jalannya dan lain sebagainya[21].

Bila kita teliti hadits pembahasan kita, niscaya akan kita dapati bahwa dia menunjukkan sesuatu yang qath’i karena memiliki qarinah-qarinah tersebut. Hal Itu kalau kita menganggap haditsnya hanya ahad, apalagi telah terbukti haditsnya berderajat mutawatir. Wallahu A’lam.

Kelima: Ta’wil Arti Turun

Jawab:

    * Kalau kita tilik dan cermati beberapa hadits tentang turunnya Isa secara tenang, pasti akan kita rasakan bahwa ta’wil seperti itu sangat kaku dan lucu. Perhatikanlah hadits lafadz-lafadz haditsnya secara jernih seperti “lalu dia menghancurkan salib, membunuh babi dan membebaskan pajak”. “Isa bin Maryam shalat di belakang imam Al-Mahdi”.[22] Isa bin Maryam turun di menara putih sebelah timur Damaskus, memakai pakaian yang harum  sambil meletakkan kedua lengan tangannya pada sayap dua malaikat, rambutnya meneteskan air, bila dia mengangkat kepala, maka air berkilau seperti berlian. Orang yang mencium baunya, pasti akan mati seketika dan baunya sejauh dia memandang. Hingga Isa mencari Dajjal dan ketemu di pintu Luddin (sebuah kota dekat Baitul Maqdis) dan membunuhnya”.[23] “Isa menunaikan ibadah haji/ umrah”.[24] “Isa kemudian wafat dan dishalati kaum muslimin” [25]

Sungguh alangkah bagusnya ucapan Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah tatkala membantah ta’wil ini: “Merupakan kebatilan yang sangat keji dan kelancangan yang sangat kelewatan batas terhadap Allah dan rasul-Nya adalah ta’wil sebagian kalangan tidak seperti dhahirnya. Sebab dia telah mengumpulkan dua bencana:

    * Pertama: Mendustakan dan tidak mengimani dalil-dalil yang tegas tentang turunnya Isa.

    * Kedua: Menuduh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling mengerti syari’at dan ahli penasehat sebagai orang yang berbicara ngacau dan rancu, maksud ucapannya tidak seperti dia sabdakan secara dhahir. Sungguh ini merupakan kedustaan yang tiada taranya dan penipuan terhadap umat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Ucapan seperti ini serupa dengan pendapat kaum para penyeleweng yang menisbahkan pada rasul dengan kerancuan demi maslahat mayoritas manusia”.[26]

Ajaibnya, takwil seperti ini juga digugat oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya yang berjudul Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyyah hal. 169-170.

Keenam: Bertentangan Dengan Akal

Jawab:

1. Katakanlah padaku: Semudah itukah kalian mementahkan hadits Nabi? Bila sesuai dengan akal kalian, baru diterima dan bila tidak sesuai akal kalian, maka ditolak begitu saja?! Seperti inikah sifat orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah? Ataukah ini adalah ciri bala tentara Iblis yang dicontohkan oleh nenek moyang mereka tatkala memprotes perintah Allah dengan akalnya:
قَالَ مَامَنَعَكَ أَلاَّتَسْجُدَ إِذْأَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاخَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf: 12).

2. Kalau agama ini berdasar pada akal, maka katakan padaku: “Mengapa Allah mewajibkan shalat shubuh sebanyak dua rakaat, maghrib tiga raka’at, sedangkan dhuhur, ashar dan isya empat rakaat?” Kenapa  bacaan shalat dhuhur dan ashar lirih, sedangkan shubuh, maghrib dan isya dikeraskan?! Jawablah!!

3. Kalau agama ini berdasar pada akal, maka katakan padaku juga: “Akal siapakah yang menjadi standar dan patokan?” Apakah akal para ulama ataukah sembarangan orang?! Alangkah bagusnya ucapan Al-Qadhi Iyadh:

    “Turunnya Isa dan pembunuhannya terhadap Dajjal merupakan kebenaran menurut ahli sunnah wal Jama’ah berdasarkan hadits-hadits shahih tentang masalah tersebut. Tidak ada dalil akal maupun naql yang memustahilkannya. Oleh karenanya, maka aqidah ini wajib diimani. Adapun Mu’tazilah, Jahmiyyah, cs mengingkari aqidah ini…”.[27] Ucapan in dinukil dan disetujui oleh Imam Nawawi[28]

Ketujuh: Kontradiksi Dengan Al-Qur’an

Jawab:

1. Metode menubrukkan Al-Qur’an dengan hadits shahih merupakan ciri khas ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu semenjak dahulu hingga sekarang, karena hadits shahih diturunkan bukan untuk menentang Al-Qur’an, tetapi untuk menafsirkan dan menjelaskannya sebagaimana firman Allah:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl: 44).

Kemudian katakanlah padaku:

        * Siapakah orang yang paling faham tentang tafsir Al-Qur’an?!! Bukankah mereka adalah Nabi, para sahabat, serta para ulama Islam?!! Benar. Tetapi anehnya, kenapa mereka tidak mempersoalkannya?! Apakah anda lebih pandai daripada mereka?!!

2. Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan tentang turunnya Isa bin Maryam kelak di akhir zaman:

1. Firman Allah:
وَإِن مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلاَّلَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا

Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS. An-Nisa’: 159).

Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Abbas, penafsir ulung mengatakan: “Yakni sebelum kematian Isa bin Maryam”.

Imam Al-Hasan Al-Bashri juga berkata:

    “Yakni sebelum kematian Isa. Demi Allah, Isa sekarang masih hidup di sisi Allah, tetapi apabila dia turun, maka mereka akan beriman semua”.

    * Tafsir ini dikuatkan oleh mayoritas ulama seperti Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan sebagainya.
2. Firman Allah:
وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِّلسَّاعَةِ فَلاَ تَمْتَرُنَّ بِهَا وَاتَّبِعُونِ هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ

Benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (QS. Az-Zukhruf: 61).

    * Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Abbas mengatakan tentang ayat yang mulia ini: “Maksudnya adalah keluarnya Isa bin Maryam sebelum hari kiamat tiba”. [31]
    * Al-Hafizh Ibnu Katsir juga berkata dalam Tafsirnya 7/222: “Pendapat yang benar bahwa dhamir tersebut kembali pada Isa karena konteks kalimatnya berkaitan tentang beliau”.

3. Adapun alasan sebagian kalangan bahwa Isa sekarang telah wafat berdasarkan dalil surat Ali-Imran: 155, maka jawabannya cukup panjang, tetapi cukuplah saya mengatakan: “Siapakah pendahulu anda dalam faham ini?! Bukankah mereka adalah kaum Yahudi yang didustakan oleh Allah?!! Demi Allah, benar sekali. Oleh karena itu, para pemikir komtemporer yang mengingkari turunnya Isa dan menyakini wafatnya beliau sekarang, pada hakekatnya da adalah cucu pewaris Yahudi.

E. Kesimpulan dan Penutup
Sebagai kata kesimpulan, Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menegaskan:
    “Turunnya Isa telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, hadits mutawatir dan ijma ulama Islam sehingga mereka selalu menyebutnya dalam kitab-kitab aqidah. Barangsiapa yang mengingkarinya dengan alasan haditsnya “Ahad” tidak menunjukkan qath’i atau menta’wil bahwa maksud sebenarnya adalah manusia pada akhir zaman berpegang teguh dengan akhlak Isa Al-Masih berupa kasih sayang dan lemah lembut atau manusia menerapkan ruh syari’at dan intinya, maka semuaa itu adalah kebatilan nyata yang bertentangan dengan aqidah para imam kaum muslimin, bahkan nyata-nyata merupakan bentuk penentangan nash-nash shahih dan mutawatir, kejahatan terhadap syari’at yang mulia, kelancangan sangat terhadap Islam dan hadits Nabi, menuhankan hawa nafsu, keluar dari rel kebenaran dan petunjuk, orang tersebut tidak memiliki ilmu mapan tentang syari’at dan keimanan yang kuat serta pengagungan terhadap dalil dan hukum Islam”.

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

abiubaidah.com
[1] Lum’atul I’tiqad 101-104 -Syarh Ibnu Utsaimin-.
[2] HR. Bukhari no. 2222 dan Muslim no. 242.

[3] Lihat Qishshatul Masih Dajjal wa Nuzul Isa al-Albani hal. 25- 28

[4] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar 6/492.

[5] Dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir 5/573. (Lihat pula Al-Manarul Munif hal. 148 oleh Ibnu Qayyim dan Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 4/64 oleh Al-Qurthubi.

[6] Penulis belum mendapatinya sendiri, tetapi risalah ini banyak dinukil oleh para ulama seperti Al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 145-146, Shiddiq Hasan Khon dalam Al-Idha’ah hal. 113, Al-Adhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/308 dan Syaikh Al-Albani dalam Qhisshah Dajjal  wa Nuzul Isa hal. 25 dan lain sebagainya.
[7]. Dinukil dari kitab “Asyraat As-Saa’ah” hal. 351 oleh Syaikh Yusuf bin Abdullah Al-Wabil cet. Dar Ibnul Jauzi.
[8] An-Nihayah Ibnu Katsir 1/148.
[9]. Barangkali yang beliau maksud adalah keterangan Al-Hafizh dalam Fathul Bari 6/493-494 menukil ucapan Abul Hasan Al-Aburri dalam Manaqib Syafi’i: “Telah mutawatir hadits-hadits yang menerangkan bahwa Al-Mahdi termasuk kalangan umat ini dan Isa shalat (bermakmum) di belakangnya”.
[10] Terlepas apakah beliau telah kembali meralat ucapannya ini ataukah tidak, namun yang terpenting bagi kita adalah mengingatkan umat dari kesalahan pendapat beliau yang termuat dalam al-Fatawa. Kami katakana hal ini, sebab dalam risalahnya al-Bid’ah Asbabbuha wa Madharuha hal. 30 beliau menguatkan hadits-hadits tentang turunnya Isa. Diperkuat lagi oleh apa yang diceritakan DR. al-Buthi dalam kitabnya Kubra Yaqiniyyat al-Kauniyyah hal. 269: “Sebagian para ulama Azhar yang dekat dengan Syaikh Syaltut meriwayatkan bahwa beliau di akhir kehidupannya, di saat beliau terkena penyakit stroke di rumahnya, dia membakar semua kertas dan kitab yang berisi pendapat-pendapatnya yang ganjil, khususnya masalah turunnya Isa bin Maryam, dan beliau bersaksi di hadapan mereka bahwa beliau telah bertaubat kepada Allah dari keyakinan tersebut dan kembali memeluk aqidah mayoritas kaum muslimin Ahli Sunnah wal Jama’ah”. (Dinukil dari muqaddimah Syaikh Ali Hasan al-Halabi dalam al-Fatawa al-Muhimmat karya Syaikh Mahmud Syaltut hal. 13-15). Para ulama telah membantah pendapat Syaikh Syaltut tentang pengingkarannya terhadap turunnya Isa, seperti Syaikh Humud at-Tuwaijiri dalama Ithaf Jama’ah 3/128-136, Syaikh al-Albani dalam Muqaddimah Qishshatul Masih, dll. Dan Syaikh Al-Allamah Abdullah bin Ali bin Yabis memiliki sebuah kitab berjudul menarik “I’lamul Anam mi Mukhalafah Syaikh Azhar Syaltut lil Islam”. (Pemberitahuan kepada manusia tentang penyimpangan Syaikh Syaltut terhadap Islam).

[11] Al-Fatawa hal. 61-62).

[12] Republika, 18 Nopember 1994 hal. 10. Dikutip dari “Kenaikan dan Kebangkitan Isa as dalam Bybel dan Al-Qur’an” hal. 14 oleh Hj. Irene Handono. (Majalah Al-Muslimun 398 Mei 2003 hal. 22-23).

[14] Al-A’mal Al-Kamilah 5/37-38 dan lihat Tafsir Al-Manar 3/316-317. Syaikh Khalil al-Harras memiliki risalah bantahan khusus kepada Syaikh Rasyid Ridha dalam masalah ini berjudul “Fashlul Maqal fi Raf’I Isa Alaihi Salam Hayyan wa fii Nuzulihi wa Qathlihi Dajjal”.

[15] Dinukil dari Dirasat fi Sirah Nabawiyyah hal. 308 oleh Syaikh Muhammad Surur Zainal Abidin.

[16] Lihat kembali pembahasan “Hadits Lalat antara Ahli Hadits dan Ahli Medis” dalam buku ini

[17] Tashnif An-Nas baina Dhanni wal Yaqin hal. 26

[18] Al-Anwar Al-Kasyifah Syaikh Abdur Rahman al-Mu’allimi hal. 98.

[19] Qishshatul Masih Dajjal wa Nuzul Isa hal. 24

[20] Lihat Tadrib Rawi 1/262 oleh Imam As-Suyuthi.

[21] Lihat Ma’rifah Ulum Hadits Ibnu Sholah hal. 29, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 18/22-49, Al-Baits Hatsits Ibnu Katsir 1/125-128 dan Nuzhah Nadhar Ibnu Hajar hal. 74.

[22] HR. Muslim 247.

[23] HR. Muslim 2137.

[24] HR. Muslim 1252.

[25] HR. Ahmad 2/406, Abu Dawud 11/456 dan dishahihkan Ibnu Hajar 6/493.

[26] Majmu Fatawa Ibnu Baz 1/455 cet. Dar Al-Wathn.

[27] Ikmal Mu’lim bi Fawaid Muslim 8/492

[28] Syarh Shahih Muslim 18/383. Perlu diketahui bersama bahwa Imam Nawawi termasuk seorang ulama yang menguatkan bahwa hadits ahad menunjukkan zhan secara mutlak baik riwayat Bukhari Muslim maupun selainnya sebagaimana dalam A-Taqrib hal. 40 dan Syarah Shahih Muslim 1/26. Tetapi lihatlah wahai saudaraku bagaimana beliau tetap berhujjah dengan hadits ini. Maka camkanlah hal ini baik-baik agar anda tidak tertipu oleh filsafat yang dungu. Wallahu A’lam.

[29] Riwayat Ibnu Jarir 6/18 dan dishahihkan Ibnu Katsir dalam An-Nihayah 1/131 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 6/492.

[30] Lihat Tafsir At-Thabari 6/21, Tafsir Ibnu Katsir 2/415 dan Adhwaul Bayan As-Syanqithi 7/129-130.

[31] Dikeluarkan Imam Ahmad 4/329 dan dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir.

[32] Lihat pula Tafsir At-Thabari 25/90-91, Tafsir Al-Qurthubi 16/105 dan Adhwaul Bayan As-Syanqithi 7/128).

[33] Majmu Fatawa Ibnu Baz 1/454.

Amalan Dan Ucapan Penyebab Masuk Surga

Surga bukan harga ganti dari amal ibadah manusia, tetapi murni karena rahmat dan
kemurahan Allah Tabaraka wa Ta'ala


Artinya: "Amalan seorang dari kalian tidak akan memasukkannya ke dalam surga", para shahabat bertanya:
"Begitupula engkau wahai Rasulullah?", begitupula aku, kecuali Allah meliputiku dengan kemurahan dan
rahmat dari-Nya". (HR Muslim)

Tetapi amal ibadah adalah penyebab masuk surga
Artinya: "Aku siapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah
didengar oleh telinga serta tidak pernah terbetik di dalam hati manusia, bacalah jika kalian menghendakinya:

"Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai ganjaran terhadap apa yang telah mereka kerjakan.


Pintu Surga.
1. Ahli Puasa.

"Di dalam Surga ada delapan pintu, ada sebuah pintu yang bernama ar Rayyan, tidak ada seorangpun yang
memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa". HR Bukhari Muslim.

2. Ahli Shalat, Jihad, Puasa dan Shadaqah.

"Barangsiapa yang menafkahkan dua barang di jalan Allah maka akan dipanggil dari pintu-pintu surga, wahai
hamba Allah, ini adalah kebaikan. Barangsiapa yang termasuk ahli shalat maka ia akan dipanggil dari pintu
shalat, siapa yang termasuk ahli jihad maka ia akan dipanggil dari pintu jihad, siapa yang ahli puasa maka ia
akan dipanggil dari pintu ar Rayyan dan siapa yang ahli shadaqah maka ia akan dipanggil dari pintu shadaqah".
HR Bukhari dan Muslim

3. Berwudhu dengan sempurna kemudian membaca doa setelah berwudhu .

"Tidaklah seorang berwudhu lalu ia sempurnakan wudhunya kemudian ia mengucapkan: (Aku bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya) kecuali
dibukakan untuknya pintu surga yang delapan, dia bisa memasukinya sekendaknya". HR Abu Daud
dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahih Abi Daud, no: 169.

4. Wanita yang menjaga shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya

"Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan
mentaati suaminya, maka dikatakan kepadanya; masuklah surga dari pintu-pintunya yang engkau kehendaki".
HR riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahihul Jami', no: 160.

5. Di tinggal mati oleh tiga anaknya yang belum baligh.

"Tiada seorang muslim yang meninggal dari anaknya tiga orang yang belum baligh kecuali mereka akan
menemuinya dan ia akan masuk dari pintu surga yang delapan dari mana saja yang ia kehendaki". HR riwayat
Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani di dalam Shahihut Targhib wat Tarhib, no: 1993.

Tingkatan Surga

1. Mujahid di jalan Allah Azza wa Jalla.

"Sesungguhnya di dalam surga ada seratus tingkatan yang telah Allah sediakan untuk para mujahid di jalan-
Nya, setiap dua tingkatan jarak antara keduanya laksana antara langit dan bumi, jika kalian memohon kepada
Allah maka mintalah surga Firdaus, sesungguhnya letaknya di tengah dan di tingkatan tertinggi dari surga dan
di atasnya 'Arsynya Allah Yang Maha Luas Rahmatnya, darinyalah terpancar sungai-sungai surga". HR Bukhari.

2. Istighfar seorang anak untuk orangtuanya.

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla benar-benar akan mengangkat kedudukan untuk seorang hamba yang
shalih di dalam surga, lalu ia bertanya; "Wahai Allah, bagaimanakah saya mendapatkan ini?", kemudian
dijawab: "Karena istighfar anakmu untukmu". HR Ahmad dan dihasankan oleh Al Albani di dalam As Silsilah Al
Ahadits Ash Shahihah, no: 1598.

Bersama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam di Surga.

1. Memperbanyak shalat sunnah

"Rabi'ah bin Ka'ab al Aslami radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku memohon kepadamu agar aku bisa
menemanimu di surga?", Nabi menjawab: "Adakah permintaan lain?", aku berkata: "Itu saja permintaanku",
nabi menjawab: "Kalau begitu, tolonglah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan kamu memperbanyak
sujud (maksudnya shalat). HR Muslim

2. Mengurus anak yatim

"Aku dan orang yang mengurus anak yatim jaraknya di dalam surga seperti dua jari ini, yaitu jari telunjuk dan
jari tengah". HR Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam As Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no: 800.

3. Mengurus dua anak perempuan sampai baligh

"Barangsiapa yang mengurus dua anak perempuan sampai baligh maka aku dan dia akan datang pada hari
kiamat sepertia dua jari ini", kemudian beliau menunjukkan dua jarinya. HR Muslim.

4. Mengurus dua anak perempuan atau mengurus tiga atau dua saudara perempuan

"Barangsiapa yang mengurus dua atau tiga anak perempuan atau mengurus dua atau tiga saudara perempuan
sampai mereka baligh atau sampai ia meninggal dunia, maka aku dan dia di surga seperti dua jari ini", sambil
beliau menunjukkan jari tengah dan jari disampingnya". HR Ibnu HIbban dan dishahihkan oleh Al Albani di
dalam As Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no: 296.

Rumah di Surga

1. Untuk yang membaikkan perkataan, memberikan makanan, selalu berpuasa dan shalat malam.

"Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalamnya dan bagian
dalamnya terlihat dari luarnya", lalu seorang Arab badui bangun dan bertanya: "Milik siapakah itu wahai
Rasulullah?", beliau menjawab: "Bagi siapa yang membaikkan perkataan, memberikan makanan, selalu
berpuasa dan melaksanakan shalat malam ketika manusia lagi tertidur". HR Tirmidzi dan dihasankan oleh Al
Albani di dalam Shahihut Tirmdzi, no: 1984.

2. Untuk yang membangun masjid.

"Sesungguhnya Utsman bin Affan menginginkan perluasan masjid, tetapi orang-orang tidak menyukai akan hal
itu dan mereka lebih mencintai masjid dibiarkan tetap apada semula, kemudian beliau berkata: "Aku telah
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang membangun masjid karena
Allah maka niscaya Allah akan bangunkan seperti itu untuknya di surga". HR Muslim

3. Menjenguk orang sakit atau menziarahi saudara .

"Jika seseorang mendatangi atau menziarahi saudaranya, maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Kamu telah
berbuat baik, perjalananmu baik dan kamu telah mendapatkan kedudukan di dalam surga". HR Ahmad, Ibnu
Majah dan Timidzi serta di shahihkan oleh Al Albani di dalam shahihut targhib wat tarhib, no: 2578.

4. Membangun masjid walaupun hanya sebesar sangkar burung ke ka mengerami telurnya.

"Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah seperti sangkar burung ketika mengerami telurnya atau
yang lebih kecil dari itu, maka Allah membangun sebuah rumah di surga untuknya". HR Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahihul Jami', no: 6129.

5. Menjaga shalat rawatib.

"Barangsiapa yang selalu menjaga 12 raka'at maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di
surga, 4 raka'at sebelum Zhuhur, 2 raka'at setelah Zhuhur, 2 raka'at setelah maghrib, 2 raka'at setelah Isya', 2
raka'at sebelum Shubuh". HR An Nasa-i dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam As Silsilah Al Ahadits Ash
Shahihah, no: 2374.

6. Meninggalkan pertengkaran meskipun di pihak yang benar, meninggalkan dusta walaupun bercanda,
berakhlak baik.

"Aku bertanggung jawab dengan sebuah rumah di hamparan/tepian surga bagi siapa yang meninggalkan
pertengkaran meskipun berada di pihak yang benar dan sebuah rumah di tengah surga bagi siapa yang
meninggalkan dusta meskipun dalam bercanda,serta sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi siapa yang
membaikkan akhlaknya". (HR Abu Daud)