ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat" itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga.   Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya. Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.   Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja. Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak punya urusan.   Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul (sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara implisit haruslah ma'qul.   Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu, satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.   Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yang lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.   Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia, yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.   Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx, 18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya. Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah lenyap berikut seluruh akar-akarnya.   Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya, setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara, atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?   Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis, seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak (upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.   Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan rakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi, kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para penguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.   Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif) memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata. Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi sepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang paling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya (eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yang justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.   Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanja yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu sampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki negara.   Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakat bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah. Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya (charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun yang berupa pinjaman (loan).   Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka (negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan para kaya kapitalis, selaku cukongnya.   Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa, sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban) sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya, bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah, diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.   Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi, jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat selingkuh. So, what?!   Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan atau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi yang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi dengan bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun --kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu jahat yang mengitarinya."   Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya, lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh, dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial (amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan kesejahteraan) bagi semuanya.   Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu. Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harus berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa keberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahan itu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan, apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

6 komentar:

sofilmendo mengatakan...

mantap gan postnya...!!

Hukum Islam mengatakan...

makasih......>sofil

Unknown mengatakan...

wih maut postingannya

Om Canel mengatakan...

pokoke mantap bro . . . .


jangan lupa main ke om canel ya?

Hukum Islam mengatakan...

damar@>makasi sob atas saran dan kritiknya...?

Unknown mengatakan...

Bro... kalo boleh ngasih saran, kalo posting jangan terlalu panjang, diringkas saja. karena berdasarkan survey para pembaca indonesia lebih suka membaca suatu artikel yang pendek mudah dimengerti